Cerpen | Lelaki Senja

Didekapnya si bungsu seolah ingin membalaskan apa yang telah hilang. Perlahan cairan bening mengalir di pipinya.

Minggu, 10 Mei 2020 | 05:56 WIB
0
1522
Cerpen | Lelaki Senja
Ilustrasi senja (Foto: blogger.com)

Di suatu senja yang gelap.

Matahari tenggelam di balik awan pekat. Sekumpulan awan hitam baris berbaris. Berarak mempercepat malam. Angin berhembus kencang, menggiring jatuhnya air langit menuju bumi. Tanah basah dan manusia berangsur-angsur berlindung di rumah-rumah.

Namun, derasnya hujan senja itu tak mampu menahan seorang lelaki pekerja keras untuk mengurungkan niat keluar rumah. Ia enggan diam, sebab hujan adalah waktu gacor bagi seorang driver daring.

Seorang istri berdiri di ambang pintu.  Setiba di rumah sang suami melepas sepatu pantofel lalu meletakkannya di rak yañg berdiri di pojok teras. Usai mencopot mantel abu-abu yang basah dan menggantungnya dengan dua gantungan baju yang disodorkan istrinya ia bergegas masuk ke dalam rumah.

Sebelum melewati ambang pintu ia menjulurkan tangannya. Sang istri mencium punggung telapak tangannya yang sudah mulai menampakkan kerutan tipis. Tidak sehalus lagi seperti di masa puluhan tahun silam saat mereka pertama kali bertemu.

"Hujan deras, dan kau baru saja pulang. Masih mau jalan lagi?", raut wajah wanita itu cemas.

"Iya." , sang suami menjawab datar.

Di luar semakin gelap. Warna mendung pun semakin pekat. Tetesan air hujan masih mengucur deras dari pucuk-pucuk daun jambu dan sisi-sisi kanopi yang menutupi teras rumah mereka. Membentuk genangan kecil dan berebut menuju selokan.

"Kapan kau istirahat sehari saja? Hari libur pun tak kausisakan."

"Sudahlah, aku hanya berusaha agar semua baik-baik saja. Biaya hidup kita semakin tinggi. Anak kita juga harus sekolah tinggi.  Apapun akan kulakukan agar nasib mereka lebih baik dari ayahnya.", sang suami menghela nafas. Diseruputnya kopi pahit yang sudah tersaji di beranda rumahnya.

"Kemarin kang Solihin mencarimu."

"Oh, ya?", jawaban suaminya lagi-lagi singkat. Sedikit antusias, tapi tetap saja datar. Sang istri menatapnya, tetapi lelaki itu lebih sibuk menyiapkan baju ganti untuk pekerjaan berikutnya.

"Sudah lama ia tak menjumpaimu di majelis taklim."

"Katakan saja, aku sedang ada tugas di luar."

"Sampai kapan kau terus begini? Apa yang kau kejar tak sebanding dengan apa yang telah hilang."

"Kalau aku tidak pergi aku akan kehilangan kesempatan. Sesuatu yang lebih dibutuhkan dari sekedar duduk-duduk mendengar nasehat."

"Kalau kau sakit, kita akan kehilangan lebih besar lagi."

"Entahlah. Aku tak ingin berpikir sejauh itu."

Sang suami kembali duduk sambil merapikan jaket yang melapisi kaus berkerah yang dikenakannya. Matanya sempat menatap kitab tebal yang mulai berdebu di rak buku.

Sang istri sibuk mengurus tumpukan baju yang belum mengering. Musim hujan memberinya pekerjaan tambahan. Mengeringkan baju untuk dipakai sekolah si bungsu dan ke kantor suaminya esok hari.

"Berangkatlah jika itu maumu. Senja sudah berangsur malam. Paling tidak sayangilah dirimu. Kita tak akan selamanya menunggui anak-anak." Sang istri nyaris kehabisan kata-kata untuk suaminya.

Lalu sang suami pun berdiri. Melangkah menuju garasi. Tetiba si bungsu berteriak menghampirinya.

"Ayah..., adik kangen ayah. Sudah lama ayah gak nemenin adik main."

Lelaki itu tercekat. Pandangan mata dan kalimat si bungsu yang merajuk, membuatnya tak mampu meneruskan langkah.

Entah sudah berapa lama ia tak bercengkerama bersama anak-anaknya. Waktunya nyaris habis direnggut pekerjaan.

Ia terdiam sejenak, seolah menghitung sudah berapa banyak kehilangan waktu membersamai si bungsu di masa-masa emasnya.

Didekapnya si bungsu seolah ingin membalaskan apa yang telah hilang. Perlahan cairan bening mengalir di pipinya.

***