Anak-anak Sekayam

Di deretan SPBU Pontianak, berderet kendaraan di pinggir jalan. Mengantri solar atau bensin jadi rebutan pabrik-pabrik.

Minggu, 27 Oktober 2019 | 08:06 WIB
0
358
Anak-anak Sekayam
Anak-anak Sekayam (Foto: dok. pribadi)

Ingin kuceritakan satu rahasia padamu. Tentang anak-anak Dayak Sukung. Bersama alunan tenang Sei Sekayam yang melintasi desa Suruh Tembawang, di Entikong.

Aku turut serta mandi di tengah sungai, bersama mereka. Menjadi denyut nadi kehidupan. Di sanalah sebagian kehidupan digerakkan. Di antara tebing-tebing dengan batu-batu hitam raksasa. Dedaunan dan julur akar gantung berkeliaran.

Semalaman, aku tewas setelah kalah dalam dua botol air ketan merah yang jahat. Bertanding dengan kepala suku, yang isterinya bak Angelina Jolie. Pssst! Dinginnya air sungai Sekayam, menygarkan. Menjadikan anak-anak itu tertawa-tawa, hingga aku menggigil. Sementara mereka bermain. Belajar kekuatan dari lenturnya air, dan liatnya bebatuan gunung. Rerimbun dedaun rimba raya, bertuliskan ketabahan dan kegigihan.

Betapa alam raya menjadi guru atas semua kebaikan. Juga keburukan.

Ah, anak-anak yang dimanjakan dewa-dewa. Udara segar jauh polusi, membukakan hati mengerti bagaimana waktu mengajari. Tumbuh dalam jati. Tak ada mimpi yang terlalu jauh. Kecuali kehendak menelusurinya satu-satu. Sebagaimana titik-titik mata air membimbingnya menyusun mimpi-mimpi.

Jauh di sana, di sudut Entikong, hingga ke Sanggau. Mesti berjam-jam dilalui, dengan perahu-perahu motor. Ada angka-angka yang mmbujuknya. Juga menjebaknya. Mereka tahu itu dan menikmatinya. Menjadikannya generasi berbeda dari adat nenek-moyang.

Pada akhirnya kelak, mereka juga mengerti. Perubahan menderanya, tanpa bisa dilawan. Namun, sekiranya mereka berubah pun, bukankah karena hidup juga sebuah pertarungan?

Kita tidak akan pernah suka, menyerahkan diri pada kedunguan. Sekali pun terpaksa. Atau kecuali benar-benar dungu. Namun pasti, hidup ialah aliran sungai Sekayam. Terus mengalir mengajarkan kebijaksanaan. Satu-satu. Meski pun deru mesin-mesin yang diparaf dari atas meja Jakarta, sering menyodorkan kesunyian hati. Juga kekosongan.

Mait karewau dahulu ukui, kata kepala suku sembari mnyodorkan botol ketan merah ke-tiga. Menarik kerbau sama halnya dengan membuat kerbau itu berjalan mundur. Dan itu yang sedang terjadi. Kita gemar menjadi orang asing dengan segala kegamangan.

Di deretan SPBU Pontianak, berderet kendaraan di pinggir jalan. Mengantri solar atau bensin jadi rebutan pabrik-pabrik. Tak jauh dari sana, terpajang poster mencolok, "Premium Hanya Untuk yang Tidak Mampu." Tapi siapa yang mampu?

Bangsat! Tane bangkang puang karasa andrau ka'i, dulang penu puang karasa andrau uran! Sudah tahu tidak mampu, tapi tetap saja disuruh antri dan bayar! Uh! Gadis Dayak itu menyulam kain kusut, di beranda gereja tengah hutan. Ribuan pemain drum, gedebugan di rongga dadaku.

***