Moral Hazard Bisa Jadi Penyebab BPJS Alami Defisit

Rabu, 24 Oktober 2018 | 12:41 WIB
0
599
Moral Hazard Bisa Jadi Penyebab BPJS Alami Defisit

Dalam industri asuransi ada istilah "moral hazard" yang kurang lebih artinya suatu sifat/karakter atau perilaku yang bisa menimbulkan suatu kerugian. Atau dalam prinsip asuransi namanya Utmost Good Faith atau itikad baik.

Seorang calon tertanggung atau tertanggung harus alias wajib mengungkapkan kondisi yang sebenarnya sebelum membeli produk asuransi. Ini semua dilakukan karena termasuk bagian menejemen resiko untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Bukan berarti asuransi tidak ingin menanggung kerugian yang akan timbul dikemudian hari atau mencari untung semata.

Nah, "moral hazard" ini ada kaitannya dengan kerugian atau defisit yang dialami oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Sebenarnya dalam klausula asuransi kesehatan secara umum, seseorang bisa mengklaim asuransi kesehatan ada masa tunggu atau jeda selama 14 hari sejak terbitnya polis atau sejak terdaftar sebagai peserta asuransi. Dan ada penyakit tertentu atau yang masuk penyakit Katatrospik: Jantung, Kanker, Stroke, Cuci Darah, Leukimia atau Hepatitis yang masa tunggunya beberapa bulan tergantung jenis penyakitnya.

Bahkan penyakit Katatrospik ini biasanya dalam asuransi komersial atau swasta termasuk dikecualikan, artinya kalau punya salah satu dari penyakit Katatrospik tidak akan dijamin atau tercover oleh asuransi.

Sedangkan dalam asuransi BPJS Kesehatan hampir tidak ada penyakit yang dikecualikan, semua dijamin atau ditanggung, hanya tergantung kategori kelas I, II dan III. Dan dalam asuransi BPJS Kesehatan juga tidak ada masa tunggu atau jeda 14 hari. Bahkan hari ini daftar asuransi BPJS dan bayar iuran premi sekali saja sudah bisa mendapatkan fasiltas pengobatan.

Kalau di asuransi swasta atau komersial tidak mungkin bisa klaim dihari pertama bersamaan dengan terbitnya polis karena menyalahi prinsip asuransi.

Kebanyakan pasien-pasien peserta asuransi BPJS Kesahatan ikut menjadi peserta dan membayar iuran premi bulanan setelah tahu terkena atau diaknosa penyakit berat tertentu. Ini sebenarnya tidak boleh kalau di asuransi komersial.

Ini sama saja seperti motor sudah hilang supaya mendapat penggantian terus beli polis asuransi kendaraan dan seminggu kemudian klaim. Padahal motor sudah hilang sebelum membeli polis kendaraan.

Sebagai contoh: pasien datang ke Pukesmas untuk periksa dan dari hasil lab atau diaknosa dokter pasien terkena penyakit Jantung yang harus mendapat tindakan segera, misal: pemasangan ring.

Nah,karena ketahuan terkena penyakit jantung dan harus mendapat perawatan khusus dan pemasangan ring, si pasien yang awalnya tidak punya atau belum ikut asuransi BPJS,terus mendaftar dan membayar iuran premi bulanan. Saat itu juga si pasien boleh klaim dan mendapat pelayanan.

Hanya membayar premi sebesar Rp80 ribu untuk kelas I atau Rp51 ribu klas II dan Rp25.500 untuk klas III atau yang subsidi Rp23 ribu, bisa klaim mencapai puluhan juta sampai ratusan juta. Pemasangan ring biayanya ada yang mencapai 80 juta untuk satu ring, belum kalau pasang ring yang kedua bisa lebih mahal lagi.

Kalau pasien BPJS Kesehatan banyak yang seperti itu, baru ikut atau membayar iuran premi setelah punya penyakit berat, ASURANSI SEHEBAT apapun akan "JEBOL" dan akan mengalami defisit atau kerugian. Apalagi jenis penyakit yang masuk Katatrospik adalah penyakit yang perlu penanganan berkelanjutan, maaf, bahkan sampai ajal menjemput.

Sudah begitu, kalau penyakitnya dirasa sudah sembuh, mereka malas untuk membayar iuran asuransi lagi. Padahala asuransi itu kan prinsipnya saling membantu atau gotong royong. Kalau tidak terjadi klaim,premi atau iuran akan terpakai oleh orang lain yang sakit.

Untuk asuransi swasta atau komersial itu sistem pembayaran preminya sekaligus dibayar dimuka selama periode satu tahun. Jadi pihak perusahaan asuransi bisa lebih leluasa mengalihkan atau mencadangkan dana untuk investasi sementara waktu dalam pasar uang.

Sedangkan kalau di asuransi BPJS Kesehatan sistem pembayarannya perbulan ini dilakukan untuk meringankan peserta BPJS. Makanya asuransi BPJS kembang-kempis, bahkan tersengal-sengal nafasnya untuk bertahan hidup, supaya tidak defisit.

Lha kalau masyarakat bawah disuruh bayar premi setahun sekaligus sudah pasti tidak sanggup dan tidak akan ikut asuransi. Disuruh bayar premi bulanan saja Senis-Kemis bayarnya.

Jangankan masyarakat bawah, masyarakat kelas menengah dan atas saja kesadaran untuk ikut asuransi masih rendah, mereka percaya sakit atau tidak tergantuk takdir atau terkena apes. Jelas pendapat yang ngawur!!

Belum lagi ulah-ulah pasien yang termasuk mampu atau kaya, tetapi memakai asuransi BPJS, dan ini banyak terjadi. Mereka juga pelit untuk berobat dengan biaya sendiri. Tetapi mereka juga menjarah hak orang miskin. Dan ini terjadi untuk penyakit-penyakit kelas berat atau Katatrospik.

Bisa jadi, terkait moral hazard peserta BPJS yang menyebabkan atau mengalami defisit. Atau ada rumah sakit yang nakal dengan menaikkan tagihan klaimnya.

"Sehat itu mahal, Jenderalm mari berinvestasi hidup sehat!"

***