Sistem Pertahanan Keamanan: "Tangible" dan "Intangible Variabels"

Keliru jika kekuatan hankam hanya diukur dengan kualitas dan kuantitas pensenjataannya yang tercermin dari anggaran pertahanan pada APBN.

Senin, 8 April 2019 | 07:34 WIB
0
857
Sistem Pertahanan Keamanan: "Tangible" dan "Intangible Variabels"
SDM TNI (Foto: Mlaang Today)

Saya sangat bangga dengan TNI - Polri. Jadi, ketika ada orang yang mengatakan bahwa sistem Pertahanan Keamanan Indonesia rapuh, saya merasa terusik, marah. Orang itu menyimpulkan dengan mengacu pada anggaran Hankam dalam APBN. Menurut saya, kesimpulan itu sangat aneh, terlebih dikemukakan oleh seorang yang pernah menjadi tentara, dan mengaku lebih tentara ketimbang kebanyakan tentara. 

Data menunjukkan, berbagai lembaga riset yang fokus pada sistem pertahanan keamanan negara-negara di dunia menunjukkan bahwa saat Indonesia berada di urutan ke-15 di antara negara-negar di dunia, salah satunya Global Firepower yang berbasis di Amerika Serikat. Melalui riset yang mempertimbangkan 55 faktor, lembaga ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-15 sebagai negara dengan kekuatan pertahanan (dan keamanan) di dunia. 

Menurut orang yang mengatakan saat ini sistem Pertahanan Keamanan Indonesia rapuh, Indonesia perlu meningkatkan belanja militer menjadi 30% dari APBN (dari sekitar 5% pada APBN 2019). Jika memakai figur APBN 2018, anggaran sebesar 30% itu setara Rp670 triliun. Artinya, pengalokasian belanja militer sebesar itu akan dialokasikan untuk belanja persenjataan yang sebagian besar dari luar negeri, atau impor.

Lupakan bisa atau tidak belanja militer besar-besaran dari segi teknis. Yang saya ingat, orang yang sama berkali-kali meneriakkan, jika berkuasa, akan menghapuskan impor. Kan aneh!

Lalu saya mencari data tentang besaran belanja militer beberapa negara. Ketemulah, salah satunya adalah Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Swedia. Hal yang menarik dari data dari Global Firepower dan SIPRI, beberapa negara yang anggaran belanja militernya jauh lebih besar daripada Indonesia, justru ranking kekuatan hankamnya di bawah Indonesia.

Negara-negara tersebut memiliki kuantitas dan kualitas sistem persenjataan yang jauh lebih tinggi dibanding Indonesia, pesawat tempur, kapal perang, kapal selam, tank, dll. Bahkan beberapa negara di antaranya memiliki senjata nuklir (Pakistan, Israel, dan Korea Utara).

Sementara variabel handycap, yaitu luas wilayah yang harus dijaga kedaulatannya, Indonesia salah satu yang paling luas di dunia. Handycap Indonesia lebih tinggi lagi karena wilayahnya berbentuk kepulauan.

Misalnya Indonesia dibandingkan dengan Arab Saudi. Dari segi persenjataan, kualitas dan kuantitas yang dimiliki Arab Saudi jauh melebihi Indonesia. Pesawat tempur canggih jenis apa yang tidak dimiliki Arab Saudi? Semua punya.

Dulu ketika negara-negara lain hanya bisa memiliki pesawat tempur F-16 Fighting Falcon, Arab Saudi bisa membeli F-15 Eagle yang speknya jauh lebih tinggi. Selain Amerika Serikat sendiri, hanya Israel, Jepang dan Arab Saudi yang memilikinya. Arab Saudi juga memiliki berbagai macam rudal, termasuk rudal pencegat rudal, Patriot.

Begitu juga dengan armada darat, Arab Saudi memiliki M1 Abrams, yang speknya jauh di atas Scorpion yang dimiliki Indonesia. Namun dalam list yang dirilis Global Firepower, kekuatan hankam Arab Saudi hanya menempati urutan 25 di dunia, atau 10 tingkat di bawah Indonesia. 

Dengan begitu bisa ditarik hipotesis major bahwa kekuatan hankam sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sistem persenjataan semata.

Secara makro dalam kekuatan hankam satu negara ada dua variabel. Pertama, tangible variabels yang meliputi sistem persenjataan dan pendukungnya. Kedua, intangible variabels yaitu organisasi militer, manajemen, kemampuan strategis, kualitas sumber daya manusia (SDM), loyalitas dan keberanian SDM, serta dukungan kuat dari rakyat. Selain itu, ada yang sifatnya given, yaitu kondisi geografis. 

Nah, jika dalam tangible variabels Indonesia tidak begitu menonjol, hanya mencapai minimum essential force, tapi memiliki keunggulan pada intangible variabels. Sebagai bukti, TNI AD tampil sebagai juara 12 kali berturut-turut dalam The Australian Army Skill at Arms Meet (AASAM), event tahunan lomba menembak di kalangan angkatan darat yang diikuti berbagai negara di dunia.

Begitu juga dengan pilot-pilot TNI AU yang mampu mempecundangi pilot-pilot Royal Australia Air Force pada ajang Pitch Black 2012, di Australia. Pitch Black adalah event semacam AASAM untuk angkatan udara. 

Intangible variabels yang dimiliki Indonesia, khususnya TNI, merupakan refleksi dari komitmen, loyalitas, dan kerja keras. Bukan dibeli seperti halnya persenjataan. Bahwa kita semua menginginkan TNI memiliki persenjataan canggih dalam jumlah yang memadai, tentu. Tapi tetap harus realistis dengan kemampuan finansial negara saat ini. 

Jadi, amat sangat keliru jika kekuatan hankam satu negara hanya diukur dengan kualitas dan kuantitas pensenjataannya saja yang tercermin dari anggaran pertahanan pada APBN. Terlebih jika itu dikemukakan oleh orang yang mengaku telah membaca buku-buku sejarah perang umat manusia yang sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Lebih aneh lagi, banyak orang yang percaya dengan ocehan orang itu. Padahal di antara mereka adalah yang berpendidikan tinggi dan tinggi sekali: profesional, praktisi pendidikan, praktisi media, birokrat, dan para pemuka agama.

Jangan ketawa...!

***