TNI-AU dengan SU-35 Akan Mengiubah "Balance of Power" Kawasan

Pemilihan Su-35 sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan yaitu, akan dimilikinya pesawat berkemampuan multirole combat aircraft atau air superiority.

Minggu, 15 Maret 2020 | 17:56 WIB
0
461
TNI-AU dengan SU-35 Akan Mengiubah "Balance of Power" Kawasan
S(-35 (Foto: Facebook/Prayitno Ramelan)

Beberapa hari yang lalu penulis mengulas, tentang terhambatnya realisasi kontrak pembelian 11 pesawat tempur Rusia Su-35 antara Rusia dengan Indonesia. Diutarakan, Amerika tidak suka pembelian alutsista canggih dari Rusia ini, bahkan mengancam dengan UU CAATSA terhadap orang perorang di negara yang berhubungan dibidang pertahanan dan intelijen dengan Rusia. Menhan Prabowo dan Presiden Jokowi masuk yang bisa dibidik

Sukhoi-35 ini secara tehnis telah dipilih TNI AU untuk menggantikan pesawat tempur F5E Tiger II (Skadton 14) yang sudah habis masa pakainya. Kontrak yang sudah ditandatangani Menhan RI tahun 2017 hingga kini tetap belum dapat direalisasikan.

Pada 15 Februari 2016, Pray menulis artikel, di website Ramalan Intelijen. Saat itu terlihat Australia sangat gundah kalau TNI AU memiliki Su-35. Kini terbukti bahwa 11 Super Flanker itu akan merubah balance of power kawasan. Mirip situasi tahun 1961 saat AURI punya pswt pembom strategis TU-16, dan TU-16KS. Australia gundah dan terancam, akhirnya terpaksa membeli F-111, untuk mengimbangi. Diplomasi pertahanan Indonesia (Bung Karno) saat itu sukses, Belanda atas saran AS kemudian melepas Irian Barat ke Indonesia

Nah, dalam perkembangan geopolitik dan geostrategi saat ini, AS menyatakan sekutunya di Asia Pasifik adalah Jepang, India dan Australia. Musuh utamanya Rusia dan China. Amerika dengan konsep IndoPacific (hire road) ingin Indonesia menjadi mitranya, tetapi dengan kebijakan politik LN bebas dan aktif Indonesia, AS menilai soal kemitraan belum di respons pihak Indonesia.

Disinilah muncul hambatan pengadaan Alutsista Rusia untuk TNI AU. Untuk melindungi psikogis Australia sebagai sekutunya, AS akan terus mengunci Indonesia jangan sampai punya Su-35. Bahkan orang perorangan (pejabat) diancam dengan UU CAATSA. Sementara dari sisi kepentingan lainnya, pemerintah AS jelas ingin Indonesia membeli pesawat tempur F-16 Viper mereka.

Kini Presiden Jokowi, ataupun Menhan Prabowo sebaiknya kembali berhitung tetap melanjutkan membeli Su-35 atau menunda dan bisa mungkin membatalkan dan memikirkan alternatif lain. Pertanyaannya seberapa kuatkah kita, dari sisi anggaran, proses pembelian, diplomasi untuk merealisasikan Su-35? Menurut kabar, imbal beli dengan komoditas sulit dilaksanakan, jelas Menkeu dalam kondisi saat ini keberatan kalau harus membayar penuh US$1,14 miliar. Nampaknya Menhan dan Menlu tetap 'kekeuh', ataukah ada anggaran pos lain yang alan dikorbankan?

Sebagai purnawirawan TNI AU, penulis jelas sangat mendukung TNI AU punya Su-35, seperti yang ditulis. Akan tetapi kalau dari persepsi intelijen terbaca kita harus berhadapan dengan AS sebagai super power (agak die hard) , rasanya kecil bisa menang. Kalau perlu kita minta kompensasi ke AS, tapi siapa pejabat politik yang mereka bisa dengar? Rasanya belum ada yang mampu menembus
birokrasi khusus.

Mungkin presiden dapat nengutus pejabat tinggi yang dinilai netral oleh AS, faham soal politik, diplomasi dan pertahanan sebagai 'duta' negara mewakili presiden ke AS. Waktu cukup pendek, sebelum Amerika menerapkan langkah lama containtment strategy, stick and carrot.

Pada artikel Februari 2016 dibawah ini penulis mengulas Sukhoi-35 dari beberapa persepsi, sengaja di buat versi WA di bagian pentingnya. Selamat membaca, semoga bagi yang kurang faham ancaman intelijen clandestine menjadi jelas dan tidak keliru menilai analisis penulis sebagai insan udara "the Blues."

Terpetik berita gembira tentang kepastian penambahan kekuatan alutsista TNI AU berupa keputusan pembelian pesawat tempur mutakhir untuk menggantikan pesawat tempur legendaris F-5E TigerII yang habis usia pakainya. Menteri Pertahanan Jendral (Purn) Ryamizard Ryacudu mengatakan dirinya pada Maret akan berkunjung ke Rusia untuk menjadi pembicara di Satuan Pertahanan Rusia. Selain itu, kunjungan itu dalam rangka penanda tanganan pembelian 10 pesawat tempur Sukhoi (Su-35).

Ryamizard mengatakan selain membeli, Indonesia dan Rusia juga menjalin kerja sama transfer of knowledge yaitu transfer pengetahuan dengan mengirimkan beberapa anggota TNI untuk sekolah di Rusia. Harapannya, dengan bersekolah di Rusia, mereka bisa menyerap ilmu dan membawa ke Indonesia.

Pada hari yang sama, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia, Rusia Nikolai Patrushev berkunjung ke Kantor Menkopolhukam, Selasa (9/2/2016). Sejumlah isu dibahas pada rapat tertutup tersebut, diantaranya isu pertahanan, narkoba serta kerjasama intelijen dalam penanganan terorisme. Selain Menko Luhut Panjaitan, juga hadir Ryamizard, Kepala Bakamla, Kepala BNN, Kepala BIN, serta Kabais TNI.

Antara Sukhoi-35 TNI AU dan Daya Gentar

Su-35 diputuskan oleh Kemhan serta instansi terkait untuk menggantikan pesawat tempur F-5E Tiger II yang telah bertugas selama 33 tahun. Pemilihan pesawat sebagai kandidat pengganti F-5E TNI AU dimulai dengan menilai berbagai jenis pesawat tempur modern, diantaranya pesawat tempur Sukhoi Su-30 MKI, F-15 SE Silent Eagle, Eurofighter Typhoon, F-16 E/F Block 60/62, Rafale-B, F-18 E/F Super Hornet, Sukhoi SU-35 Flanker dan JAS-39 Gripen NG.

Semuanya adalah pesawat tempur modern generasi terbaru generasi 4.5 yang secara kasar diperkirakan memenuhi kriteria sebagai pesawat tempur strategis TNI AU, baik karakteristik umum pesawat, performance, persenjataan, dan avionics pesawat tersebut. Semuanya melalui analisa mendalam terkait dengan aspek operasi, tehnis dan non tehnis.

Kemudian dilakukan perbandingan kemampuan pesawat yang menjadi kandidat pesawat tempur strategis. Semuanya calon diukur, apakah memenuhi kriteria penilaian yaitu, pesawat jenis multi roleminimal generasi 4.5, mampu menjangkau sasaran strategis dengan radius of action jauh, baik sasaran permukaan dan bawah permukaan, mampu melaksanakan misi pertempuran siang dan malam hari segala cuaca.

Memiliki radar modern dengan jangkauan jauh, mampu melaksanakan network centric warfare, perawatan mudah, peralatan avionic, navigasi dan komunikasi modern yang tersandi, peralatan perang elektronika pasif dan aktif serta memiliki kemampuan meluncurkan senjata konvensional, senjata pintar dan senjata pertempuran udara jarak sedang atau beyond visual range.

Juga dibandingkan kemampuan kandidat dalam hal kecepatan, ketinggian operasional, kemampuan tinggal landas, kemampuan jangkauan radar, kemampuan combat radius of action dan kemampuan agility pesawat (tingkat kelincahan manuver dan kecepatan reaksi pesawat untuk bertindak menyerang dan bertahan terhadap situasi baru tanpa penundaan waktu). Juga dilakukan analisa aspek aeronautic yang meliputi enam katagori yaitu ; usia perawatan air frame, engine, biaya perawatan, biaya operasi, dan perbandingan usia pakai.

Dalam bidang avionic, konfigurasi yang human machine interface, ketersediaan dukungan suku cadang, tingkat kegagalan, publikasi pemeliharaan dan operasional, kehandalan, teknologi, populasi dan kemudahan pemeliharaan. Dari sisi aspek non tehnis meliputi : tinjauan politis terkait kebijakan pemerintah, transfer teknologi, tingkat ekonomis, perbandingan dengan kemampuan pesawat yang berpotensi menjadi calon lawan, perkiraan biaya operasional nyata, kesulitan dan kemudahan pengadaan serta yang terpenting kemampuan menghasilkan efek detterent atau penggentar.

TNI AU mengajukan ke Mabes TNI dan kemudian pembahasan selanjutnya serta keputusan penentuan tentang pesawat yang dipilih masih berada di pihak pemerintah yang diwakili Kementerian Pertahanan. Dari beberapa jenis pesawat, kini sudah diputuskan pemerintah Indonesia aakan membeli Sukhoi-35BM.

Kegundahan Australia

Australia sebagai tetangga terdekat Indonesia jelas kembali akan gundah, walaupun pemerintahnya sudah memutuskan akan membeli pesawat 58 buah pesawat tempur canggih F-35 JSF (Joint Strike Fighter). Kegundahan Australia terlihat dari pernyataan the Business Spectator di Australia yang pernah menyatakan, "Indonesia merencanakan akan membeli pesawat tempur Sukhoi dari Rusia/India yaitu Su-35S atau selanjutnya PAK-FA T-50. Jadi pertanyaannya lebih baik (Australia) memilih F-35 daripada Hornet. Apabila Indonesia kemudian dimasa depan ikut memperkuat Angkatan Udaranya dengan SU-35 atau T-50, maka AU Australia akan menjumpai masalah besar, demikian kesimpulannya.

Lebih jauh analis Bisnis Spectator menyatakan, "Sebagai contoh, F-35 JSF (Joint Srike Fighter) dapat beroperasi secara efektif hanya untuk ketinggian maksimal sekitar 40.000 kaki (walau masih bisa beroperasi lebih tinggi tetapi kalah di tingkat yang lebih tinggi).

Sebaliknya, Sukhoi dapat beroperasi pada kapasitas penuh di tingkat yang jauh lebih tinggi dan dengan kelebihan dan keuntungan, mereka memiliki sistem dan senjata yang bisa meruntuhkan sebuah JSF Australia sebelum mereka (RAAF) memiliki kesempatan menerapkan slogannya (first look, first shoot, first kill’). Ditegaskan oleh BS bahwa tidak ada pertempuran udara yang diperlukan. Pesawat Australia sudah runtuh sebelum bertempur, karena disergap jauh sebelum dia menyadarinya.

Sukhoi dinilai jauh lebih unggul dibandingkan F-35 JSF. Sukhoi-35 memiliki jangkauan efektif sekitar 4.000 km dibandingkan dengan hanya 2.200 km untuk F-35. Ini berarti JSF membutuhkan dukungan pesawat tanker untuk menutup ruang (wilayah Australia) yang lebarnya 4.000km. Selain itu, kecepatan Su-35 adalah Mach 2,4 (hampir dua setengah kali kecepatan suara), sedangkan F-35 terbatas pada Mach 1.6.

Menurut Victor M. Chepkin, wakil direktur umum NPO Saturn, mesin AL-41f yang baru akan memungkinkan jet Rusia untuk supercruise (terbang pada kecepatan supersonik untuk jarak jauh.) Dengan tidak harus beralih ke afterburner. Dengan demikian, pesawat dapat mengirit bahan bakarnya. Kesimpulannya baik F-35 maupun F-18 performance-nya berada dibawah SU-35.

RSAF (AU Singapura) juga memutuskan akan membeli pesawat tempur buatan AS yang sama (F-35). Mengenai jumlah Su-35 TNI AU yang tidak genap satu skadron, jelas pemerintah kini realistis menyesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Selain itu kepemilikan Su-35 yang baru tidak akan menyulitkan baik penerbang maupun tehnisi TNI AU yang sudah terlatih dengan pesawat tempur Sukhoi 27 dan 30.

Dengan penambahan Su-35, maka komposisi Sukhoi-27, serta Sukhoi-30 akan semakin menggiriskan negara lain.

Pemilihan Su-35 sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan yaitu, akan dimilikinya pesawat berkemampuan multirole combat aircraft atau air superiority. Pertimbangan kedua jelas pertimbangan dari sisi commonality/penyederhanaan, yang dimaksud, pesawat baru sebaiknya tidak terlalu jauh dalam transfer teknologi dikaitkan dengan keberadaan pesawat tempur yang sudah dimiliki. Disinilah nilai tambah Sukhoi-35BM.

Penulis yakin kekurangan enam pesawat Su-35 menjadi penuh satu skadron hanyalah menunggu waktu. Nah, kini dengan keputusan dimana TNI AU akan mendapat perkuatan 11 pesawat Su-35, maka Indonesia semakin memiliki daya gentar penyergap udara yang menggiriskan sertra menjadi negara yang sangat disegani tetangganya. Semoga bermanfaat.

Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen