Covid-19 dan Tragedi Kolektif

Keterbukaan hati untuk saling menerima, saling mendukung, dan saling bekerja sama sebagai manusia (homo homini socius) menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Jumat, 27 Maret 2020 | 07:18 WIB
0
426
Covid-19 dan Tragedi Kolektif
Ilustrasi kremasi (Foto: IDN Times)

Di masa depan, para sejarawan akan menulis tahun 2020 ini sebagai “tahun kepanikan” global dan juga sebagai “tahun tragedi kolektif.” Barangkali juga akan ada yang menggunakan terminologi apokaliptik, yakni datangnya bencana kosmis—transformasi dunia secara radikal, yang akan memunculkan perubahan radikal pula dan berakhir dengan datangnya dunia baru, dunia lain.

Zaman ini berakhir dan mulailah sebuah zaman baru, yang oleh Gramsci diistilahkan “…the old is dying,” tetapi Gramsci masih melanjutkan dengan "..and the new cannot be born.”

Tentu, kita semua berharap, nanti setelah “tragedi kemanusiaan” karena pandemi Covid-19 ini, muncul dunia baru, terutama hubungan antar-manusia yang berubah, menjadi lebih manusiawi, lebih mencintai dan memelihara Bumi. Sebab, bukankah manusia itu homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi sesamanya. Begitu menurut Nicolaus Driyarkara SJ (1913-1967) seorang filsuf Indonesia dalam dalam A. Sudiarja, dkk (ed.) “Karya Lengkap Driyarkara” (2006)

Dari sini, Driyarkara mengubah lupus (serigala) menjadi socius (teman, sahabat, kanca); dari homo homini lupus (manusia serigala bagi sesama manusia) seperti yang diungkapkan Plautus (251-184 SM) dan digaungkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679), menjadi homo homini socius, manusia menjadi sahabat bagi sesama manusia.

Kiranya, hal itu yang sekarang ini sedang diuji ketika dunia, termasuk Indonesia, tengah disapu pandemi wabah Covid-19.

Koran The Washington Post (17 Maret 2020), memberitakan krematorium beroperasi 24 jam sehari. Peti mati memenuhi kamar-kamar jenazah rumah sakit dan kamar-kamar mayat di rumah pemakaman; peti-peti jenazah berbaris di dalam gereja-gereja. Iklan duka cita di koran-koran yang biasanya hanya dua atau tiga halaman, kini menjadi 10 halaman lebih, yang memuat lebih dari 150 nama.

Kisah yang tak jauh berbeda juga terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Di media sosial viral berita dan foto keluarga yang anggota keluarganya terkena Covid-19. Bagaimana mereka harus “merelakan” korban kesendirian, bahkan sampai mati. Sementara para dokter, para tenaga medis lainnya, menerima jalan pengorbanan yang sangat berat.

Namun, mereka menerima bukan dengan cara Stoik—tenang dan pasrah—melainkan dengan kegembiraan sejati dan kebahagiaan yang membawa sukacita mereka dalam karyanya: karya kemanusiaan.

Apa yang terjadi di Italia pada masa-masa awal saat masyarakat tidak mematuhi perintah social distancing, stay at home dan tidak kumpul-kumpul. Hal yang sama juga terjadi di negeri ini, Indonesia.

Barangkali, memang, perlu tindakan tegas—bahkan sangat tegas--dari pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19 ini; selain tentu mengharapkan kesadaran warga masyarakat. Sebab, mengutip yang dikatakan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) ahli hukum Romawi yang disebut prinsip- Caesarismus Salus populi suprema lex esto (kesehatan rakyat hendaknya menjadi hukum tertinggi).

Dan, Cicero masih melanjutkan, _“princeps legitus salutus est,” _ pemimpin yang menentukan apa itu kesehatan rakyat; pemimpin tahu bagaimana menjamin, mengupayakan terwujudnya kesehatan rakyat; juga keselamatan rakyat.

Karena itu, pemerintah menganjurkan, (lebih pas) memerintahkan disertai sanksi bagi yang melanggar keputusan politik: pemberlakuan social distancing, menjaga jarak di lingkungan sosial, physical distancing dan karantina diri.

Baca Juga: Egoisme dalam Beragama

Bahkan, banyak negara memberlakukan isolasi penuh atas negara, lockdown (negara yang terinfeksi virus corona mengunci akses masuk dan keluar sebagai pengamanan ketat untuk mencegah penyebaran virus corona.

Semua itu baru bisa terwujud, apabila ada kemauan semua pihak, kesadaran kolektif—karena pandemi  wabah Covid-19 adalah tragedi kolektif-- untuk mewujudkan kesehatan dan kemudian keselamatan rakyat. Maka dari itu, keterbukaan hati untuk saling menerima, saling mendukung, dan saling bekerja sama sebagai manusia (homo homini socius) menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Mengapa menjadi “syarat mutlak?” Sebab, seperti kata Domitius Ulpianus (170-228) seorang hakim di zaman Romawi, Dura lex sed lex, hukum itu keras tetapi begitulah hukum. Tanpa itu, tragedi yang menyapu Italia, misalnya, bukan tidak mungkin akan menimpa kita juga. Suatu hal yang sangat tidak kita inginkan bersama. Bukankah begitu.

Trias Kuncahyono

 ***