Kami Tak Bikin Audisi Bulutangkis Lagi

Di luar dan di arena lapangan, tidak terlihat masyarakat, penonton atau para orang tua yang menghisap rokok, meski sebenarnya tidak ada larangan untuk melakukan kebiasaan merokok.

Selasa, 10 September 2019 | 19:16 WIB
0
536
Kami Tak Bikin Audisi Bulutangkis Lagi
Ilustrasi audisi bulutangkis (Foto: Sindonews.com)

Itulah pesan singkat yang dikirim lewat WA (Whatapps) oleh seorang teman yang hampir sepuluh tahun ikut berkecimpung dalam agenda Audisi Bulutangkis PB Djarum. Audisi PB Djarum ini dilaksanakan sejak tahun 2006 dan telah menghasilkan sejumlah atlit bulutangkis handal di tingkat nasional maupun internasional.

Saya terenyuh dengan pesan singkat tersebut, sehingga lewat WA saya pun bertanya, Kok bisa?

“Kita berbeda pendapat dengan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menggunakan PP tentang produk tembakau, sementara Persatuan Bulutangkis (PB) Djarum adalah nama klub dan bukan brand rokok. Sebenarnya untuk Audisi di Purwokerto, sudah mengalah. Nama Djarum dihilangkan dari nama kegiatan. Jersey klub pun tidak pakai Djarum. Itu seperti yang mereka desak ke kita (Djarum) di setiap rilisnya. Kemudian ketika legenda bulutangkis menggunakan jersey klub, KPAI pun menganggap penggunaan jersey tersebut sebagai media promosi,” jawab teman saya.

Ia kemudian  menuliskan (masih lewat WA),  “Daripada kita diusik terus, ya mending berhenti saja tahun depan. Tapi tahun ini, karena sudah janji kepada peserta, audisi tetap diteruskan hingga Purwokerto, Surabaya, Solo Raya dan Kudus. Setelah itu kita Pamit. Tidak bikin audisi umum ke berbagai kota lagi.”

Obrolan singkat yang disampaikan sahabat saya lewat WA ini, merupakan ekspresi sebuah kekecewaan. Kecewa lantaran, sahabat saya ini sudah berkecimpung bertahun-tahun dalam prosesi Audisi PB Djarum. Ternyata niat baik tidak selalu ditanggapi positif, bahkan diusik-usik tanpa memberikan solusi.

Saya beruntung, karena sempat beberapa kali melihat secara langsung Audisi Bulutangkis yang dilakukan PB Djarum. Antusiasme anak-anak usia dini hingga remaja luar biasa. Tidak ada aktivitas lain di lokasi audisi selain mempersiapkan diri untuk mengikuti proses audisi yang sangat ketat.

Didampingi para atlet senior --sebagian besar juara dari berbagai event nasional dan internasional, peserta audisi menunjukkan ‘kehebatannya” meski mereka tahu sebagian dari mereka harus tereliminasi. Yang unggul dalam audisi dielu-elukan, pun yang tidak lolos mendapat perhatian yang sama. Tidak ada diskriminasi.

Yang diperlihatkan adalah sportivitas dan semangat bertanding dan saling menghormati serta menghargai. “Luar biasa”, lantas mengapa kemudian diusik dan direcokin dengan argumentasi-argumentasi undang-undang?

Lingkungan tempat acara audisi memang diramaikan serta dihiasi dengan brand atau logo bertuliskan “Djarum”. Brand dan logo itu bukanlah brand Djarum-sebagai sebuah produksi rokok, tetapi brand PB Djarum yang di dalamnya terdapat poster dan foto-foto para legenda bulutangkis Indonesia yang mendunia dan yang sebelumnya pernah bermain untuk klub PB Djarum.

Baca Juga: Biar Tahu Rasanya Tertusuk Djarum

Sebut saja nama Liem Swie King, Hastomo Arbi atau Hariyanto Arbi adalah bagian dari beberapa foto yang dipajang di arena audisi. Foto-foto itu dipajang secara teratur dan apik disertai narasi yang menurut persepsi saya bisa memberikan inspirasi kepada anak-anak dan remaja peserta audisi untuk mengikuti jejak para legenda bulutangkis asal PB Djarum yang mendunia tersebut.

Bukan itu saja, di di luar dan di arena lapangan, tidak terlihat masyarakat, penonton atau para orang tua yang menghisap rokok (ngudut), meski sebenarnya tidak ada larangan untuk melakukan kebiasaan itu (merokok).

Kalaupun ada yang merokok, pastilah jauh dari arena audisi, seperti yang saya sering saya lakukan, yakni ngelimpir untuk sejenak menikmati sebatang rokok yang bukan produksi PT Djarum. “Nikmatt Sekali”.

***