Matinya Nalar

Keterbatasan kecerdasan ini berdampak buruk mengakibatkan terjadinya kepanikan moral dan berujung jatuhnya korban yang tak bersalah seperti kasus Sigi kemarin.

Kamis, 3 Desember 2020 | 10:37 WIB
0
340
Matinya Nalar
Ilustrasi (Foto: beritagar.id)

Saya sedang menunggu pesanan bakmi saat saya mendengar ceramah lucu di warung bakmi itu. "Jadi saudari-saudariku," kata penceramah dengan nada berapi-api. "Bila ada pria mendekati kita, mengajak mengobrol kita, ia pasti tertarik pada kita. Setengah jam ia berbicara pada kita, tanyakan apa maksudnya. Apakah ia serius mau mengajak menikah, atau hanya ingin mengajak berzinah. Hati-hati bisa mendatangkan perkosaan, kehamilan di luar nikah bukan cuma dosa."

Saya yang waktu itu sedang melamun nyaris hampir menyemburkan tawa, untung bisa saya tahan. Hanya terkikik sedikit. Betapa tidak, teringat teman-teman sejawat yang sudah mengobrol lebih dari setengah jam dengan saya. Sampai hari ini mereka belum juga mengajak saya menikah ataupun berzinah. Mungkin saya terlalu jelek...

Tapi dari situ saya agak sedikit berpikir, mengapa ceramah-ceramah yang menakut-nakuti lebih populer daripada ceramah yang biasa. Saya kemudian teringat apa yang ditulis dalam buku The Death of Expertise- Tom Nichols tentang bias konfirmasi. Kecenderungan memilih dan mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai dan sukai. Kita berhadapan dengan kelompok besar orang yang suka ditakut-takuti, memilih untuk ditakut-takuti.

Mengapa begitu, ternyata ini adalah mekanisme survival juga. Kita cenderung takut pada kondisi yang tak bisa kita kendalikan. Maka kita lebih mudah dicengkeram ketakutan irasional daripada optimisme irasional. Kita lebih mudah takut naik pesawat terbang daripada naik mobil. Meski statistik menunjukkan jumlah korban kecelakaan jalan raya lebih banyak daripada kecelakaan pesawat terbang. Kita merasa tak mampu mengendalikan pesawat terbang.

Baca Juga: Memutus Nalar Jahat Radikalisme

Betapapun rasionalnya manusia, tetap menyisakan sedikit hal irasional, meski optimisme irasional lebih jarang terjadi. Tidak heran, seseorang yang membeli lotere, langka sekali bila ia akan berteriak-teriak mantap, "Besok aku menang lotere." Jauh lebih mudah seseorang takut kertas loterenya hilang daripada optimis menang lotere. Ketakutan yang tentu saja berlebihan karena probabilitas menang lotere itu rendah.

Saya kira ceramah-ceramah yang menjejalkan ketakutan yang marak belakangan ini juga berawal dari hal tersebut, ketakutan untuk sesuatu yang dirasa tak dapat kita kendalikan. Dalam hal ini masa depan. Masa depan yang rentangnya masih jauh lagi hingga sesudah kematian.

Seperti juga ketakutan akan diperkosa oleh pria-pria yang mengajak kita berbicara lebih dari setengah jam. Prosesnya masih panjang untuk sampai ke situ. Bukan cuma ditentukan karena kita mengobrol setengah jam.

Betapapun cantik dan menggairahkan kita, dunia modern tak memungkinkan kita diperkosa selepas obrolan setengah jam itu. Kecuali mengobrol di semak-semak yang sepi. Itu pun biasanya, perkosaan di semak-semak sepi tidak didahului mengobrol setengah jam. Sedang mengobrol di tempat ramai bila berakhir dengan bertempur tentu saja umumnya terjadi atas nama suka sama suka. Saran saya, menanyakan apakah seseorang akan menikahi kita setelah setengah jam mengobrol adalah mempermalukan diri sendiri yang justru menjauhkan kita dari pernikahan.

Mungkin terorisme berlatar relijius juga analog dari ketakutan perkosaan itu. Ketakutan hancurnya masa depan sesudah kematian karena tak beriman, sekaligus ketakutan akan kehilangan iman karena adanya iman lain. Meski sebenarnya beralih iman itu probabilitasnya mungkin sama kecilnya dengan diperkosa setelah mengobrol setengah jam.

Pikiran seringkali beroperasi dengan informasi yang terbatas. Keterbatasan inilah yang memungkinkan terjadinya teori konspirasi. Maka tetangga yang berbeda iman itu ditafsirkan akan membentuk pemukiman baru, hanya untuk mereka yang seiman. Masih ditambah dengan cerita dana dari luar negeri yang besar demi tegaknya koloni iman baru. Bukan dana sekadar untuk bagi-bagi mi instan. Dan ujung dari teori konspirasi itu adalah pikiran bahwa tetangga beda iman akan menghabisi mereka.

Menurut Nichols, teori konspirasi bukan hanya memuaskan hasrat heroik kita, teori konspirasi amat menarik bagi mereka yang kesulitan memahami dunia yang rumit sekaligus hanya mau mendengar hal-hal dramatis. Ini masih ditambah fakta bahwa orang yang kurang kompeten akan memperjuangkan pendapat mereka mati-matian. Orang yang tak kompeten jugamenilai terlalu tinggi kemampuannya. Apa yang disebut sebagai Dunning-Kruger Effect: semakin bodoh Anda, semakin Anda yakin kalau Anda sebenernya tidak bodoh.

Sampai di sini saya tertawa lagi, teringat debat paling ngeyelan di medsos selalu dilakukan orang yang paling payah tata bahasanya. Gambaran literasi rendah. Seperti orang yang paling garang, ternyata suka ngilang lewat jalan belakang.

Semua kengeyelan ini, teori konspirasi, ceramah provokasi, ajakan melakukan jahat, mungkin sebenarnya hanyalah bentuk menutupi ketololan. Bukan urusan yang agung seperti iman, meski mengatas namakan iman. Sekumpulan orang yang tak paham. Keterbatasan kecerdasan ini berdampak buruk mengakibatkan terjadinya kepanikan moral dan berujung jatuhnya korban yang tak bersalah seperti kasus Sigi kemarin.

Sedikit fakta yang membuat saya sedih, Nichols mengatakan bahwa manusia masa kini tetap lebih cerdas daripada di masa lalu. Yang jadi masalah, bisakah manusia abad 21 mengejar kecerdasannya dengan kecepatan perubahan dunia? Tak perlu waktu lama lagi kecerdasan manusia akan mendapat ancaman serius dari AI, dan sebagian dari kita masih sibuk saling barbar dengan membunuh sesama. Primitif. Tidak pernah prihatin berpikir bila AI telah menguasai, bisnis tukang obat bakal tersendat-sendat.

***