Didekapnya si bungsu seolah ingin membalaskan apa yang telah hilang. Perlahan cairan bening mengalir di pipinya.
Di suatu senja yang gelap.
Matahari tenggelam di balik awan pekat. Sekumpulan awan hitam baris berbaris. Berarak mempercepat malam. Angin berhembus kencang, menggiring jatuhnya air langit menuju bumi. Tanah basah dan manusia berangsur-angsur berlindung di rumah-rumah.
Namun, derasnya hujan senja itu tak mampu menahan seorang lelaki pekerja keras untuk mengurungkan niat keluar rumah. Ia enggan diam, sebab hujan adalah waktu gacor bagi seorang driver daring.
Seorang istri berdiri di ambang pintu. Setiba di rumah sang suami melepas sepatu pantofel lalu meletakkannya di rak yañg berdiri di pojok teras. Usai mencopot mantel abu-abu yang basah dan menggantungnya dengan dua gantungan baju yang disodorkan istrinya ia bergegas masuk ke dalam rumah.
Sebelum melewati ambang pintu ia menjulurkan tangannya. Sang istri mencium punggung telapak tangannya yang sudah mulai menampakkan kerutan tipis. Tidak sehalus lagi seperti di masa puluhan tahun silam saat mereka pertama kali bertemu.
"Hujan deras, dan kau baru saja pulang. Masih mau jalan lagi?", raut wajah wanita itu cemas.
"Iya." , sang suami menjawab datar.
Di luar semakin gelap. Warna mendung pun semakin pekat. Tetesan air hujan masih mengucur deras dari pucuk-pucuk daun jambu dan sisi-sisi kanopi yang menutupi teras rumah mereka. Membentuk genangan kecil dan berebut menuju selokan.
"Kapan kau istirahat sehari saja? Hari libur pun tak kausisakan."
"Sudahlah, aku hanya berusaha agar semua baik-baik saja. Biaya hidup kita semakin tinggi. Anak kita juga harus sekolah tinggi. Apapun akan kulakukan agar nasib mereka lebih baik dari ayahnya.", sang suami menghela nafas. Diseruputnya kopi pahit yang sudah tersaji di beranda rumahnya.
"Kemarin kang Solihin mencarimu."
"Oh, ya?", jawaban suaminya lagi-lagi singkat. Sedikit antusias, tapi tetap saja datar. Sang istri menatapnya, tetapi lelaki itu lebih sibuk menyiapkan baju ganti untuk pekerjaan berikutnya.
"Sudah lama ia tak menjumpaimu di majelis taklim."
"Katakan saja, aku sedang ada tugas di luar."
"Sampai kapan kau terus begini? Apa yang kau kejar tak sebanding dengan apa yang telah hilang."
"Kalau aku tidak pergi aku akan kehilangan kesempatan. Sesuatu yang lebih dibutuhkan dari sekedar duduk-duduk mendengar nasehat."
"Kalau kau sakit, kita akan kehilangan lebih besar lagi."
"Entahlah. Aku tak ingin berpikir sejauh itu."
Sang suami kembali duduk sambil merapikan jaket yang melapisi kaus berkerah yang dikenakannya. Matanya sempat menatap kitab tebal yang mulai berdebu di rak buku.
Sang istri sibuk mengurus tumpukan baju yang belum mengering. Musim hujan memberinya pekerjaan tambahan. Mengeringkan baju untuk dipakai sekolah si bungsu dan ke kantor suaminya esok hari.
"Berangkatlah jika itu maumu. Senja sudah berangsur malam. Paling tidak sayangilah dirimu. Kita tak akan selamanya menunggui anak-anak." Sang istri nyaris kehabisan kata-kata untuk suaminya.
Lalu sang suami pun berdiri. Melangkah menuju garasi. Tetiba si bungsu berteriak menghampirinya.
"Ayah..., adik kangen ayah. Sudah lama ayah gak nemenin adik main."
Lelaki itu tercekat. Pandangan mata dan kalimat si bungsu yang merajuk, membuatnya tak mampu meneruskan langkah.
Entah sudah berapa lama ia tak bercengkerama bersama anak-anaknya. Waktunya nyaris habis direnggut pekerjaan.
Ia terdiam sejenak, seolah menghitung sudah berapa banyak kehilangan waktu membersamai si bungsu di masa-masa emasnya.
Didekapnya si bungsu seolah ingin membalaskan apa yang telah hilang. Perlahan cairan bening mengalir di pipinya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews