Olimpiade Barcelona 1992 [3] The News Magnicicent Seven

All England 1992, yang biasa dilangsungkan setiap bulan Maret awal thun Indonesia sedikit surut tersita konsentrasinya ke persiapan Olimpiade Barcelona 1992. Olimpiade dilangsungkan Juli-Agustus 1992

Jumat, 23 Juli 2021 | 07:41 WIB
0
311
Olimpiade Barcelona 1992 [3]  The News Magnicicent Seven
Nyaris semua medali diborong pemain Indonesia di semifinal tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992. Hanya Thomas Stuer Lauridsen (Denmark) yang bukan dari Nusantara. Dari kiri, Ardy B Wiranata, Alan Budikusuma dan paling kanan Hermawan Susanto (Foto: Kartono Ryadi/Kompas)

Tidak salah kalau dikatakan dekade 1990-an merupakan masa kebangkitan kembali bulu tangkis Indonesia. Bahkan di bagian putri, Susi Susanti boleh dikatakan seorang diri tanpa lawan berarti setelah surutnya jago-jago dunia, Li Lingwei dan Han Aiping. Indonesia di deretan putra malah menampilkan “The New Magnificent Seven” mirip seperti tahun 1970-an.

Mungkin itulah buah penantian panjang pelatihan berjenjang, yang disiapkan 'Jendral Bulu Tangkis Indonesia' Try Sutrisno sejak pertengahan 1980-an. Tujuh jagoan Indonesia era 1990-an adalah Ardy B Wiranata, Alan Budikusuma, Joko Suprianto, Hermawan Susanto, Bambang Supriyanto, Fung Permadi dan Haryanto Arbi. Bolehlah bernostalgia seperti era “The Magnificent Seven” tahun 1970-an seperti Rudy Hartono, Iie Sumirat, Liem Swie King, Tjuntjun, Johan Wahyudi, Christian Hadinata dan Ade Chandra.

Tonggak baru bagi sejarah bulu tangkis Indonesia ditancapkan Ardy B Wiranata dan Susi Susanti di All England 1991. “Mengawinkan Gelar All England” tentu merupakan kebanggaan tersendiri, ketika Ardy B Wiranata dan Susi Susanti tampil sebagai juara tunggal putra dan putri kejuaraan paling akbar di dunia, di Wembley London ini. Prestasi Ardy dan Susi ini menyamai apa yang pernah dicapai China. Yakni Luan Jin dan Zhang Ailing (1983), Zhao Jianhua dan Han Aiping (1985) serta Yang Yang dan Li Lingwei (1989).

Tanda-tanda bakal keberhasilan di Olimpiade Barcelona 1992 sebenarnya sudah mulai terlihat dari sejak 1987, dan dimantapkan pada 1989 dan 1991. Sudah lama Indonesia merindukan tampilnya seorang pemain bulu tangkis putri yang memiliki langkah dunia. Dan saat yang dinanti-nanti itu tiba, bukan tiba-tiba. Tetapi memang dipersiapkan dalam sebuah proyek Menuju Olimpiade Barcelona 1992 oleh Try Sutrisno, dan teknokrat olahraga MF Siregar, dengan di antaranya melibatkan pelatih kepala Rudy Hartono, Indra Gunawan dan Tahir Djide.

Ardy B Wiranata dan Susi Susanti sebenarnya sudah mulai nampak geliat gemilangnya sejak yunior. Ardy B Wiranata tampil sebagai juara Invitasi Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis Junior Bimantara (BWJBI) 1987. Lebih gila lagi, Susi Susanti – yang hanya bertinggi 161 cm kelahiran Tasikmalaya Jawa Barat 11 Februari 1971 ini – malah juara di tiga nomor yang diikutinya, tunggal putri, ganda putri (bersama Lilik Sudarwati) dan ganda campuran bersama Ardy! Tahun berikutnya, pada kejuaraan dunia junior yang sama, Haryanto Arbi juga juara pada 1989.

Kemantapan sepak terjang Susi Susanti di percaturan utama bulu tangkis dunia, baru mulai nampak 1989 setelah terseok-seok terus lawan pemain-pemain senior pada era sebelum itu. Demikian pula Ardy B Wiranata – yang kelahiran Jakarta 10 Februari 1970 dan bertinggi 171 cm itu. Gemilang sepanjang awal 1990-an.

Susi Susanti mendapat gelar juara senior untuk pertama kalinya pada Indonesia Terbuka 1989 di Pontianak, mengalahkan pemain bulu tangkis China top sebayanya, Huang Hua di final. Dan hanya selang sepekan setelah Indonesia Terbuka, pada bulan November tahun yang sama 1989, Susi Susanti meraih gelar juara Piala Dunia 555 di Guangzhou, China. Dan tidak main-main, mengalahkan Han Aiping (juara dunia 1979, 1985, 1987) di final, di depan publik mereka sendiri...

Kekalahan Han Aiping di depan publik sendiri pada 1989 ini bahkan menandai terjadinya regenerasi jagoan-jagoan bulu tangkis China, apalagi pemain nomor satu mereka Li Lingwei (juara dunia 1983, 1989) sudah lebih dulu mundur. Kalau dekade sebelumnya, bulu tangkis dunia di bagian putrinya selalu didominasi oleh Li Lingwei dan Han Aiping tiada habisnya. Maka setelah mereka lengser, percaturan putri dunia didominasi Susi Susanti, Sarwendah dari Indonesia. Dan dari Cina, Tang Jiuhong dan Huang Hua. Korea Selatan memunculkan Lee Young-suk, Bang So-hyun dan Lee Heung-soon. Sementara dari Eropa muncul Pernille Nedergaard dari Denmark.

Susi mulai menapak menuju puncak prestasi ketika tampil sebagai juara All England 1990, setelah setahun sebelumnya digagalkan Li Lingwei di final. Susi merupakan putri Indonesia pertama yang berhasil menjuarai turnamen paling bergengsi di Wembley itu. Bahkan prestasi itu ia ulangi di All England 1991, dan 1993.

Sebelum itu, dalam catatan sejarah bulu tangkis Indonesia, srikandi bulu tangkis Indonesia terbaik baru sampai final, yakni Minarni (1968) dan Verawaty Wiharjo (1980). Tahun 1991, bahkan sejarah emas bagi Indonesia di All England dengan tampilnya sekaligus, Ardy B Wiranata sebagai juara di tunggal putra serta Susi Susanti di tunggal putri.Tetapi kegemilangan Susi di awal 1990-an itu juga bukan tanpa batu sandungan.

Susi, yang mulai tak terkalahkan itu, ternyata juga ada kalanya terpuruk menjelang Olimpiade Barcelona 1992. Susi ditundukkan pemain Korsel, Lee Young-suk justru di depan publik sendiri di Istora Senayan pada final Indonesia Terbuka (1991). Bahkan di Kejuaraan Dunia 1991 Kopenhagen, Denmark, Susi tumbang di semifinal di tangan rivalnya ketika masih junior, Tang Jiuhong dari China meski Susi sebenarnya dijagokan juara.

Puncak Prestasi

Di bagian putra “The New Magnificent Seven” Indonesia merajalela awal 1990-an. Dari deretan tujuh jagoan itu, hanya Fung Permadi dan Bambang Supriyanto yang tidak kebagian gelar bergengsi, entah itu All England, juara dunia ataupun juara Piala Dunia. Hermawan Susanto, yang seumur Alan Budikusuma, selama itu dikenal sebagai “pembunuh raksasa” (menumbangkan pemain-pemain unggulan termasuk pemain-pemain top China) tetapi hampir selalu gagal juara, ternyata malah bisa juara “di kandang macan” China Terbuka 1991. Prestasi Hermawan alias A’im itu, mengalahkan di antaranya jagoan China, Wu Wenkai di kandang mereka setelah dalam 7 kali pertemuan sebelumnya, Hermawan selalu kalah...

Dan tidak hanya yang yunior, Indonesia berjaya. Sisa-sisa senior yang sebelumnya nggak pernah juara, Eddy Kurniawan (28) pun kebagian juara Final Grand Prix Bulu Tangkis 1990 di Bali, mengalahkan Rashid Sidek di final. Ini merupakan satu-satunya gelar juara internasional yang pernah dikantungi pemain, yang gaya permainannya sangat mirip Rudy Hartono juara 8 kali All England itu.

Di sektor ganda 1990-an, pelatnas Pratama Try Sutrisno juga menghasilkan ganda tangguh dunia, Ricky Ahmad Subagja dan Rexy Mainaky. Indonesia bahkan sempat menjadi nomor satu di percaturan ganda, lantaran senior mereka pun Eddy Hartono dan Gunawan juga merajalela di percaturan dunia. Cederanya Bambang Supriyanto, salah satu andalan tunggal Indonesia, ujung ibu jarinya putus terjepit kereta dorong (trolley) di Bandara Subang, Kuala Lumpur menjelang final Piala Thomas Mei 1992 di Malaysia, memaksa pemain ini menjadi spesialis ganda dipasangkan dengan Gunawan.

Tujuh jagoan tunggal dan dua pasangan ganda Indonesia yang merajalela di berbagai turnamen dunia pada era awal 1990-an itu, ternyata juga terjadi di Olimpiade Barcelona 1992. Puncak merajalelanya terjadi di tunggal putra, ketika tiga bendera merah putih berkibar di sela empat bendera di arena bulu tangkis, Pavello de la Marbella. Alan Budikusuma juara Olimpiade, juga medali perak dan satu perunggunya diraih pemain Indonesia, Ardy B Wiranata serta Hermawan Susanto. Lebih masyuk lagi, lantaran di Barcelona 1992 itu, Susi Susanti pacar Alan Budikusuma, juga meraih medali emas!

Setelah kurang lebih 10 tahun Indonesia paceklik prestasi, tak melahirkan juara-juara berkelas dunia, akhirnya saatnya para mantan pelatnas Pratama Try Sutrisno itu memetik panenannya.

Ardy B Wiranata dan Susi Susanti adalah yang terdepan di barisan merah putih. Ardy kembali mengharumkan nama pemain Indonesia di All England 1991 setelah tenggelamnya Liem Swie King tiga kali juara All England terakhir 1981. Susi Susanti lebih dulu tampil sebagai putri Indonesia pertama juara All England 1980, bahkan diulangi pada 1991 dan 1993.

All England 1992, yang biasa dilangsungkan setiap bulan Maret awal thun Indonesia sedikit surut tersita konsentrasinya ke persiapan Olimpiade Barcelona 1992. Olimpiade dilangsungkan Juli-Agustus 1992, sehingga di arena All England 1992 Indonesia hanya kebagian gelar ganda putra melalui pasangan seniornya, Rudy Gunawan dan Eddy Hartono. China pratama pun merajalela, tiga gelar juara All England 1992 melalui Liu Jun (tunggal putra), Tang Jiuhong (tunggal putri) serta ganda putri Lin Yan Fen dan Yao Fen.

Keemasan lapis bawahnya Ardy, Alan dan Hermawan, juga sudah mulai tampak. Haryanto Arbi – adik kandung pemain lama Indonesia Hastomo Arbi – ternyata mampu tampil sebagai juara All England 1993, dengan prestasi All Indonesian Final, mengalahkan rekan senegara sendiri Joko Suprianto. Dan tahun 1993 itu, Susi Susanti meraih gelar ketiga di All England mengalahkan pemain Korea Selatan yang dikalahkannya di final Olimpiade Barcelona 1992, Bang Soo-hyun.

***

JIMMY S HARIANTO (Wartawan Kompas 1975-2012)

Catatan: Artikel ini saya sempurnakan dari tulisan saya dalam buku “Emas di Barcelona Emas di Hatiku, karya bersama wartawan-wartawan Kompas Jimmy S Harianto, L Sastra Wijaya dan Hendry Ch Bangun, terbitan Tunas Jaya Lestari/Titus Kurniadi, 1993)