Soeurs D'armes

ISIS sebuah kelompok kegeeran yag barangkali simbol bajingan post-truth, yang menjual keyakinan dengan dasar kebodohan.

Minggu, 23 Februari 2020 | 06:14 WIB
0
430
Soeurs D'armes
Tentara perempuan Kurdi (Foto: rmi-nu.or.id)

Sebuah film Perancis yang bila diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Sisters in Arms. Film epic yang bisa jadi pengantar singkat mengenali siapa itu ISIS. Dan terutama bagaimana mengatasinya. Banyak "ternyata" di sini. Ternyata dalam arti informasi baru, yang sebagian publik telah umum mengetahui. Namun ada yang sama sekali baru. Minimal bagi saya.

Dua hal terbaru dan terpentihg adalah peran prajurit wanita dan kedua asal usul mereka yang juga sangat global. Film ini sendiri sangat unik, karena mengambil latar belakang atau sudut pandang dari Suku Kurdi, yang dalam hal ini sama sekali bukan negara. Yang keberadaannya tersebar sebagai nomaden di banyak negara. Kurdi adalah salah satu ironi paling menyedihkan dalam sejarah panjang peradaban modern.

Suku Kurdi dianggap sebagai kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki kewarganegaraan. Memiliki populasi 25-35 juta jiwa yang tersebar di bagian tenggara Turki, timur laut Suriah, utara Irak, barat laut Iran dan barat daya Armenia. Meskipun sebagian besar mereka menganut Islam-Sunni, tetapi ada pula yang menganut agama berbeda, termasuk Kristen, Yahudi, Yazidi dan Zoroastrian.

Heterogenitas ini sendiri yang memungkinkan keterbukaan dan banyaknya dukungan secara pribadi namun global, ketika mereka terdesak. Terutama seperti saat ini, ketika mereka justru digempur dari seluruh penjuru. Ya oleh Syria, Turki, Iran, Irak, dan terutama ISIS sebagai alat dari semua semua kepentingan itu.

Kenapa suku Kurdi sedemikian diasingkan? Dalam film ini terutama karena kekuatan para perempuannya! Apa yang mereka sebut sebagai berhasil menyelamatkan diri dari 74 kali proses genosida. Ada yang lebih banyak?

Film ini sendiri dibuka oleh kedamaian sebuah desa yang terusik dan hancur oleh aneksasi pasukan ISIS. Sebagaimana umumnya sebuah teror khas ISIS. Orang tua yang dianggap kritis, berbahaya, dan tak berguna adalah kelompok yang paling pertama dieksesekusi. Perempuan tua dan muda dijadikan budak-belian, sedangkan anak-anak laki dikumpulkan untuk dijadikan kader-kader muda pasukan bersenjata.

Perbudakan itu nyata dalam Kekhalifahan khas ISIS, bagaimana mereka diperjualbelikan. Bagaimana mereka dianggap bukan manusia. Semakin muda, cantik, dan menarik semakin mahal harganya. Kurdi khususnya Suku Yazidi, dikenal memiliki wanita-wanita berparas molek. Namun memiliki harga diri sangat tinggi, di mana untuk mempertahankannya rela merusak wajah mereka agar tidak dijadikan harem.

Film ini tidak secara khusus mengeksploitasi bagaimana ISIS memperlakukan para budak seks-nya. Tapi cukup memberi gambaran, bagaimana distribusi para wanita itu. Bagaimana mereka dijadikan hadiah dari para komandan untuk petinggi mereka. Sekedar cari muka kenaikan pangkat atau minta tambahan dana.

Bagaimana ngenesnya para prajurit rendahan yang sekedar "ngimpi dan konak nganggur" karena gajinya mereka tak mampu untuk membeli budak bahkan untuk kelas yang paling rendah sekali pun. Mereka ini, jatahnya adalah turahan atau bekas pakai dari atasannya. Tak heran bila kasus pemerkosaan sedemikian marak. Karena jika "legal" memang mahal dan tak terjangkau...

Film ini justru lebih bercerita bagaimana perempuan bisa menjadi satu unit tersendiri pasukan dengan ketrampilan khusus dan keberanian bertempur yang sangat ditakuti. Saya baru tahu bahwa ISIS sangat takut kepada prajurit wanita. Bukan sekedar karena ketangguhannya, tetapi terutama justru karena "keperempuanannya".

Karena apa? Karena jika mereka mati di tangan wanita, mereka meyakini akan membatalkan "kesyahidan" mereka. Resikonya? Batal disambut 72 bidadari di surga kelak. Bidadari ogah menjadi pelayan laki2 yang mati di tangan perempuan. OK, deal sesepele itu kalkulasi surga nerakanya....

Di luar itu, bagaimana banyak wanita dari segala penjuru dunia bersimpati dan mau bergabung dalam "unit khusus" itu. Lintas negara, lintas etnis, lintas agama. Dipersatukan hanya atas nama solidaritas antar perempuan.

Dalam film ini diceritakan seorang penembak runduk (sniper) negro yang merupakan prajurit desersi Amerika. Sepasang perempuan Perancis yang (diduga) lesbi dan jenuh dengan keseharian mereka. Dan banyak lagi asal usul yang beragam. Mereka dipimpin oleh seorang perempuan yang disebut Commander diperankan sangat baik oleh Amira Casar. Masing-masing prajurit perempuan ini akhirnya memiliki julukan sendiri, sebagian ditabalkan oleh rekannya, sebagain menjuluki dirinya sendiri. Perempuan sekali.... Karena mereka dibebaskan menyebut dirinya apa saja. Apa saja sesuai apa yang mereka angankan.

Tentu saja film ini disemangati oleh kebencian terhadap sebuah pasukan boneka bernama ISIS. Sebuah kelompok kegeeran yag barangkali simbol bajingan post-truth. Menjual keyakinan dengan dasar kebodohan. Namun kekuatan terutama film ini adalah bagaimana peran sebuah milisi yang sama sekali bukan negara berhasil mengalahkan mereka. Tanpa dukungan teknologi maju, tanpa dukungan barat, dan sama sekali tanpa janji imbalan apa pun. Melulu atas nama solidaritas, apa yang mereka sebut sebagai persaudaraan. Sister bukan brother.

Sebagian perjuangan memang didasar persaudaraan sedarah, diwakili scene cerita dari Zara. Yang diculik, diperkosa, tapi berhasil kabur. Lalu bergabung dengan milisi untuk kemudian gantian membebaskan sang adik yang akan dijadikan "Sang Pengantin". Tameng Sang Pemimpin, yang dijadikan petugas bom diri. Sebagian yang lain justru adalah mereka yang lari dari kenyataan. Kegagalan, kekecewaan, kegalauan untuk kemudian menemukan makna arti perjuangan. Makna kebersamaan...

Untuk bisa memahami film ini memang agak repot, karena kita dituntut jadi polyglot. Dialog mengalir dalam ragam bahasa: Inggris, Perancis, Arab, Yazidi, dan embuh apa meneh.... Walau ending cerita sangat berselera Hollywood: ISIS kalah, dan para perempuan itu menang.

Namun ciri film Perancis-nya tetap hadir, diwakili dialog komandan pria dan commander wanitanya: bahwa sekalipun mereka yang mengalahkan ISIS, tetap sajalah merekalah yang pertama ditinggalkan. Mereka memenangkan, tapi tak pernah dipedulikan. Negara Kurdistan tetaplah dalam impian....

Setelah menonton film ini: lebih dari Palestina, saya jauh lebih peduli dan bersimpati kepada perjuangan Kurdi.

Save Palestina, pret.....

***