Kopi Cowas

Model cafe anak-anak muda itu pun menemukan jalannya sendiri. Bukan lagi hanya tempat kongko. Maka itu. Tempatnya tidak lagi harus luas. Tidak harus seperti Starbucks.

Sabtu, 17 Agustus 2019 | 06:27 WIB
0
471
Kopi Cowas
Kopi Cowas (Foto: Disway.id)

Sesekali saya minum kopi. Belakangan ini. Sejak teman-teman saya buka usaha kopi. Yang teman lama buka warung. Yang teman baru bukan cafe. Nama jaringan warung teman lama itu 'Kopi Cowas'. Singkatan dari konco lawas -- teman lama. Dengan motto: sampek matek -- sampai mati tetap teman. Lokasi warungnya di kampung-kampung Surabaya. Dan sekitarnya. Di dalam gang-gang.

'Kopi Cowas' punya pemasok kopi dengan ramuan yang standar. Mirip pola Starbucks. Modalnya hanya sekitar Rp 5 juta.

Setiap ke teman lama apa boleh buat. Merasakan kopinya.

Begitulah.

Yang teman-teman baru buka cafe: anak-anak muda itu. Di mall-mall. Larisnya bukan main. Sampai saya juga tertarik untuk mencobanya: mengapa begitu laris.

Modalnya sekitar Rp 1 miliar. Mesin pembuat kopinya saja Rp 400 juta. Tapi kok begitu menjamur.

Ada satu teman yang sekarang punya 100 gerai. Di Jakarta saja. Seperti Bukanagara Coffee. Milik Willawati.

Dia keluarga pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Yang juga punya banyak butik. Dan belakangan jadi produser film. Termasuk film Marina si Pembunuh. Atau Bid'ah Cinta.

Salah satu gerainya di dekat rumah saya. Di lantai 4 Pacific Place. Tidak perlu ojek online. Kalau mau ke sana tinggal menyeberang.

Baca Juga: Starling, Starbucks Keliling untuk Para Coffeevora

Lihatlah nama-nama cafe di bawah ini. Begitu banyaknya:

Tanamera, Anomali, Giyanti, Filosofi Kopi, Ombe Coffee, Bukanagara Coffee & Roastery.

Lihat juga yang outletnya bukan main banyaknya: Kopi Buatan Mantan, Janji Jiwa, Kulo, Maxx Coffee, Kenangan, Fore, Di Bawah Tangga.

Semua sukses.

Yang nama cafenya belum disebut silakan --masukkan di kolom komentar.

Di antara yang banyak itu ada yang sehari omsetnya Rp 2 miliar. Sebulan Rp 60 miliar!

Saya jadi ingat masa lalu.

Dulu. Saya sering memacu teman-teman manajemen surat kabar. Dari kelompok yang tidak maju-maju. Yang omsetnya hanya di bawah 10 miliar/bulan. Tapi nama korannya begitu besar. Wartawannya begitu merasa jagoan. Jabatan pemrednya begitu prestisius.

"Secara perusahaan Anda ini kalah dengan penjual bakso di Blok S," kata saya. "Ayo, kita maju," tambah saya. Lalu kami diskusi bagaimana cara maju.

Kini contoh itu bertambah lagi: kedai kopi. Yang sampai punya omset Rp 2 miliar sehari. Yang kreatifnya bukan main. Bisa membuat kopi dengan rasa apa saja.

Saya suka kopi yang rasa pandan. Tak terbayangkan ditemukan kopi rasa pedesaan. Yang ternyata disukai orang metropolitan. Yang latar belakangnya mungkin juga dari desa.

Kesukaan saya itu mungkin juga terpengaruh masa kecil. Nasi uduk (lemak) diberi pandan. Bubur diberi pandan. Kue ditaburi irisan daun pandan. Sebelum dimasak. Orang mati ditaburi irisan daun pandan. Tidak kuat beli bunga. Harumnya sama.

Mungkin kalau kelak ada kopi rasa nangka saya pun suka. Sudah terbiasa apa saja diberi nangka. Sejak kecil.

Terbukti Starbucks ternyata bukan ancaman. Bagi yang kreatif.

Baca Juga: Pahit Kopi, Matinya Raja "Starbucks" India

Saya juga bertanya pada bos Kapal Api. Produsen kopi terbesar di Indonesia itu. Apakah seperti Starbucks tidak mengancam Kapal Api?

“Sama sekali tidak," ujar Sudomo, pemilik Kapal Api. "Starbucks justru membantu memasyarakatkan kopi. Terutama kepada anak-anak muda perkotaan," tambahnya.

Apakah menjamurnya cafe anak-anak muda itu akan mengganggu Kapal Api?

“Juga sama sekali tidak. Justru bagus untuk mengopikan masyarakat," jawabnya. Sudomo memang sering jenaka. Kalau lagi bicara di atas panggung. Seperti di ulang tahun pertama DI's Way dulu.

Model cafe anak-anak muda itu pun menemukan jalannya sendiri. Bukan lagi hanya tempat kongko. Maka itu. Tempatnya tidak lagi harus luas. Tidak harus seperti Starbucks. Yang memerlukan investasi besar.

"Lebih 50 persen pembeli kami tidak datang ke cafe," ujar Willawati.

Saya lihat juga begitu. Yang antre di cafe itu adalah driver ojek online. Memesannya lewat aplikasi. Ada driver ojek online yang antre untuk 15 orang. Bayangkan kalau 15 orang itu minum kopinya di cafe. Berapa luas tempat yang harus disediakan. Berapa harga tempatnya. Dan perabotnya. Dan pelayannya. Dan cuciannya.

Lalu akan berapa lama mereka duduk di situ. Apalagi kalau sudah membuka laptop. Betapa mahal listrik AC-nya.

Pendatang baru sering ngeri pada raja lama. Tapi pendatang baru juga sering menikmati perubahan keadaan.

Ketika Starbucks hadir, belum ada ojek online. Belum ada aplikasi. Investasi terlanjur besar. Tidak bisa dikoreksi.

Pendatang baru ternyata bisa menemukan jalannya sendiri. Di bidang kopi.

Dahlan Iskan

***