Bom Natal 2000

Pada malam Natal itu saya tidak pulang, menginap di kantor redaksi. Keesokan pagi di Hari Natal, saya ikut membagikan Harian Kompas edisi "Bom Natal" secara gratis. Salah satunya di pom bensin.

Jumat, 22 Januari 2021 | 15:56 WIB
0
342
Bom Natal 2000
Awak redaksi Kompas yang bertugas pada malam Natal 2000 (Foto: Istimewa)

Saya meminjam foto ini dari rekan Apolonius Lase , penyelaras bahasa Harian Kompas, bukan semata-mata diri saya ada terselip di sana. Saya mengenang dua hal;

Pertama, saat itu saya didapuk sebagai kepala proyek "Lebaran/Natal dan Tahun Baru" yang berdekatan. Penunjukkan ini galibnya diindikasikan sebagai kenaikan jenjang yang lebih tinggi. Jadi, "PO" semacam batu loncatan, begitulah.

Kedua, saya mengenang telah bergugurannya media cetak (koran) -yang paling mutakhir Koran Tempo dan Suara Pembaruan- sehingga timbul pertanyaan yang paling menekan perasaan, jangan-jangan turbulensi itu juga bakal menerpa di media tempat saya bekerja dulu.

Untuk yang terakhir, saya berdoa tidak terjadi pada Harian Kompas, setidak-tidaknya tidak dalam waktu dekat. "Oh Lord, please give us more time".

Kembali kepada penugasan sebagai "PO", tidak disangka dan tidak diduga, terjadilah hujan bom di beberapa tempat di negeri ini bertepatan dengan malam natal sehingga kami menyebutnya "Bom Natal". Jelas, pelakunya adalah teroris kalau bukan orang gila. Jelas pula, sebagai "PO" saya bertanggung jawab penuh atas liputan dan penulisan beritanya.

Baca Juga: Kompas, Berlayar di Antara Scyla dan Caribdis, Catatan Ulang Tahun Kompas Ke-55

Sebagai Kepala "PO", konsentrasi selain pada cakupan liputan, juga pada bakal terbitnya koran 8 halaman jika terjadi peristiwa luar biasa, yang sudah menjadi kesepakatan Redaksi, meski terjadi di hari libur nasional seperti Natal. Artinya, tepat di hari Natal keesokan harinya, Kompas terbit dan beredar dengan atau tanpa iklan.

Di sini sesungguhnya kekompakan tim diuji, di sini pulalah bagaimana sikap tegas Harian Kompas dalam memecat wartawannya yang menyalahi prosedur kerja dan bahkan ke luar area liputan tanpa izin atasan langsung, ya kebetulan sayalah atasan langsungnya.

Bayangkan, satu persatu saya telepon wartawan yang sedang libur tapi pergi ke gereja untuk memberikan laporan pandangan mata karena besok Kompas akan terbit. Tidak ada kesulitan, bahkan di antara mereka ada yang ke kantor di Palmerah atas inisiatif sendiri untuk menulis berita.

Akan tetapi, ada wartawan baru yang masih hangat diangkat dari kawah candradimuka pendidikan yang saat saya telpon menggunakan ponsel sedang berada di dalam kereta menuju Bandung. Tadinya saya minta yang bersangkutan meliput ke Katedral.

"Wah, saya sedang menuju Bandung," katanya. "Saya bisa meliput kondisi Bandung."
"Siapa yang mengizinkan kamu ke Bandung?" tanya saya sengit.
Hening sejenak. "Tidak ada," jawabnya kemudian.
"Kamu sudah menyalahi prosedur, saya tidak sendiri di sini, ada pimpinan yang lebih tinggi."

Ponsel Siemens S4 saya tutup.

Atas peristiwa ini saya lapor kepada pimpinan yang lebih tinggi dan pimpinan berjanji akan memberi sanksi. Pada keesokan harinya atau hari-hari berikutnya saya sudah tidak melihat si wartawan baru itu lagi. Langsung dipecat. Ia sudah korupsi waktu, ke luar area liputan tanpa izin atasan!

Pada malam Natal itu saya tidak pulang, menginap di kantor redaksi. Pada keesokan pagi di Hari Natal, saya ikut membagikan Harian Kompas edisi "Bom Natal" secara gratis. Salah satunya di pom bensin.

Orang-orang umumnya tidak percaya kalau yang saya bagikan itu benar-benar Harian Kompas, mereka tahu pada hari besar nasional Kompas tidak terbit. Padahal, selalu ada perkecualian dalam hidup dan kehidupan ini.

Perkecualian itu ya "Bom Natal" itu.

***