Cianjur, Matah Hati Tak Berkesudahan

Banyak yang lupa, sekalipun Cianjur adalah "daerah pedalaman", ia tak hanya diintai gempa bumi, tapi juga banjir bandang dan angin topan sejak dari dulu. Jika hari ini berulang, di situlah letak kesedihannya.

Minggu, 27 November 2022 | 08:43 WIB
1
347
Cianjur, Matah Hati Tak Berkesudahan
Cianjur lama (Foto: dok. Pribadi)

Menyoal tentang Cianjur adalah membicarakan segala hal yang baik, asli, dan alami. Segala hal menjadi tampak indah di Cianjur. Alamnya yang elok, tanahnya yang subur. Dan hal yang terpenting adalah kultur dan manusianya yang luhur.  

Saya tidak tahu apakah ketika Romo MAW Brouwer menulis bahwa Parahyangan diciptakan Tuhan saat ia tersenyum. Ia sedang singgah di kota ini? Entahlah, bahkan seorang rohaniawan pun mudah jadi mellow, saat ia sedang jatuh cinta.

Sedemikian luhur dan suburnya, mungkin karena itu tlatah ini dinamakan Cianjur. "Ci", hanya sekedar repetitif untuk mengungkapkan bahwa di sepenjuru tanah kulon ini adalah daerah murah air. Sebagaimana merata nyaris sepanjang bumi Parahyangan dan daerah peri-perinya.  

Tak mengherankan bila Dewi Kesuburan yang murah hati di daerah Pasundan disebut Nyi Pohaci. Ada penekanan kata "Ci", dengan imbuhan kata "Poha". Poha sendiri bermakna beras, nasi, atau makanan. Sekarang lebih dikenal sebagai nasi kuning di India. Dimana pada dasarnya merujuk pada eksistensi Dewi Sri dalam mitologi yang kemudian lebih populer dalam kultur Jawa. 

Dewi Sri sebagaimana kita tahu dipuja sebagai Dewi Beras: simbol kesuburan, kemakmuran, dan keberlimpahruahan. Yang secara umum di seluruh penjuru Jawa diliterasikan dalam bahasa yang sama sebagai cita-cita hidup yang sebangun: Gemah Ripah Loh Jinawa, Subur Kertarajasa. Yang dalam motto Kabupaten Cianjur, dilafalkan dengan dua kata singkat: Sugih Mukti....

Begitulah Cianjur digambarkan, ia tak hanya berhenti sebagai kata2 kosong, tanpa makna. Buminya menghasilkan beras paling enak yang pernah ada di Bumi Nusantara: putih bersih di mata, lembut di tangan, dan pulen di lidah. Sejak zaman dulu, tanpa rekayasa teknologi, tanpa perlakuan khusus apa pun. Beras Cianjur adalah nomer satu! 

Karena itulah, makanan di daerah ini adalah yang paling polosan dan original. Cukup lalaban sayur dari kebun dan sambal, dengan lauk yang bisa apa saja. Paes hayam atau pepes ikan mas. Apapun pilihannya sudah menjadi hidangan yang dahsyat, karena nasinya yang sudah sangat enak. Tak heran, bumi ini menghasilkan para perempuan rupawan berkulit putih, bersuara lembut, dengan karakter rendah hati yang tiada tara. 

Perempuan yang untuk menjadi cantik tak butuh apa-apa lagi!

Hal-hal sesederhana inilah, yang membuat Cianjur adalah pilihan nomor satu untuk para pembesar negeri ini, sejak dulu masa kolonial hingga presiden siapa pun. Cianjur adalah tempat persembunyian yang aman. Jangan lupa, Istana Cipanas adalah rumah peristirahatan pertama yang disengajakan dibangun para Gubernur Jendral VOC untuk sejenak kabur dari hiruk pikiuk urusan politik di Batavia. 

Dulu, ada sebuah cerita legendaris. Saat tiba2 Ibu Negara Fatmawati menghilang dari rumahnya. Ketika, ia dicari ditemukan sedang bersembunyi di dekat air terjun di belakang Istana Cipanas. Ia ngambeg, tak mau dipoligami Sukarno. Tak seorang ia hiraukan. Hingga Sukarno datang sendiri, merayu, merajuk dan mengajaknya pulang . Meminta maaf, tapi tetap ngotot kawin lagi. Bukti lain bahwa dalam urusan perempuan, proklamator satu ini ngehek banget!. 

Mungkin dari peristiwa ini, inspirasi lagu "Semalam di Cianjur" yang dicipta dan nyanyikan oleh biduan Alfian itu lahir. Liriknya melodius, sekaligus tendensius: Tapi sayang, hanya semalam / Berat rasa perpisahan / Namun ku telah berjanji / Di suatu waktu kita bertemu lagi.  

Semula Cianjur adalah Ibukota Karesidenan Priangan. Tapi bencana alam dahsyat dan tak berkesudahan, memaksa ia kehilangan statusnya itu. Alih-alih pemerintah kolonial Belanda mengembangkannya sebagai simbol kebesaran Tanah Pasundan. Ia ditinggalkan, para ambtenaar itu memaksa segalanya dipindahkan ke tanah kosong, di cekungan sembilan gunung yang konon bekas danau purba: Bandung.

Cianjur adalah kota yang patah hati sejak lama. 

Namun bukankah demikianlah (barangkali) "kutukan keindahan, pamali kesuburan, kuwalat keberlimbahruahan". Di balik segala hal baik dan keberuntungannya, di belakangnya selalu diintai segala bencana. Tak sekali Gunung Gede meletus, dan Cianjur selalu menjadi korbannya. Patahan tanah bergerak sesar Cimandiri selalu berulang, dan memporak porandakan segala hal baiknya. 

Banyak yang lupa, sekalipun Cianjur adalah "daerah pedalaman", ia tak hanya diintai gempa bumi, tapi juga banjir bandang dan angin topan sejak dari dulu. Jika hari ini berulang, di situlah letak kesedihannya. 

Mungkin itu sebagaimana, makna kata "anjur" yang ada dalam kosa kata Cianjur. Sinonim "anjur" dalam bahasa Sunda adalah "mapatahan". Secara harafiah ia bermakna memberi nasehat, saran, atau anjuran. Tapi sekali lagi "mapatahan" juga bermakna membuat segala sesuatunya patah, runtuh, dan luluh lantah.  

Sebagaimana juga nasehat yang dianggap baik, ia selalu berfungsi mematahkan niat buruk. Alam tak lelah mengingatkan, dan saat ini untuk ke sekian kali Cianjur (sedang) kembali diingatkan. 

Ia bergerak sangat jauh dari keasliannya, terlalu jauh dari kearifan lokalnya. Kembalilah, kembalilkanlah...

NB: Cianjur adalah kota kenangan masa muda saya. Sebagai Mahasiswa IPB di Bogor, namun orang tua berumah di Bandung. Nyaris setiap minggu, saya ulang-alik antara kedua kota ini. Dulu sekali, setiap hari Sabtu dan Minggu, jalur Puncak selalu ditutup untuk bis besar. Untuk menghubungkan dua kota ini, bis mesti memutar lewat Sukabumi. Sebagai gantinya ada colt yang khusus menjadi satu-satunya "hub terpendek" yang boleh melewati Puncak menuju Cianjur. 

Tentu ini adalah moment baik untuk sedikit plesir menikmati segala kecantikan kota ini. "Ngeceng gratis" para gadisnya, yang selalu tampak jual mahal. Jajan kulineran entah itu sekedar membeli sebotol tauco atau sebungkus asinan untuk oleh2 keluarga di rumah. Atau kalau uang sedikit tersisa membeli geco, ini akronim tauge tauco. Kuliner yang rasanya nano-nano itu, antara gurih, manis, dan asam yang seolah saling berebut minta perhatian.

Cianjur adalah ayam pelung yang meringkik panjang. Ia adalah gamelan degung "cianjuran" yang lembut, nyanyian yang menyayat hati. Ia asinan yang membuat buah2an berumur lebih panjang tanpa zat kimia. Ia adalah kue moci yang jadi simbol akulturasi antar budaya, yang sejak dulu sedemikian mudah lekat.

Tapi Cianjur juga adalah tangisan tak berkesudahan, ia tak berdaya terus menerus diubah wajahnya. Seolah yang lama adalah buruk rupa, dan harus diberi baju dan kosmetika baru....

Tulisan untuk Akang Senior Iwan Suriadikusumah, saya masih bisa nulis kok kang. Jangan cemas!

***