Hampir pasti masyarakat akan menilai jam tangan yang dipakai buruh kuli atau buruh kasar tersebut adalah palsu atau abal-abal dan bisa dianggap gila atau halusinasi.
Banyak laki-laki atau perempuan yang memakai jam tangan.
Jam tangan pada dasarnya atau awalnya sebagai penunjuk waktu semata. Dulu anak-anak sekolah SMP atau SMU suka memakai jam tangan yang harganya tidak mahal atau tidak mencari merk tertentu. Mengapa begitu? Karena memakai jam tangan bukan untuk gaya-gayaan atau mungkin sekedar ingin pamer, tapi yang dicari fungsinya yaitu sebagai penunjuk waktu.
Orang sekarang memakai jam tangan bukan lagi sebagai penunjuk waktu, tapi lebih sebagai aksesoris, sebagai penunjuk status sosial. Jam tangan bukan sebagai penunjuk waktu tapi berubah fungsi sebagai penunjuk status sosial masyarakat seiring meningkatnya kelas bawah menjadi kelas menengah atau kelas menengah menjadi kelas atas.
Harga jam tangan ada yang puluhan juta, ratusan juta sampai dengan milyaran. Ono rego ono rupo dan tergantung status sosial masyarakat.
Pernah mantan Panglima TNI yaitu Moeldoko yang saat ini sebagai Kepala Staf Presiden-melepas jam tangannya dan membanting di hadapan jurnalis karena jengkel ditanya-tanya terkait jam yang dipakainya. Dan jam tangan itu tidak pecah atau rusak. Konon harganya mencapai Rp1 miliar kalau sesuai merk jam tersebut.
Orang mempunyai jam tangan bukan hanya satu saja, bahkan bisa sampai lima atau di atas sepuluh. Sudah seperti kolektor jam. Dan tentu merogok duit yang tidak sedikit.
Jam tangan juga bisa sebagai hadiah atau gratifikasi yang diberikan oleh seorang pengusaha kepada pejabat dengan tujuan tertentu. Seperti mantan menteri Kelautan dan Perikanan yang menjadi terdakwa atau pesakitan oleh KPK dengan tuduhan menerima suap dan gratifikasi. Dan gratifikasi tersebut berupa jam tangan dengan harga ratusan jutas rupiah.
Mengapa jam tangan berubah fungsi menjadi aksesoris dan sebagai penunjuk status sosial dibanding dengan fungsi awal yaitu sebagai penunjuk waktu?
Sejak munculnya handphone (smartphone), penunjuk waktu berpindah dari melihat jam tangan ke handphone. Karena di dalam layar tersebut sudah ada jam sebagai penunjuk waktu dan hari. Toh manusia modern lebih banyak memelototi layar smartphone dibanding memelototi jam tangan.
Bahkan smartphone selalu dalam genggaman, selalu dibawa kemanapun pergi. Sampai ke kamar mandi pun dibawa. Sedangkan jam tangan tidak selalu dibawa kemanapun, ketika di rumah atau lagi istirahat akan dilepasnya. Tidak menjadi teman tidur seperti smartphone yang selalu ada disampingya.
Pernah ada satu direksi perusahaan memakai jam tangan dengan harga tiga ratus ribuan tapi dengan merk terkenal yang harga aslinya mencapai ratusan juta rupiah. Karena yang memakai seorang direksi atau pimpinan perusahaan, para pegawai atau bawahan tidak menaruh curiga atau berprasanga-kalau jam tangan yang dipakai itu sejatinya jam tangan palsu atau abal-abal.
Atau maaf seorang buruh kuli atau buruh kasar dengan dipinjami dan disuruh memakai jam tangan asli dengan harga ratusan juta rupiah dan dengan merk terkenal, sambil wira-wiri-kira-kira apa pendapat atau pandangan masyarakat yang melihatnya?
Hampir pasti masyarakat akan menilai jam tangan yang dipakai buruh kuli atau buruh kasar tersebut adalah palsu atau abal-abal dan bisa dianggap gila atau halusinasi.
Artinya masyarakat sering menilai seseorang terkadang dari apa yang dipakai untuk melihat status sosialnya.
Jadi-memakai jam tangan dulu dan sekarang bisa mengalami pergeseran atau berubah fungsi yaitu dari penunjuk waktu menjadi penunjuk status sosial suatu masyarakat. Dan jam tangan lebih banyak mangkrak atau disimpan dalam kotak khusus karena takut dicuri.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews