Korona dan Kandasnya Sebuah Pesta

Ini jadi tugas yang tak mudah ketika pemerintah memutuskan tak melakukan lockdown memang. Tapi sekali lagi saya yakin, pemerintah pasti telah memikirkan solusi terbaik.

Sabtu, 28 Maret 2020 | 13:33 WIB
0
245
Korona dan Kandasnya Sebuah Pesta
Corona Virus, sumber google

Akhirnya Bude Jum tetap pulang kampung. Menatap masygul mobil yang menjemputnya hilang dari pandangan. Aku  masih berdiri di halaman, dan memanjatkan doa ke langit semoga virus Korona tak sudi hinggap di tubuhnya yang mulai menua.

Bude Jum, panggilan perempuan 60 tahun itu, memang telah lama merencanakan untuk pulang kampung. Dia akan menikahkan putera bungsunya. Tapi dalam situasi rawan virus seperti ini, saya sempat menanyakan apakah resepsi itu akan tetap dilangsungkan.

"Ya jadi toh Mba. Wong, udah siap semua," jawabnya yakin.

"Gimana kalau kampung Bude ditutup? Misalnya tidak boleh ada orang keluar masuk?" saya ajak dia berandai-andai jika kampungnya menetapkan lockdown seperti yang ramai diperdebatkan.

Apa lagi Kampungnya Bude itu berada di suatu daerah di Jawa Tengah, tak jauh dari wilayah yang telah ditetapkan sebagai wilayah Kejadian Luar Biasa (KLB).

"Ya ndak mungkin toh Mba," jawabnya keukeh.

Untuk hal yang satu ini, Bude Jum mungkin benar. Pemerintah memang memutuskan tidak melakukan lockdown. Meski pro kontra merebak, saya tetap berpikirin positif bahwa keputusan ini pasti telah melalui kajian mendalam. Melibatkan para ahli pastinya. Jadi bukan dalam kapasitas saya lah untuk membahasnya.

Saya hanya sedikit beranalogi. Ibarat kapal besar, jika memutuskan lockdown pemerintah menghadapi dilema. Indonesia itu ibarat kapal besar yang tak cuma menghadapi badai, tapi juga akan menghadapi kerusakan mesin. Ekonomi mandek. Bayangkan sebagian besar pekerja Indonesia yang bergerak di sektor informal, pada akhirnya tak memiliki sumber nafkah lagi. Mungkin itu yang jadi perhatian pemerintah. Tolong, maklumi saya yang awam ini ya. 

Bude Jum memang tak salah.

Bude Jum yang lugu. Saya mengenalnya dengan baik. Hampir empat tahun dia ikut kami. Menjaga Attar saat saya pergi bekerja. Tanpanya aku tak leluasa melangkah. Tergagap-gagap dalam tugas.

Sejak virus Korona merebak, saya berupaya keras memberikan pengertian tentang bahayanya virus ini pada Bude Jum. Saya ceritakan berita yang saya baca, saya hidupkan televisi jika sedang di rumah, berharap agar dia lebih hati-hati menjaga diri. Apa lagi jika dapat menunda sementara rencana hajatannya.

Tapi semua membentur tembok.

"Saya Bismillah aja Mba, yakin," putusnya.

Akhirnya saya hanya dapat berpesan supaya dia berhati-hati selama dalam perjalanan. Betapa rentan orang seusia dia bisa terpapar virus ini dalam perjalanan, itu yang saya baca.

Seperti nakes saja saya ceritakan ke dia, tak cuma percikan ludah karena seorang penderita bersin atau batuk saja, bahkan penularan bisa melalui banyak media. Bahkan benda padat juga.

"Jadi kalo ada orang yang sudah terkena Korona itu, dia megang mulut lalu megang pintu mobil, kemudian Bude megang mulut, hidung, atau mata setelah megang pintu juga maka bisa terkena," jelas saya sok pintar.

Dia manggut-manggut. Entah mengerti atau pura-pura mengerti. Atau karena tak enak hati saja, entah. Saya bekali dia dengan tisu basah mengandung alkohol dan masker, dan terus berpesan agar dia sering membersihkan tangannya.

Dua hari sejak kepergian Bude Jum, saya dapat kabar dari saudaranya bahwa resepsi putera bungsunya Bude Jum dibatalkan. Tak diijinkan aparat desa, ceritanya.

Bude Jum pasti kecewa, mungkin juga nelangsa. Berbulan-bulan dia selalu bercerita tentang pesta sang putera. Saya bayangkan dia pasti sulit menerima jika pesta yang telah direncanakan jauh-jauh hari itu, harus kandas karena makhluk yang tak kasat mata.

Ada jutaan orang seperti Bude Jum yang menanti edukasi kita. Saya bayangkan betapa berat pekerjaan rumah pemerintah saat ini. Bahkan saya saja kesulitan memberi pengertian pada satu orang seperti Bude Jum ini, apa lagi ada 270 juta masyarakat yang harus diurus dengan beragam kepala. Bude Jum yang lugu saja tak mampu saya urus, apa lagi 270 juta yang banyak maunya itu.

Ini jadi tugas yang tak mudah ketika pemerintah memutuskan tak melakukan lockdown memang. Tapi sekali lagi saya yakin, pemerintah pasti telah memikirkan solusi terbaik.

Dan beberapa hari setelah Bude Jum pergi, saya menemukan sesuatu dalam lemarinya. Coba tebak, apa? Masker dan tisu beralkohol yang saya berikan sebelum keberangkatannya itu hanya teronggok begitu saja.

***