Naik Sepeda Dulu Simbol Kemiskinan, Kini Simbol Kemapanan

Naik sepeda bukan lagi simbol kemiskinan atau di cap sebagai orang kampung, tetapi sebagai simbol kemapanan bagi orang perkotaan.

Selasa, 8 Juni 2021 | 07:41 WIB
0
478
Naik Sepeda Dulu Simbol Kemiskinan, Kini Simbol Kemapanan
Pesepeda (Foto: Line Today)

Naik sepeda dulu dan sekarang.

Dulu-antara 30 tahun sampai dengan 55 tahun yang lalu,naik sepeda di kampung atau di desa bisa dikatakan sebagai simbol kemiskinan atau strata masyarakat bawah. Sepeda bagi masyarakat pedesaan waktu itu sebagai transportasi atau sarana untuk membantu mencari nahkah.

Seperti para pedagang naik sepeda menuju ke pasar atau tempat kerja yaitu pabrik.Ini kebanyakan di wilayah Jawa Tengah,Jawa Timur dan Jogjakarta.

Sepeda bagi masyarakat pedesaan juga untuk mengangkut hasil panen seperti mengangkut ketika panen padi atau pari (Jawa) atau untuk mencari rumput atau ngarit.Bahkan sepeda juga menjadi transportasi ketika pergi ke sekolah.

Di Jawa sepeda dibagi beberapa macem atau jenis,ada sepeda onthel yang sering dipakai bapak-bapak atau ibu-ibu pergi ke pasar.Ada sepeda jenis jengki yang sering dipakai anak sekolah baik pria maupun wanita dan ada sepeda mini yang sering dipakai perempuan ketika pergi ke sekolah yang bagian depannya ada keranjang untuk menaruh tas.

Saya pribadi naik sepeda waktu SMP dengan sepeda jengki.Di lapangan belakang sekolah yang luas menjadi tempat parkir sepeda berjejer dengan rapi. Kalau ada satu sepeda yang jatuh atau roboh, maka ada efek domino sepeda yang lainnya juga ada pada jatuh dan menghasilkan suara yang khas dan terdengar waktu pelajaran sekolah.Anak-anak SMP biasanya malu memakai sepeda onthel atau sepeda yang sering dipakai bapak-bapak atau ibu-ibu.

Terkadang atau tak jarang ketika naik sepeda dibuat jengkel ketika rantai lepas, biasanya jari tangan akan belepotan dengan gemuk atau bekas oli yang sering dipakai untuk melumuri rantai sepeda.Membetulkan rantai sepeda lepas itu tidak mudah, sekalipun ada juga tekniknya.

Nah,sekarang naik sepeda tidak lagi seperti era 30 tahun atau 55 tahun yang lalu yang sering digunakan sebagai alat bantu mencari nahkah dan sebagai simbol kemiskinan bagi orang kampung atau masyarakat pedesaan.

Naik sepeda zaman sekarang sebagai sarana olah raga atau rekreasi dan bersosialisasi bagi orang-orang perkotaan yang sudah mapan secara materi atau ekonomi.

Harga sepeda juga tak murah ada yang harganya puluhan juta tergantung merk dan jenisnya.

Naik sepeda bukan lagi simbol kemiskinan atau di cap sebagai orang kampung, tetapi sebagai simbol kemapanan bagi orang perkotaan. Bahkan mempunyai sepeda dengan merk tertentu bisa untuk mengetahui status sosial yang bersangkutan.

Klub-klub atau perkumpulan sepeda begitu banyak dan mereka sering mengadakan acara gowes atau sepedaan secara ramai-ramai dengan berbagai rute yang menantang sampai dengan rute di jalanan kota-kota yang ada di Indonesia.

Karena naik sepeda sekarang sebagai simbol kemapanan dan status sosial yang tinggi, terkadang ketika melakukan naik sepeda secara ramai-ramai-adakalanya suka melanggar hukum di jalan dan terkesan arogan. Seperti cara naik sepeda dengan menutupi badan jalan atau main trabas tidak peduli dengan pengguna jalan lainnya.

Apalagi kalau mereka yang hobi sepeda itu orang-orang berpangkat atau berlebih harta.Sudah jalanan kayak milik nenek moyangnya.Sopo siro-sopo insun atau siapa kamu dan siapa saya.

Semakin tinggi jabatan seseorang atau semakin mapan seseorang,kadang yang timbul bukan kesadaran hukum yang tinggi tapi malah cenderung arogan.

Wis ngono wae.

 ***