S-500 Prometheus ‘Dewa Cerdas Pencuri Api’

Rudal nuklir terbaru tersebut bisa membuat sistem pertahanan peluru kendali Amerika Serikat dan negara-negara NATO (North Atlantic Treaty Organization) menjadi ‘tidak berguna’.

Jumat, 28 Februari 2020 | 06:35 WIB
0
377
S-500 Prometheus ‘Dewa Cerdas Pencuri Api’
Senjata rudal Rusia (Foto: Facebook/Yus Husni Thamrin)

Sejatinya tahun 2018 adalah ‘tahun penuh harapan’ bagi warga dunia. Setelah sekian lama mengalami krisis, ekonomi dunia menunjukkan perbaikan, tumbuh antara 2,8% hingga 3% pada tahun 2017. Tahun 2018 tercatat, ekonomi dunia akan tumbuh rata-rata 3,7%.

Akan tetapi dalam tata hubungan internasional, angkara murka masih menghantui dunia dengan ancaman perang nuklir. Pada awal tahun baru 2018 pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un menebar ancaman dengan mengatakan, seluruh wilayah Amerika Serikat bisa dijangkau oleh senjata nuklir yang dimilikinya. Bahkan, kata Kim, tahun 2018 Korea Utara akan memproduksi hulu ledak nuklir dalam jumlah besar, untuk digunakan jika rakyat Korea Utara terancam.

“Amerika Serikat harus tahu kalau tombol nuklir ada di meja saya. Ini bukan ancaman, tapi fakta,” kata Kim.

Ironisnya, pernyataan Kim itu dikemukakan saat pidato merayakan tahun baru dan menyampaikan pesan damai kepada Korea Selatan, termasuk kemungkinan Korea Utara akan berpartisipasi dalam Olimpiade Musim Dingin 2018 di PyeongChang, Korea Selatan. Pernyataan Kim tersebut merupakan respon atas imbauan Amerika Serikat terhadap dunia untuk menghentikan program nuklir Korea Utara.

Kurang dari 24 jam pernyataan Kim itu langsung dijawab oleh Presiden Trump melalui akun twitter-nya. “Adakah seseorang dari regim yang kekurangan pangan dan kelaparan memberitahu dia, bahwa aku juga punya tombol nuklir, Tapi punyaku lebih besar dan lebih kuat dibanding punya dia, dan tombol nuklir punyaku berfungsi dengan baik!”

Cuitan Trump ini mirip propaganda media-media Barat yang selalu menyebutkan Korea Utara sebagai negara yang kekurangan pangan, rakyatnya sering menderita kelaparan, dan seterusnya. Padahal, dengan logika sederhana saja bisa dipahami bahwa, jika sebuah negara sudah menguasai teknologi dan mampu membuat rudal, tidak mungkin tidak menguasai teknologi pertanian yang notabene tidak lebih sulit. Cuitan Trump itu sendiri pada dasarnya menggambarkan ketakutannya.

Saling melontarkan ancaman seperti ‘anak kecil’ itu tidak hanya sampai di situ. Masih panas soal kasus saling usir diplomat dengan negara-negara barat, awal Maret 2018 lalu Presiden Rusia, Vladimir Putin melontarkan pernyataan yang tidak kalah keras.

Dalam pidato kenegaraan di depan parlemen, Duma, Putin mengatakan, kini Rusia telah mengembangkan peluru kendali nuklir canggih yang bisa diluncurkan dari bawah permukaan laut maupun udara dengan kecepatan hipersonik.

Rudal nuklir terbaru tersebut bisa membuat sistem pertahanan peluru kendali Amerika Serikat dan negara-negara NATO (North Atlantic Treaty Organization) menjadi ‘tidak berguna’.

“No one was listening. Now you will listen!" tegas Putin yang disambut tepuk tangan riuh dari anggota parlemen.

Meski waktu itu Putin tidak menyebutkan nama rudal yang tengah dikembangkan Rusia, media-media barat memperkirakan rudal itu adalah Sarmat 28, rudal berhulu ledak nuklir seberat 220 ton yang dirancang oleh Makeyev Rocket Design Bureau dan diproduksi oleh lima BUMN militer Rusia, yaitu KrasMash, Zlatous MZ , NPO Energomash , NPO Mashinostroyeniya, KBKhA. Konon rudal yang bisa dipasangi 24 hulu ledak dengan kekuatan setara 50 megaton TNT itu, mampu menjangkau sasaran hingga 11.000 kilometer dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi.

Dalam pidato yang dikutip kantor berita TASS itu, Putin menyebut rudal tersebut sebagai ‘rudal siluman’ dengan jangkauan tidak terbatas, mampu melewati wilayah intersep lawan, dan ini adalah ‘sebuah kenyataan baru’. Tidak lupa, Putin yang mantan agen KGB itu menyindir Presiden Trump dengan mengatakan, "My missiles are bigger than yours!" yang disambut gelak tawa anggota parlemen.

Putin sengaja mengatakan itu agar terdengar jelas oleh Trump. Belakangan dipublikasikan, nama rudal itu adalah Avangard, rudal berkecepatan 27 kali kecepatan suara.

Di satu sisi negara-negara Rusia dan Amerika Serikat terus mengembangkan sistem persenjataan ofensif (untuk menyerang), di sisi lain mereka juga sibuk memproduksi rudal penangkis rudal. Raytheon, sebuah perusahaan persenjataan berbasis di Arkansas terus memperbaharui rudal Patriot. Sementara Rusia melalui BUMNnya, Fakel Machine-Building Design Bureau dan Almaz-Antey Air Defence Concern memproduksi S-300, S-400, dan S-500.

S-500 Prometheus

Saling lontar ancaman di antara para pemimpin negara yang memiliki senjata nuklir itu bisa multitafsir. Pertama, mereka (Kim Jong Un, Trump, dan Putin) memang serius mengemukakan ancaman itu karena merasa negaranya terancam.

Jika memang demikian, mereka sangat tidak menghargai kehidupan umat manusia dan semua mahluk hidup di dunia. Karena jika sampai terjadi perang nuklir, maka korbannya bukan hanya rakyat di negaranya masing-masing, akan tetapi seluruh dunia harus menanggung akibatnya. Perang nuklir akan mengakibatkan dunia mengalami kehancuran total.

Kedua, mereka melakukan itu untuk menjaga kesinambungan industri pertahanan di negara masing-masing. Industri pertahanan di Amerika Serikat dan Rusia khususnya, berkontribusi terhadap pendapatan negara hingga 5% dan menyerap ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja.

Pasar senjata yang mereka bidik bukan hanya pasar domestik, pemerintahan negaranya masing-masing, tetapi negara lain yang mereka buat ‘perlu memiliki’ senjata buatan mereka.

Sebagai catatan, sejak usainya Perang Dunia Kedua yang dilanjutkan dengan perang dingin antara Blok Barat versus Blok Timur, kedua negara (Amerika Serikat dan Rusia) selalu terlibat dalam perang-perang ‘kecil’ di berbagai belahan dunia, di mana kedua negara itu sebagai pemasok senjata. Memasok senjata berarti menjual senjata.

Sesungguhnya, setiap pengembangan peluru kendali antar benua atau InterContinental Ballistic Missile (ICBM) selalu dibarengi dengan pengembangan rudal penangkis. Rudal-rudal penangkis yang dikembangkan Amerika Serikat antara lain, Patriot, Aegis, HARM (High Speed Anti-Radiation Missile), dan lain-lain. Sementara Rusia mengembangkan S-300, S-400, dan yang terakhir S-500.

Rudal-rudal penangkal tersebut, cukup efektif digunakan untuk menangkis peluru kendali berhulu ledak konvensional. Meskipun mereka berkoar-koar selalu siap menekan tombol senjata nuklir, nyatanya takut juga jika perang nuklir terjadi. Saat Perang Teluk I (1991) dan Perang Teluk II (2001) Rusia menjual rudal Scud kepada Irak, dan Amerika Serikat menjual rudal anti rudal, Patriot, kepada Israel.

Sejak tahun 2017 BUMN Rusia, Almaz-Antey Air Defence Concern, mulai memproduksi rudal penangkis senjata nuklir S-500 yang oleh negara-negara barat disebut 55R6M Triumfator-M. Rudal penangkis ini merupakan hasil pengembangan generasi sebelumnya, S-400.

S-500 diberi nama Prometheus, yaitu Titan atau Dewa yang dengan kecerdasan dan keahliannya, berhasil mencuri api dari Dewa Zeus dan memberikannya kepada manusia. S-500 adalah rudal penangkis yang cerdas, yang diharapkan mampu melindungi manusia.

S-500 adalah rudal yang diluncurkan dari darat ke udara, dirancang untuk mengintersep dan menghancurkan rudal antar belua yang diluncurkan oleh musuh, rudal jelajah hipersonik, pesawat tempur dan pengebom, sekaligus sebagai instrumen pertahanan udara terhadap pesawat pemindai dan pengacau frekuensi gelombang radio.

Seperti halnya rudal-rudal penangkis, S-500 memiliki daya jangkau maksimum yang ‘terbatas’, hanya 600 kilometer. Sistem radar yang diproduksi satu paket dengan rudal S-500 mempu mendeteksi secara simultan gerakan 10 rudal musuh yang sedang meluncur dengan kecepatan 18.000 hingga 25.000 kilometer per jam.

Produksi S-500 dilakukan di pabrik baru di Nizhny Novgorod. Namun media-media Rusia menyebutkan, pabrik baru lainnya dibangun Kirov, khusus memproduksi peluru kendali. Sementara kendaraan pengangkut rudal dan sistem radar, diproduksi oleh Rostec State Corporation. S-500 merupakan generasi terbaru dari pengembangan rudal darat ke uadara (SAM) Rusia, setelah S-400 Triumf yang sudah beroperasi sejak 11 tahun lalu.

Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoygu mengatakan, meskipun pengembangan S-500 lebih lambat dari yang diharapkan, namun ia berjanji pada tahun 2020 S-500 sudah masuk arsenal persenjataan Rusia. Pengembangan rudal ini didanai melalui Program Persenjataan Negara 2018 – 2017 yang ditandatangani oleh Presiden Putin awal tahun 2018 ini.

Dikutip dari Defense World.NET, CEO of Rostec State Corporation, Sergey Chemezov mengatakan, pengembangan kendaraan pengangkut, peralatan loading dan unloading S-500 dipastikan selesai dan diperkenalkan pada tahun 2018.

Sementara AINonline menulis, menurut designer dari Almaz-Antey, Pavel Sozinov, kendaraan pengangkut S-500 menggunakan chasis dengan roda (bukan rantai), kendaraan ini bisa mengangkut beberapa jenis rudal penangkis generasi terdahulu. Kendaraan ini menggunakan sistem terbaru, yaitu generasi kelima dari sistem roket Rusia.

Meskipun wujud S-500 baru terlihat pada tahun 2020, namun Oktober 2017 lalu Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan sudah menyatakan tertarik untuk membeli S-500. Berbicara kepada wartawan saat kembali dari lawatan ke Ukraina dan Serbia, Erdogan juga menyatakan rencana Turki untuk membeli S-400 dari Rusia.

"Dalam pembicaraan saya dengan Presiden Putin (28 September 2017), Turki tidak hanya akan membeli S-400, tapi juga tertarik untuk memiliki S-500,” kata Erdogan.

Rencana pembelian S-400, ditulis Reuters dan Interfax, diumumkan Erdogan pada September 2017. Erdogan sendiri mengakui, bahwa senjata buatan Rusia tidak bisa diintegrasikan dengan sistem pertahanan NATO, di mana Turki menjadi salah satu anggotanya. Namun demikian Erdogan mengabaikan hal itu.

Ini memang aneh. Turki sebagai anggota NATO membeli S-400, seperti melecehkan aliansinya yang dalam konflik di Ukraina dan Suriah, NATO berhadapan dengan Rusia. Seorang pejabat Rusia, Vladimir Kozhin mengatakan, pembicaraan mengenai pembelian S-400 sudah berjalan, dan hampir mencapai kesepakatan.

Pembelian satu ‘paket’ S-400 terdiri atas rudal, peluncur, radar, platform pengendali, reloader, truk, rudal cadangan, pelatihan, pemeliharaan, dan suku cadang, yang harganya sekitar US$2,5 miliar. Artinya, harga satu paket S-500 dipastikan jauh lebih mahal ketimbang harga S-400.

Itulah, sejatinya peperangan adalah medan tempat melampiaskan nafsu angkara. Namun sejatinya itu bukanlah keinginan manusia. Kemanuasiaan manusia selalu mendambakan kedamaian.

***