Tuwuh dan Tuwuk dalam 265 Tahun

Bahwa memahami manusia universal dan integral, cukup dengan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri. Karena tangguh dan tanggon tak akan pernah tuwuh di atas kain-kain berkibaran sepanjang jalan.

Minggu, 10 Oktober 2021 | 09:49 WIB
0
164
Tuwuh dan Tuwuk dalam 265 Tahun
Sri Sultan Hamengkubuwono I (Foto: Tirto.id)

Pada 7 Oktober 1756, satu tahun setelah babat hutan Beringan, Sri Sultan Hamengku Buwana I boyongan dari pesanggrahan Ambarketawang, Gamping. Ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Perang yang melelahkan, antara Sunan Pakubuwana II dengan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Mereka masih sesaudara. VOC memiliki peran penting terjadinya konflik trah Mataram itu. Perjanjian Giyanti hanyalah penanda. Sebagaimana Soeharto menunduk dua kali, menandatangani Perjanjen Freport dan IMF. 1966 dan 1998.

Dan kekuasaan selalu memberikan madu pada yang menang. Dan tetes pada yang kalah. Hingga kini. Hingga entahlah, bagaimana kabar kelak para anak-turun Catur Sagotra. Namun yang tuwuh adalah Jokowi, Ahok, Gibran, Mambrasar,...

Di jaman paska milenial kelak, ketika kesaktian digantikan teknologi virtual, dengan doktrinnya yang tak terampuni; Mendekatkan yang jauh, namun senyampang itu menjauhkan yang dekat.

Kita, generasi kini, dan yang akan datang, seolah menuai tulahnya. Hingga kini, ketika kosakata menjadi mantra, namun sekaligus umpatan. Di mana Orla dan Orba, Kampret dan Cebong, Kadrun dan Non-Kadrun, Jokowisme dan dan Non-Jokowis, lebih dipercayakan pada tukang goreng kaki-lima. Menggoreng telur busuk.

Seorang sosiolog yang profesor, tiba-tiba menanya kenapa dalang wayang kulit kini membicarakan soal peye dan tidak peye. Kenapa budayawan membicara soal pasar. Namun, sang profesor lupa menanya dirinya, kenapa ribet bertanya di medsos. Menjadi bagian dari masalah pula. Bukannya pengurai.

Hingga ketika Ngayogyakarta Hadiningrat berusia 265 tahun, apakah yang istimewa, selain dananya? Yang membuat barisan danais dan non-danais? Saya tak berani menyinggung ke sana. Punten Dalem sewu, benarkah Panembahan Senopati di atas watugilang Parangkusuma, mencumbui Kanjeng Ratu Kidul karena cinta? Atau politik?

Pertarungan demi pertarungan, dibungkus halus di dalam ceruk luka hati yang dalam. Api dalam sekam. Tiba-tiba Cindhil pralaya, dalam serangan jantung. Bak jamur di musim hujan grup-grup kesenian berbadan hukum. Namun di mana jiwanya? Suksmanya? Ruhnya?

Mengelilingi benteng Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, melawan putaran jarum jam, pagar besi menghalangi bebungaan tersebar antara dua ringin kurung. Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pantesan, dulu pernah Pangeran Dipanegara duka-yayah sinipi, tapi dibuang sampai Manado.

Kudengarkan tembang lirih Ki Ageng Suryomentaram, anak ke-55 Sri Sultan Hamengku Buwana VII, yang pergi meninggalkan pakaian keningratannya. Ia menolak uang pensiunan sebagai pangeran. Karena merasa tak pernah bekerja untuk pemerintahan kolonial, yang memberinya uang pensiun itu.

Ia memberikan uang hasil penjualan mobil pribadinya, pada sopirnya. Ia memberikan uang hasil penjualan kuda, pada yang merawat kudanya tersebut. Tapi kini aneka pangeran menjual mobil dan kuda milik orang lain, untuk dirinya sendiri. Dalam pada itu, antara Nggading hingga Playen, Ngarsa Dalem Hamengku Buwana IX menutupi wajahnya dalam tahta untuk jelantah.

Ki Ageng Suryomentaram, sang pangeran sejati, ningrat sebenar-benar ningrat, menanggalkan semuanya. Meski diam-diam, terus bersama teman-teman seperjuangan, dalam perhimpunan Selasa Kliwonan. Sebagai SJW sejatinya, social justice warrior. Dalam sunyi. Bahwa pernah ada manusia seperti itu. Manusia istimewa. Manusia genah-diri.

Bahwa memahami manusia universal dan integral, cukup dengan menyadari rasa yang ada pada diri sendiri. Karena tangguh dan tanggon tak akan pernah tuwuh di atas kain-kain berkibaran sepanjang jalan. Sak dawa-dawaning lurung, isih dawa kang hurung. Sementara tuwuh dan tuwuk, adalah beda. Maafkan hamba, Kanjeng Ratu Kidul.

Sunardian Wirodono