Perang dan Sistem Pertahanan

Tepatlah apa yang dilakukan Jokowi, memilih mengembangkan industri militer dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan TNI-Polri (dan juga ekspor), dibanding sepenuhnya belanja peralatan militer.

Selasa, 28 Januari 2020 | 08:10 WIB
0
323
Perang dan Sistem Pertahanan
Kapal Induk (Foto: Facebook/Yus Husni Thamrin)

Budaya tertua dari umat manusia adalah perang. Karenanya, senjata menjadi salah satu produk budaya paling awal yang diciptakan dalam sejarah peradaban manusia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metoda perang, dan jenis senjata pun berkembang menjadi semakin canggih dan efektif menaklukan lawan.

Cara kerja dari persenjataan paling canggih yang dibuat manusia juga berubah. Pada periode pertama kemenangan dalam perang ditentukan dengan membunuh musuh sebanyak mungkin. Periode kedua, perang menghancurkan instalasi strategis musuh, dengan lebih banyak menggunakan persenjataan jarak jauh dari matra udara.

Periode ketiga, perang tidak lagi membunuh dan menghancurkan, akan tetapi mematikan jaringan sistem persenjataan, sistem jaringan pertahanan, jaringan sistem objek-objek vital yang dimiliki musuh dengan seefektif mungkin, dengan korban dan kerusakan seminimal mungkin.

Ada cerita menarik tentang salah satu senjata tercanggih yang berfungsi untuk melumpuhkan sistem persenjataan musuh, yaitu Khibiny buatan Rusia. Benda yang mirip tabung sepanjang dua meter dengan diameter sekitar 30 centimeter ini dipasangkan di badan atau di sayap pesawat tempur.

Alat ini akan melumpuhkan segala sistem peralatan elektronik dan persenjataan lawan yang akan diserang. Khibiny diambil dari nama pegunungan yang terdapat di Kutub Utara, Artic. Dingin, membekukan, dan mematikan.

Akhir tahun 2013 adalah masa kritis di mana kelompok separatis pro-Rusia memberontak terhadap Ukraina di wilayah Krimea. Rusia yang berseteru dengan Ukraina soal penyaluran gas, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Moskow segera mengirim marinir dan pasukan lintas udara ke Krimea. Peralatan artileri diangkut menyeberangi Selat Kech. Rusia menganeksasi wilayah Krimea yang merupakan bagian dari Ukraina.

Bagi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, itu hal yang tidak boleh dibiarkan. Paling tidak harus terus dipantau. Awal April 2014 Pentagon memerintahkan USS Donald Cook yang berpangkalan di Rota, Spanyol untuk berlayar ke Laut Hitam. Bergegaslah Komodor Scott A. Jones bersama 26 awaknya melintasi Selat Gibraltar, Laut Tengah, Laut Aegea, Selat Syanakkale, Laut Marmara, Selat Konstantinopel dan pada tanggal 10 April 2014 sudah berada di Laut Hitam.

Insiden Laut Hitam

USS Donald Cook dengan kode DDG-75 adalah kapal perusak generasi ke-4 kelas Arleigh Burke dengan daya jelajah 2.500 kilometer, mulai bertugas di Angkatan Laut Amerika Serikat tahun 1998. DDG 75 dilengkapi sistem persenjataan angkatan laut super canggih berstandar NATO (North Atlantic Treaty Organization), yaitu Aegis Combat System yang terintegrasi dan terkoneksi dengan seluruh jaringan kapal US Navy di seluruh dunia.

Kapal ini memiliki empat radar modern dengan kemampuan mendeteksi, tracking, dan dengan lebih dari 50 jenis senjata anti serangan udara, bisa menghancurkan ratusan target dalam waktu yang sama. Lebih dahsyat lagi di perutnya, DDG 75 membawa 56 rudal Tomahawk berhulu ledak nuklir, selain 96 rudal konvensional.

Tentu saja kehadiran USS Donald Cook di Laut Hitam tidak disukai oleh Rusia. Tanggal 12 April 2014 Rusia menerbangkan dua pesawat Sukhoi-24 Fencer dari Krasnodar. Sebagai catatan, Su-24 ini bukan lagi pesawat tempur andalan Rusia. Pesawat itu seangkatan dengan F-14 Tomcat yang sudah dipensiunkan. Seperti ditulis All News Pipeline, hari itu USS Donald Cook sedang berlayar di bagian barat Laut Hitam. Radarnya menengarai ada pesawat yang datang.

Tapi kemudian, sekonyong-konyong dua Su-24 itu sudah sangat dekat, dan tiba-tiba sistem radar, sistem komunikasi, sistem transmisi informasi, sistem persenjataan, dan semua sistem elektronik kapal super canggih di USS Donald Cook itu menjadi mati. Seperti televisi yang dimatikan dengan remote. USS Donald Cook menjadi seperti benda mati yang terapung di Laut Hitam.

Beberapa detik kemudian dua pesawat Su-24 itu melintas hanya beberapa meter di atas USS Donald Cook. Bahkan para awak kapal bisa melihat dengan sangat jelas pesawat tempur Rusia tersebut. Kedua pesawat itu tidak membawa senjata apapun, kecuali sebuah alat yang menempel di bagian bawah pesawat.

Dua pilot Su-24 itu dengan sangat leluasa melakukan berbagai manuver simulasi penyerangan terhadap USS Donald Cook yang sudah lumpuh total. Selama 90 menit, kedua Su-24 tersebut melakukan 12 kali manuver. Sementara para awak USS Donald Cook hanya bisa menontonnya dengan perasaan kagum, dongkol, dan malu. Atraksi selesai, kedua Su-24 itu pun terbang menjauh kembali ke pangkalannya. Semua sistem elektronik di kapal USS Donald Cook kembali berfungsi.

Komodor Jones memutuskan untuk terus melanjutkan misi pemantauan. Tapi pada 14 April USS Donald Cook merapat ke pelabuhan terdekat, Constanta di Rumania. Baru pada tanggal 24 April 2014 USS Donald Cook meninggalkan Laut Hitam.

Beberapa media menyebutkan, setelah kejadian itu ke-27 awak USS Donald Cook sempat diperiksa, dan pemerintah Amerika tidak mengizinkan lagi kapal-kapalnya mendekat perairan Rusia.

Atas peristiwa itu Kementerian Luar Negeri Amerika mengirimkan nota protes ke Pemerintah Rusia. Protes itu dijawab Pemerintah Rusia bahwa kemunculan kapal Angkatan laut Amerika di Laut Hitam, bertentangan dengan Konvensi Montreux, yaitu konvensi yang mengatur kehadiran dan waktu tinggal di Laut Hitam bagi kapal-kapal militer dari negara-negara yang tidak memiliki wilayah pantai Laut Hitam. Negara-negara yang memiliki wilayah pantai dan laut di wilayah Laut Hitam adalah Rusia, Georgia, Turki, Bulgaria, Rumania, dan Ukraina.

Meski agak terlambat, media barat menampilkan berita versi berbeda, menurut Juru Bicara Pentagon, dua jet Rusia itu mengabaikan peringatan yang disampaikan USS Donald Cook hingga beberapa kali. Sebenarnya USS Donald Cook sangat mampu ‘melindungi dirinya’ dari dua Su-24 tersebut.

Berita yang dirilis media-media barat itu direspon oleh media milik pemerintah Rusia yang menyebutkan, alat yang dipasang di Su-24 itu namanya Khibiny, sebuah sistem persenjataan modern yang mampu menetralisir Aegis Combat System.

Seolah ingin mengesankan bahwa berita-berita tentang kejadian 12 April 2014 di Laut Hitam adalah hoax semata, 26 Desember 2014 untuk kedua kalinya USS Donald Cook masuk ke Laut Hitam untuk ambil bagian dalam latihan bersama angkatan laut beberapa negara anggota NATO, di mana Turki bertindak sebagai tuan rumah. Latihan bersama itu berlangsung hingga awal Januari 2015.

Namun, seperti ingin mengingatkan publik internasional mengenai kejadian 12 April 2014, sekaligus menunjukkan keampuhan Khibiny, pada 11 dan 12 April 2016, ketika USS Donald Cook sedang melakukan latihan bersama helikopter Polandia di Laut Baltik, sekitar 70 mil lepas pantai Kilingrad, dua Su-24 Rusia terbang sangat rendah di atas USS Donald Cook. Bahkan helikopter anti kapal selam Ka-27 Helix milik Rusia mengitari kapal perusak itu hingga tujuh kali, dan USS Donald Cook yang super canggih itu kembali lumpuh.

Kemudian Angkatan Laut Amerika merilis foto dan video mengenai insiden di Laut Baltik tersebut, dan Pemerintah Amerika mengajukan keberatan kepada Rusia. Mengenai kejadian itu Menteri Luar Negeri Amerika, John Kerry mengatakan, “Jika mengacu pada ketentuan yang berlaku bisa saja USS Donald Cook menembak jatuh pesawat itu.”

Rusia tak kalah gertak. Menimpali pernyataan Kerry, anggota Dewan Federasi Rusia, Igor Morozov mengatakan, “Seharusnya Amerika tahu bahwa USS Donald Cook berada begitu dekat dengan wilayah kami, dan jika kami mau, bisa saja mereka tidak bisa pulang.”

ECM System

Direktur Pusat Riset Persenjataan Elektronik dan Evaluasi Rusia, Vladimir Balybine mengatakan, cara kerja yang diterapkan pada alat Khibiny itu disebut teknik ‘visibility reduction’, atau menurunkan kemampuan penginderaan lawan. Alat ini diuji coba pertama kali di Buryatia, Russia dan sukses.

“Makin kompleks satu sistem radio elektronik, makin mudah untuk dirusak dengan menggunakan perangkat elektronik lain. Khibiny adalah perangkat elektronik yang dipasang di pesawat, yang mampu mengacaukan state of the art air defense system,” kata Balybine.

Maret 2015 kantor berita Rusia, Sputnik menyebutkan, Rusia telah membuat dan mengoperasikan satu sistem persenjataan elektronik yang revolusioner, yaitu Khibiny yang diproduksi oleh Kontsern Radio Electronic Technologies (KRET). Pabrikan peralatan militer ini mengklaim, dilengkapi dengan Khibiny, tingkat keselamatan pesawat tempur dari ancaman rudal musuh, meningkat 25 hingga 30 kali. Angkatan Udara Rusia berencana melengkapi seluruh pesawat Su-30, Su-30SM, Su-34, dan Su-35 dengan Khibiny-10V yang ditempelkan di ujung kedua sayap.

Proyek electronic countermeasures (ECM) system yang merupakan cikal bakal Khibiny dimulai di Kaluga Research Institute of Radio Engineering (KRIRE) tahun 1977. Waktu itu KRIRE melakukan riset untuk menghasilkan perangkat elektronik, penangkal signal intelligence yang akan digunakan oleh angkatan darat, ‘Proran’, dan ‘Regatta’, sebuah alat pengacau gelombang radio. Pada tahun 1982 kedua alat itu dikembangkan menjadi Sortion yang dipakai di pesawat Su-27 Flanker. Berbagai riset dan pengembangan dilakukan hingga akhirnya tercipta Khibiny.

Model pertama dari Khibiny jauh dari yang dibayangkan, baik bobot maupun ukurannya tidak cocok dipasangkan di pesawat tempur. Untuk mengatasi persoalan itu, KRIRE bekerja sama dengan Sukhoi di bawah arahan Rollan G. Martirosov. Proyek itu diberi kode Product L-175V. Maka dihasilkanlah sebuah ECM System pada akhir dekade 1980an.

Setelah melalui serangkaian uji coba yang sangat rumit dan panjang, alat yang kemudian dinamai Khibiny tersebut dimasukan dalam design setiap pesawat militer buatan Sukhoi, dan terus dikembangkan.

Pada 18 Maret 2014 pesawat tempur pengebom Su-34 dilengkap ECM complex L-175V, Khibiny. Uji coba itu sukses meredam semua sistem peralatan elektronik dan persenjataan ‘kapal musuh’. Tanggal 12 April 2014, Khibiny benar-benar diuji coba dengan melumpuhkan sistem persenjataan canggih Aegis Combat System pada USS Donald Cook di Laut Hitam.

Mengenai suksesnya ‘uji coba’ di Laut Hitam 12 April 2014, pada Maret 2015 kantor berita Sputnik mengunip pernyataan sumber yang tidak disebutkan identitasnya, bahwa ‘sesungguhnya peristiwa itu sebagai kisah terbesar di dunia’.

Jika Rusia mampu melumpuhkan USS Donald Cook dan semua kapal Angkatan Laut Amerika dengan sistem persenjataan elektronik yang revolusioner, maka Rusia telah memenangkan semua jenis perang tradisional. Ini akan menyisakan satu opsi bagi Amerika, yaitu perang nuklir. Dan Rusia telah sangat siap menghadapi hal itu.

Secara verbal, Khibiny sebagai ECM System yang canggih dirancang sebagai radio pencari arah, dan mencari iradiasi sumber sinyal, hingga memungkinkan untuk melakukan distorsi atas parameter sinyal dari sistem elektronik musuh, dengan memanfaatkan pantulannya.

Khibiny sebagai perangkat tempur elektronik, jauh lebih murah dan praktis penggunaannya dibanding pesawat E-8 AWACS dan E-2 Hawkeye, namun keampuhannya dalam melumpuhkan sistem elektronik perangkat perang musuh sudah sangat terbukti efektif.

Kini, atas persetujuan pemerintah Rusia, KRET sebagai produsen bersama Sukhoi siap mengekspor Khibiny dalam paket penjualan pesawat-pesawat tempur Sukhoi. Seperti yang dikemukakan oleh First Deputy CEO KRET, Igor Nasenkov, pihaknya telah menanda-tangani kontrak penjualan beberapa jenis pesawat tempur Sukhoi yang dilengkapi Khibiny, ke 30 negara, antara lain negara-negara pecahan Uni Sovyet, Amerika Latin, Africa, dan Asia-Pacifik.

Namun demikian, baik KRET maupun Sukhoi tidak merilis berapa harga per unit Khibiny. Hanya saja, Sebuah Su-35 yang harganya US$85 juta per unit, diperkirakan menjadi US$100 juta sampai US$120 juta per unit setelah dilengkapi dengan Khibiny. Sebagai catatan, Khibiny versi ekspor adalah tipe L265 Khibiny-M, yang tentunya berbeda spesifikasinya dengan yang dipakai oleh Angkatan Bersenjata Rusia.

Selain Khibiny, Rusia masih memiliki sederet nama sistem persenjataan elektronik canggih yang bisa dipasangkan pada hampir semua armada perangnya. Sebuah alat pengacau kerja radar dan sonar dengan nama Richag-AV radar and sonar jamming system yang bisa dipasang pada helikopter, kapal, atau armada perang lainnya. Alat ini bisa efektif melakukan jamming terhadap sistem peralatan perang elektronik musuh dari jarak ratusan kilometer. Sejauh ini, belum ada alat yang bisa mengidentifikasi Richag-AV.

Ditulis pada laman Russian Defense Policy, KRET juga menghasilkan sejumlah peralatan electronic warfare seperti Krasukha-2, Krasukha-4, Rychag, dan Pelena yang siap masuk jajaran Angkatan Darat Rusia.

Kini Rusia juga tengah meningkatkan kemampuan angkatan laut, dengan memasukkan 50 kapal baru ke gugus beberapa gugus tugas armadanya pada tahun 2015 lalu. Semua kapal baru tersebut sudah dilengkapi dengan peralatan perang elektronik yang lebih canggih dari Khibiny.

Kepala Staf Angkatan Laut Rusia (2015), Viktor Viktorovich Chirkov mengatakan, Angkatan Laut Rusia secara berkelanjutan mengembangkan strategi kelautan, untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara dan kegiatan ekonomi di berbagai belahan dunia.

“Tugas itu bisa dilakukan dengan menggunakan kapal atau kapal selam bertenaga nuklir, di mana daya jangkaunya disesuaikan dengan jarak,” kata Chirkov.

Lebih jauh, Rusia telah mengembangkan sistem persenjataan elektronik yang bisa menjangkau jarak 3.000 hingga 5.000 kilometer seperti disebutkan Center for Strategic Assesment and Forecasts. Keberhasilan itu merupakan buah dari kegigihan dan kekuatan visi dari karyawan industri pertahanan.

Kesiapan tempur pasukan dari unit perang elektronik Armada Utara untuk pertama kali menggunakan sistem persenjataan elektronik terbaru tahun 2015, dibangun untuk meng-cover zona yang luas dan jarak yang jauh. Perangkat yang digunakan semacam instalasi mobile berbentuk tiang-tiang tinggi yang bisa diaktivasi dengan cepat, Murmansk-bn. Sistem ini digunakan untuk tujuan strategic electronic counter.

Tugas utama unit teleskopik antena dan pemancar dari Murmansk-bn adalah menciptakan gangguan saluran komunikasi dan kontrol pada sistem elektronik persenjataan musuh yang berada di lokasi yang jauh. Alat ini mampu melumpuhkan armada perang musuh, seperti kapal laut, kapal selam, pesawat tempur, pesawat-pengintai.

Para ahli mencatat bahwa pada sejumlah komponen, seperti bank sinyal data, frekuensi, kecepatan scan dan frequency-jamming yang dimiliki Rusia tidak ada analognya di dunia. Dalam beberapa dekade mendatang peralatan tersebut tidak akan kompatibel dengan sistem elektronik yang dipakai di negara lain. Artinya, sistem peralatan perang Rusia sangat sulit untuk dilumpuhkan, apalagi ditiru.

Kesimpulannya, sebenarnya persiapan perang antar negara atau antar blok negara justru tidak pernah berhenti di ruang-ruang riset. Negara yang unggul dalam risetlah yang akan memenangi peperangan. Paparan tentang Khibiny ini juga membuktikan bahwa untuk memperkuat sistem pertahanan keamanan satu negara, persenjataan militer harus dipandang sebagai produk industri yang menghasilkan devisa, bukan semata senjata untuk menghancurkan lawan.

Tepatlah apa yang dilakukan Jokowi, memilih mengembangkan industri militer dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan TNI-Polri (dan juga ekspor), dibanding sepenuhnya belanja peralatan militer.

Tapi, dalam periode satu, dua, atau tiga, kunci kemenangan dalam perang tetaplah pada keunggulan sumber daya manusia. Tahun 2019 lalu, seorang siswa SMP di Tangerang, Putra Aji Adhari, diberitakan mampu membobol sistem komputer NASA. Bukan hanya Putra, masih banyak anak-anak Indonesia yang berkualifikasi sebagai jawara di bidang teknologi informasi. Artinya, Indonesia memiliki SDM hebat setara Ajax dan Achilles di era Yunani.

***