Nalar radikalisme yang ingin mendirikan khilafah masih hidup di benak para anggotanya. Nalar sangat sulit dideteksi dan dibasmi kalau tidak dengan secara serius dan terus menerus. Kita boleh bergembira dengan pembubaran HTI, tapi tugas kita belum selesai, masih banyak HTI-HTI lain yang berkeliaran.
Nalar radikalisme yang selanjutnya bisa melahirkan aksis teror, yakni menganggap orang/pihak lain kafir dan halal darahnya sehingga harus dimusnahkan, masih terus ada dan mungkin masih berkeliaran di sekitar kita. Sama dengan kelompok Khawarij, secara kelembagaan sudah musnah berabad-abad yang lalu, tapi nalar Khawarij: kaku; mau benar sendiri; tekstualis; menegasikan orang lain, masih hidup sampai sekarang.
Tugas kita dalam konteks ini adalah berupaya terus menerus untuk memutus mata rantai nalar radikalisme itu. Nalar yang tidak mengakui pluralitas; tidak menghargai pihak lain; tidak mengakui hukum manusia sebagai pegangan bersama; berusaha untuk mengubah sistem negara yang sudah disepakati; menegasikan orang/pihak lain, harus sedini mungkin diputus.
Nalar seperti ini masih banyak dijumpai di media sosial, bahkan dengan bebas dan riangnya mereka mengampanyekannya. Nalar dan paham seperti inilah yang harus diberantas bersama-sama.
Ibarat akar yang menghujam ke dasar tanah itu nalarnya. Menumbangkan pohon, tentu tidak berhenti hanya memotong batangnya saja, tapi harus mengikis dan membongkar akar-akarnya juga. Karena boleh jadi, sisi batang pohon ini masih bisa menumbuhkan cabang batang pohon lagi.
Nalar-lah yang mengarahkan manusia. Nalar kebencian, akan melahirkan tindakan kebencian. Nalar kekerasan, akan melahirkan tindakan kekerasan. Begitu juga, nalar perdamaian, akan melahirkan tindakan yang membawa kedamaian. Nalar ibarat mesin yang bersifat abstrak yang tertanam di alam sadar manusia.
Alam bawah sadar ini baik bersifat personal, yakni individu manusia, maupun bersifat kolektif, yakni masyarakat.
Untuk itu, membasmi radikalisme tidak bisa hanya dengan melawan perwujudannya saja, tetapi harus memutus sumber dan akarnya, yakni nalar yang terpatri di benak manusia. Sebab, jika radikalisme itu ibarat kue, maka nalar yang ada di benak ibarat tuangan kue. Memperbaiki atau menghancurkan kue, tidak bisa hanya sekadar berhenti pada kue, tetapi harus masuk kepada tuangan kue. Sebab bagus dan buruknya kue tergantung dari model tuangannya.
Lalu bagaimana cara memutus nalar radikalisme?
Cara pertama adalah menggeser nalar dari al-hakimiyah al-ilahiyah (Tuhan adalah hakim/pembuat hukum) menuju al-hakimiyah al-basyariyah (manusia sebagai pembuat hukum). Implikasinya, tidak ada lagi yang mengklaim, bahwa ini sistem thagut, itu sistem kafir, ini berhala besar yang harus ditumpas.
Cara kedua, dekonstruksi makna jihad fi sabilillah, bahwa jihad bukan hanya terbatas pada perang dan permusuhan, melainkan jihad adalah totalitas hidup. Jihad bukan mati dijalan Allah, melainkan hidup damai di jalan Allah.
Pemutusan nalar ini tentu butuh kerjasama, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Kerja kolektif dengan partisipasi semua lapisan masyarakat adalah pra-syarat melakukan pemutusan nalar radikalisme ini. Proses dekonstruksi dari nalar kekerasan menuju nalar perdamaian butuh keaktifan semua lini, pemerintah, ormas, masyarakat, semuanya harus bahu-membahu demi Indonesia damai.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews