Hidup Bermakna

Dalam terang mawas diri akan tampak bahwa kesulitan warga meraih kebahagiaan hidup disebabkan tabiat elit negeri yang tertawan di kebahagiaan rendah.

Selasa, 7 Januari 2020 | 16:56 WIB
0
288
Hidup Bermakna
Ilustrasi tebing (Foto: boombastis.com)

Seseorang bertanya padaku tentang cuaca. Jawabku: "Cuaca hari ini akan seperti yang kita inginkan." Ia pun keheranan, "Bagaimana kau tahu?" Jawabku: "Dalam perjalanan panjang mengarungi lika-liku hidup, kutahu kehidupan tak selalu berjalan seperti yang kuinginkan. Oleh karena itu, apapun yang menimpaku akan kuhadapi dengan jembar jiwa."

Rasa syukur dan terima kasih melapangkan cakrawala kehidupan. Ia mengisi ingatan kita dengan ketulusan hati, bukan angan ambisi; membuat apa yang kita miliki jadi kecukupan, bahkan kelebihan, penolakan jadi penerimaan, kekacauan jadi ketentraman; membuat makanan jadi selamatan, rumah fisik (house) jadi pesanggrahan (home), yang asing jadi kerabat.

Tantangan membuat hidup menarik; mengatasinya membuat hidup bermakna. Hidup yang tak dipertaruhkan tak dapat dimenangkan. Adapun kemenangan tertinggi bukan tercapainya "kehendak bersenang" atau "kehendak berkuasa", melainkan "kehidupan bermakna".

Tak selamanya hujan membawa bah malapetaka. Seperti rinai gerimis pagi ini yang menitiskan inspirasi berbakti.

Sekali hujan turun, rerumputan kering menghijau kembali. Ketulusan memberi dan melayani menumbuhkan spontanitas daya bangkit bagi semesta kehidupan.

Filsuf Konfusius, Mencius, meyakini jiwa manusia sehat tak akan kosong dari rasa simpati pada sesama. Jika seseorang melihat anak kecil berdiri di tubir jurang, secara refleks dia akan menghela anak tersebut tanpa sempat berpikir apa suku, agama, atau keuntungan yang didapat.

Neokorteks dari otak manusia menjadikan kita makhluk pencari makna yang menyadari akan kebingungan dan tragedi nestapa kita, dan jika kita tidak menemukan semacam arti paling mendalam dari hidup, kita mudah jatuh ke lembah keputusasaan.

Adapun makna hidup terengkuh dengan jalan mengembangkan welas asih: bergembira dalam kebahagiaan yang lain dan bersedih dalam kepedihan yang lain.

Ketulusan welas asih yang dipancarkan para relawan dan figur teladan bak tetes hujan di tengah terik kemarau etika dan rasa kemanusiaan. Siraman pelayanan mereka hidupkan kembali kebun kehidupan dari kekeringan yang ditimbulkan oleh keserakahan korupsi, menimbun harta, mementingkan diri sendiri; serta ketegaan saling membohongi, mengkhianati, dan membenci sesama yang berbeda.

Dalam impitan kesulitan yang melilit kehidupan rakyat, para pemuka bangsa dituntut mawas diri. Dalam terang mawas diri akan tampak bahwa kesulitan warga meraih kebahagiaan hidup disebabkan tabiat elit negeri yang tertawan di kebahagiaan rendah karena rangkaian panjang keinginan yang tak pernah berakhir.

Sa’di berkisah, ”Seorang raja yang rakus bertanya kepada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, ’Untuk Anda, yang paling baik adalah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat’.”

Adalah tugas para pemimpin untuk menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyatnya. Dunia dapat menjadi surga ketika kita saling mencintai, mengasihi, melayani, serta saling menjadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.

Thich Nhat Hanh, dalam The Miracle of Mindfulness, mengisahkan seorang raja yang selalu ingin membuat keputusan yang benar. Raja itu mengajukan pertanyaan kepada seorang biksu. ”Kapan waktu terbaik mengerjakan sesuatu? Siapa orang paling penting untuk bisa bekerja sama? Apakah perbuatan terpenting untuk dilakukan sepanjang waktu?”

Biksu itu pun menjawab, ”Waktu terbaik adalah sekarang, orang terpenting adalah orang terdekat, dan perbuatan terpenting sepanjang waktu adalah memberikan kebahagiaan bagi orang sekelilingmu.”

Penghormatan besar publik dunia kepada Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Abdurrahman Wahid, dan Jacinda Ardern mengisyaratkan bangsa manusia merindukan bentuk kepemimpinan yang lebih berprinsip dan penuh welas asih; bukan kepemimpinan transaksional dengan manipulasi pencitraan.

Dalam hal ini, Bung Hatta berpesan kepada para pemimpin kita. ”Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri.”

Yudi Latif, Makrifat Pagi.

***