Manuver Pergantian Panglima TNI dan Bahaya Timor Timur Kedua bagi Jokowi

Salah-salah Jokowi akan mengulangi sejarah sipil Presiden Habibie; Papua menjadi Timor Timur kedua.Karena politik dan kerakusan kekuasaan ditempatkan sebagai pertimbangan.

Jumat, 1 Oktober 2021 | 19:25 WIB
0
517
Manuver Pergantian Panglima TNI dan Bahaya Timor Timur Kedua bagi Jokowi
Presiden Joko Widodo dan Andika Perkasa (Foto: CNN Indonesia)

Panas. Ditambah lagi, pekan lalu Istana menyebut salah satu kriteria calon Panglima TNI adalah penanganan Covid-19. Jika demikian yang paling getol menangani Covid-19 ya Andika. Tersingkirlah Yudo. Atau, Hadi diperpanjang – yang dianggap sukses menangani Pandemi?

Pergantian Panglima TNI makin mendekat. Manuver bertubi. Waktu mepet. Pengamat militer Fahmi pun sampai tidak mampu melihat jeli. Fahmi hanya menyoroti soal kesetiaan taklid tanpa reserve sebagai unsur utama pilihan Jokowi. Jelas soal kesetiaan Andika dan Yudo unquestionable. Tak perlu debat.

Simak catatan berikut.

Berlarut. Jokowi belum mengirimkan Surpres ke DPR. Spekulasi liar di kalangan dekat dengan Jokowi berkembang. Bahwa: jabatan Panglima TNI akan diperpanjang. Publik jeli melihat. Rotasi besar-besaran di tubuh TNI, jelang pensiun Hadi Tjahjanto sebagai maneuver; atau penyebaran penyeimbangan personel perwira tinggi di TNI.

Jika tujuan rotasi untuk penguatan TNI, pembinaan personel, ini PR bagi Andika atau Yudo – masih menyampingkan kriteria Covid-19, begitu salah satu dari mereka jadi Panglima TNI. Jika rotasi dan persyaratan penanganan Covid-19 sebagai alasan, maka menjadi jelas posisi Jokowi. Apalagi dengan Surpres tinggal 40 hari harus masuk ke DPR. Running out of time: jabatan Hadi Tjahjanto diperpanjang.

Maka catatan tentang Indonesia di bawah Jokowi – dengan Panglima TNI-nya Hadi Tjahjanto. Kodam sudah bertambah. Kodam Cendrawasih fokus urus Provinsi Papua. Tanpa Papua Barat. Toh juga kebobolan dengan peristiwa Maybrat di Papua Barat.

Jubir teroris TPNPB-OPM Sebby Sambom menetapkan daerah konflik: Intan Jaya, Puncak Jaya, Ndugama, Pegunungan Bintang dan Yahukimo.

Artinya, Jokowi harus memerintahkan Panglima TNI untuk mengurus fokus di sini. Namun kondisi tidak membaik. Konstelasi politik dan keamanan di Papua memanas. Mencekam. Publik Indonesia menarik napas. Masyarakat resah, galau, tidak aman, justru operasi keamanan menjadi pisau yang menyayat Republik: tone di dunia internasional tentang Papua sangat negatif untuk Indonesia.

Cukup banyak Satgas dibentuk. Tidak efektif menangani Papua. Karena tidak sinkron antara satu Satgas dengan lainnya. Karena masing-masing memiliki sasaran sendiri. Untung Presiden Jokowi menyadari: kegagalan manajerial Panglima TNI. Jokowi menarik, dan menyerahkan kembali ke satu komando di bawah Panglima TNI. Belum juga beres di Papua.

Sangat ada kekhawatiran, jika kondisi keamanan tidak tertangani, akan memimbulkan gelombang sentimen negatif terhadap Indonesia, hingga menjadi kasus kedua seperti Timor Timur.

Berbeda dengan pengamat politik Fahmi, yang menyatakan siapa pun yang terpilih jadi Panglima TNI tidak banyak perbedaan: Yudo atau Andika. Fahmi ingkar catatan dan records: Yudo adalah KSAL yang gagal meluncurkan torpedo dari KRI Nanggala 402. Tenggelamnya Nanggala 402 adalah kegagalan manajerial dan teknik yang sangat tragis Yudo – dan Panglima TNI.

Pamer kekuatan yang tidak semestinya dipertontonkan: torpedo gagal meluncur. Memalukan dan mengenaskan. Padahal, dalam militer, persiapan adalah 99% keberhasilan operasi. Zero mistake berlaku di militer. Akibatnya, 53 prajurit menjalani On Eternal Patrol.

Pekan lalu teroris KKB Papua melecehkan dan membunuh tenaga kesehatan. Bukan cuma para prajurit biasa gugur ditembak oleh KKB Papua. Warga sipil menjadi korban; tenaga kesehatan, pekerja, TNI, Polri. Sungguh tidak berbanding dengan upaya Jokowi yang all-out soal Papua. Sampai Jokowi pun mendorong pembangunan di Papua; Pekan Olahraga Nasional (PON) pun digelar di Papua bulan depan.

Publik bangga peristiwa Surabaya. Brigjend Aubertin Walter Sothern Wallaby tewas pada 30 Oktober 1945. Catatan gemilang itu berantakan. Tak relevan. Karena KKB Papua berhasil mematahkan kebanggaan itu. Kita kehilangan Kabinda Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya gugur dalam insiden baku tembak.

Berbanding terbalik dengan segala upaya Jokowi mematrikan kecintaan dan pentingnya Papua sebagai bagian integral NKRI. Berbagai dinamika keamanan yang mengancam disintegrasi semakin mengkhawatirkan. Kondisi Papua menjadi pertaruhan yang luar biasa bagi Jokowi: pentingnya Panglima TNI yang top, mumpuni.

Untuk itu, calon penglima TNI ke depan harus yang memiliki pengalaman teriritorial, karena perang gerilya adalah perang berkelanjutan jangka panjang – yang membutuhkan strategi dan endurance. Pun pendekatan penanganan Papua harus melalui pendekatan kesejahteraan, relijius, intelijen, territorial, dan tempur.

Yang kini terjadi soal menangani Papua di bawah Hadi Tjahjanto hanya pendekatan bertempur terus-menerus. Akibatnya eskalasi makin meningkat. Menangani Papua, perlu perancanaan kelas dunia; holistic, menyeluruh. Karena Papua disorot dunia.

Sekali lagi, Jokowi pasti melihat catatan Yudo, Andika, Hadi Tjahjanto dan harus mengamankan kepentingan nasional, terkait kriteria dari Istana bahwa Covid-19 jadi kriteria pencapaian calon Panglima TNI, tentu tidak melupakan catatan panjang di atas. Salah-salah Jokowi akan mengulangi sejarah sipil Presiden Habibie; Papua menjadi Timor Timur kedua.Karena politik dan kerakusan kekuasaan ditempatkan sebagai pertimbangan.

Apalagi Covid-19 jadi alasan penentuan Panglima TNI – atau perpanjangan jabatan Hadi Tjahjanto. Jokowi tentu tak ingin maneuver politik menghancurkan niat Jokowi membangun Papua berdarah-darah: yang hancur karena kondisi Papua semakin mencekam. Tidak soal remeh-temeh tentu Papua ini. (Penulis: Ninoy Karundeng).