Kisah Kasih Secangkir Kopi

Ibarat petualang di masa nomaden dulu, saya kini sedang menjelajahi sensasi kopi dari wilayah sedenter ke sedenter lainnya, berharap perawan yang elok menyeduhkannya untuk saya di setiap persinggahan.

Kamis, 31 Oktober 2024 | 07:28 WIB
0
8
Kisah Kasih Secangkir Kopi
Kopi dan buku (Foto: Pepih Nugraha)

"Life is too short to worry", senandung pebiola Luluk Purwanto dari grup jazz Bhaskara yang hit di tahun 1980-an. Tetapi bagi pecandu kopi seperti saya, kalimat itu belum lengkap jika belum ditambahi, "if I could not drink a cup of coffee today". Lebay? Mungkin iya, tapi kamu tidak bisa meraba perasaan saya, bukan?

Untuk itulah dalam keseharian saya dikelilingi kopi berbagai rasa dari berbagai daerah dan ini... dari sejumlah teman yang tahu perasaan saya, yang selalu berhasrat menikmati eksotisnya kopi. "Many friends, much coffee", begitulah kira-kira. 

Sekadar menyebut nama, saat ini saya bergantian menyeduh kopi Arabica Bali kiriman dari mbak Tamita, Irish coffee dari Banyuwangi produk Pak Pratmadja Gunawan dan Kopi Gayo oleh-oleh dari Roy Afriansyah. Sebelumnya Aceh Gayo biasa dikirim pak Syukri Muhammad Syukri.

Kini di rumah kedatangan lagi kopi arabica Ciwidey yang sudah saya giling tadi pagi, tetapi belum sempat menyeduhnya. Saat kemasan kopi ini saya masukkan ke mobil, hidung anak-istri yang nebeng mobil cungat-cungit, "Kok wangi kopi, ya?" Kata Gadis, si bontot, yang diiyakan bundanya. Saya ambil bungkusan kopi Ciwidéy kiriman dari Cepi Husada. Saya tunjukkan kemasan kopi yang meruapkan aroma alami kopi itu. "Ini," kata saya. Gadis mengamati bungkusan kopi beans itu, dikiranya parfum pengharum kabin mobil.

Kemarin saya menerima lagi dua jenis kopi yang dalam pikiran saya pastilah eksotis.

Kopi baru itu bermerak Tugu Kawi Sari, kopi yang konon sudah diproduksi sejak 1870 (tentu saya belum lahir saat itu hehe...), yaitu "Wine Infused Coffee" dan "Whiskey Infused Coffee". What? "Wine" dan "Whiskey"? Haram itu, Babe Haikal pasti menolak memberi label halal pada kedua jenis kopi ini!

Tenang, woles, Bestie, sama seperti "Irish" yang beraroma rum, khomer yang diharamkan itu, "Wine" dan "Whiskey" di sini hanya meminjam istilah untuk aroma kopi yang dibuat mirip minuman yang sesungguhnya enak tapi diharamkan itu. Konon kopi ini dipetik dan disangray oleh gadis-gadis Jawa di Gunung Kawi khusus untuk saya, ahaaayy...

Sebagai muslim, saya tidak menyentuh ketiga jenis minuman itu kecuali pada masa lalu untuk pergaulan saat saya bertugas sebagai jurnalis, itupun cuma icip-icip saja, tidak diniatkan untuk mabuk-mabukan (mabuk cinta saja sudah lebih dari cukup, eh...). Tapi kalau aroma dan sensasi "Irish", "Wine" atau "Whiskey", itu yang saya cari. Kebetulan mas Sapto Hp punya dan sudi mengirimkannya, maka kompletlah sensasi kopi di rumah saya sekarang. Siapa yang mau mabuk sensasi di rumah saya?

Seperti api, ketika sensasi mabuk cinta sudah saya bunuh perlahan-lahan sehingga tinggal berupa sekam (semoga tak ada angin bertiup yang menjadikan sekam berubah bara), tetapi tidak dengan mabuk sensasi kopi yang justru sedang hot-hotnya saya jelajahi dan daki sampai di puncak kenikmatan. Ibarat petualang di masa nomaden dulu, saya kini sedang menjelajahi sensasi kopi dari wilayah sedenter ke sedenter lainnya, berharap perawan yang elok menyeduhkannya untuk saya di setiap persinggahan.

Lalu apa hubungannya dengan "trilogi menulis" yang saya tulis dan menjadi pendamping kopi ini? Tidak ada hubungannya memang, kecuali saya menulis ketiga buku itu dengan cinta dan aroma kopi yang memabukkan.

(Pepih Nugraha)