Seni Pertunjukan Online

Seniman yang ‘menjual’ karyanya dengan pendekatan ‘kompetisi pasar’ ini selalu terasa mempesona. Tak ada kaitan komersialisasi seni dengan ‘penurunan’ kualitas seni di situ.

Kamis, 11 November 2021 | 10:40 WIB
0
123
Seni Pertunjukan Online
Konser Online (Foto: rukita.co)

Selama pandemi, sejak Maret 2020, dengan berbagai alasan dari ‘di rumah aja’ hingga ‘ppkm’, semua jenis aktivitas masyarakat mengalami pembatasan dan karenanya juga perubahan. Termasuk yang bergerak di bidang kreatif, utamanya kesenian entah itu seni pertunjukan atau seni rupa. Terus ngapain saja para seniman itu?

Di Daerah Istimewa Yogyakarta ada namanya Dana Keistimewaan, juga ada Dinas Kebudayaan dengan nama lain Kundha Kabudayan, tapi untuk apa dan untuk siapa dua hal tersebut, tentu para seniman di DIY yang paling tahu. Meskipun ketika saya tanya pada para pihak, adakah data seniman (apapun) di DIY, tak ada data bisa disodorkan.

Perubahan yang paling mencolok, ialah dari lumayan ada menjadi lumayan tidak ada. Bahwa ada media online, agaknya belum menjadi pilihan untuk berekspresi. Bukan hanya karena keberjarakan karakter media, melainkan juga perbedaan itu cenderung sudah dihadapi dengan sikap tertentu. Yakni dari faktor belum terbiasa, tidak biasa, atau sama sekali tidak bisa menerimanya.

Meminjam istilah ibu-ibu, yang disarankan untuk arisan online demi mematuhi aturan ‘di rumah aja’ waktu itu, ada yang hilang. Bagaimana coba bagi seniman pertunjukan bermain tanpa ‘penonton langsung’? Itu sesuatu ban-get. Bahkan, meski media online memungkinkan hal yang sama dalam display seni rupa, menonton pameran lukisan di galeri atau museum dirasa lebih afdol dan tak tergantikan.

Ada persoalan ‘nuansa’ yang menjadi sesuatu paling wigati di situ. Dan itu memang tantangan perubahan, karena konsekuensi dari berubah adalah berganti. Bukan hanya nuansa, melainkan bagaimana sikap dari seniman itu sendiri. Rumusnya sederhana, jika nuansa berubah disikapi dengan sikap yang tak berubah, tentu saja terjadi banyak tabrakan di situ, atau disharmoni.

Bahwa atas keistimewaan Yogyakarta, ada pertunjukan-pertunjukan seni via media online, dan semua bisa ditonton gratis atas jasa baik media youtube (yang juga platform gratisan), namun hanya media yang dipakainya saja yang berbeda.

Penyikapan kreatifnya (meski bisa menerima media online yang berbasis audio-video itu) tidak mengalami perubahan significan. Bahkan dalam beberapa seni pertunjukan yang berbasis panggung, lebih banyak yang hanya bisa disaksikan sebagai dokumentasi seni pertunjukan.

Konsekuensi logis dari itu, pola pengadeganan, pola akting, ketika terfrozen dalam frame media online itu menjadi tidak fungsional. Yang terasa kemudian hanya pemindahan media, karena media hanya sebagai perantara. Kamera hanya melakukan coverage, entah itu diistilahkan sebagai dokumentasi atau bahkan sekedar reportase.

Secara auditif dan visual toh pesan dan citra sudah tersampaikan. Mau apalagi? Integrasi seni pertunjukan dengan media kamera audio-video yang diupayakan secara lebih serius, mungkin (di DIY) bisa disaksikan dalam penyelenggaraan Asia Tri belum lama lalu.

Selebihnya, berkait pembacaan, atau katakan pendekatan medianya, belum selesai. Sebagai masyarakat awam, tentu saya juga tak bisa berharap jauh. Kecuali hanya menduga-dua, mungkin di sini penyebabnya kenapa tidak ada pertunjukan online berbayar. Sesuatu yang jarang, bahkan bukan hanya DIY melainkan Indonesia. Di jagat off-line saja kita tak bisa berharap lebih, apalagi di media online. Padal, bukan hanya di DIY, hampir di seluruh kota propinsi, ada banyak SMK broadcast, dan mulai banyak kampung atau desa youtuber di Indonesia ini.

Karena itu apa yang diupayakan oleh Teater Koma, God Bless, juga disisi lain Garin Nugroho dengan membuat film dengan kamera handphone (Siklus), adalah terobosan kreatif. Yang saya sebutkan di situ, mereka berupaya, berkiat, di luar pembiayaan kesenian yang diongkosi pemerintah, yang menjadi rutin. Rutinitas itu biasanya menjadi makin kerap menjelang tutup tahun (kemudu-kudu ngabisin anggaran), namun lewat begitu saja. Sampai-sampai Menkeu Sri Mulyani, yang menghitung-hitung angka anggaran negara, ngendika soal bagaimana menyinkronkan volume dengan nilai. Saya tidak tahu apa maksudnya.

Teater Koma dan God Bless berani menawarkan tontonan online berbayar. Sementara Garin, meski karya film handphone-nya bisa ditonton gratis di media online, tetapi ongkos produksi dia dapatkan dari upaya kreatif mencari sponsorship program dengan hitungan komersial.

Seniman yang ‘menjual’ karyanya dengan pendekatan ‘kompetisi pasar’ ini selalu terasa mempesona. Tak ada kaitan komersialisasi seni dengan ‘penurunan’ kualitas seni di situ. Karena kita tetap bisa melihat intensi kreatif seniman dalam berkarya.

Tapi, akhirnya nemu juga ‘pertunjukan’ online berbayar di Yogyakarta, seperti saya pajang flyer mereka di sini. Saya tidak tahu mereka siapa, karena kurang gaul. Tetapi saya hormat pada upaya-upaya seperti ini. 

Sunardian Wirodono 

***