Anies dan Bir

Jumat, 22 Maret 2019 | 22:45 WIB
0
705
Anies dan Bir
Ilustrasi Anies dan bir (Foto: Kanigoro.com)

Penikmat bir tentu bukan kriminal. Banyak di antara mereka adalah seorang aktor, musisi, negarawan, presiden, penulis, pembuat film, dramawan, komedian, filsuf, tokoh sejarah, seorang raja dan seorang tanpa nama.Tokoh-tokoh terkenal yang selalu dipuja seperti Shakespeare, Plato, Winston Churchill, Martin Luther, Sid Vicious, hingga Jack Nicholson punya hubungan yang istimewa dengan bir.

Sebagaimana pernah ditulis Chelsea Follett bahwa alkohol sangat berjasa membantu membentuk peradaban umat manusia. Bahkan keberadaanya lebih dulu ada dibandingkan kopi, minuman yang kini juga menjadi primadona banyak orang.

Anggur palem, misalnya, yang masih populer di beberapa bagian Afrika dan Asia saat ini, diperkirakan berasal dari tahun 16.000 SM. Sementara itu, minuman beralkohol Chili yang dibuat dari kentang liar bahkan sudah ada sejak abad ke-13 SM. Bangsa Tiongkok pun juga telah minum anggur beras sejak setidaknya tahun 7.000 SM.

Sejarah tersebut menunjukkan bahwa peradaban manusia begitu familiar dengan minuman beralkohol.

Dalam naskah Nagarakretagama (1365) misalnya, dikisahkan minuman beralkohol seperti tuak nyiur dan arak kilang menjadi hidangan utama sebuah jamuan agung di keraton Kerajaan Majapahit.

Minuman berupa arak juga digunakan sebagai tanda pembukaan perayaan pesta panen raya oleh raja pada masa itu.

Masyarakat Bali juga menggunakan minuman beralkohol dalam ritual Bhuya Yadnya untuk mengusir roh jahat. Ada pula tradisi ritual yang kerap dilakukan oleh masyarakat Desa Doko, Kediri yang juga menggunakan minuman beralkohol sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur.

Serupa dengan masyarakat di pulau Jawa dan Bali, penduduk di Indonesia timur juga menggunakan minuman beralkohol dalam ritual adatnya. Masyarakat Lombok kerap menghidangkan Arak saat menyambut tamu, demikian halnya masyarakat Papua yang juga menghidangkan Sopi sebagai simbol persaudaraan.

Meskipun memiliki rekam jejak budaya yang cukup luas, kehadiran minuman beralkohol kerap kali menjadi bulan-bulanan masyarakat karena stigmanya yang negatif, terutama ketika dikonsumsi secara berlebihan akan menyebabkan kemabukan yang diyakini berpotensi melahirkan masalah-masalah sosial.

Kondisi itu kemudian sering kali dimanfaatkan oleh para politisi untuk mendulang simpati masyarakat.

Isu bir dan berbagai macam minuman beralkohol, kerap kali memunculkan stigma moral yang cukup lekat dengan nilai-nilai agama.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, setelah menggulirkan bola panas isu pelepasan saham bir PT Delta Djakarta yang merupakan pemegang lisensi produksi dan distribusi beberapa merek bir lokal seperti Anker, maupun merek internasional seperti San Miguel dan Carlsberg.

Sengkarut isu tersebut pun bertambah runyam karena mendapatkan benturan di sana-sini. Selain menimbulkan konflik baru antara Anies dengan DPRD DKI Jakarta yang mengaku kecewa dengan rencana mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, kasus ini juga menyeret ormas Front Pembela Islam (FPI) yang mendesak DPRD menyetujui rencana tersebut.

Bir ibarat alam semesta dalam kacamata Filusuf Thales atau salah satu bapak filusuf modern karena sejatinya 95 persen dari bir adalah air.  Bahkan bisa lebih dari itu jika bir yang kita maksud adalah bir niralkohol.  

Oleh karena itu, bir adalah sesuatu yang sangat familiar dengan alam semesta. Bahkan menurut Thales, air adalah prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche) segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di alam semesta.

Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, lanjut Thales sebagaimana diceritakan Aristoteles, tanpa ada sebab-sebab di luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak terbinasakan.

Dan yang tak kalah menarik, menurut Thales, air juga berperan sebagai sumber kehidupan.

Argumentasi Thales atas pandangan tersebut adalah bagaimana bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Dan bir tentu saja tak terlepas dari prinsip itu,  bahkan kandungan air bersih-higenis bir sangatlah besar, 95 persen lebih.  

Artinya, industri bir adalah industri yang sangat berkepentingan dengan keberadaan air bersih dan akan menjadi industri yang dengan segala cara akan memelihara keberlangsungan "sumber kehidupan" tersebut. Karena air bersih adalah sumber daya bersama yang ternyata kian langka.

Nyatanya, perusahaan-perusahaan bir punya konsentrasi tinggi pada pemeliharaan keberadaan air bersih.

PT. Multi Bintang misalnya, yang memperkenalkan pendekatan  penanganan isu seputar air yang mereka sebut dengan istilah  Water Stewardship Progam (Program Penjagaan Air).

Pendekatan tersebut menggunakan dua aksi, yakni efisiensi Air (water efficiency) yang ditujukan untuk mengurangi jumlah air yang digunakan untuk produksi dan dalam rantai supply chain.

Dan kedua adalah Perlindungan & Penyeimbangan Sumber Air (Water Source Protection & Balancing).

Keduanya adalah upaya PT. Multi Bintang kami untuk memastikan air digunakan dalam kegiatan operasional setelah menjadi produk akhir dan berevaporasi ketika proses produksi dikembalikan ke ekosistem dengan kualitas yang baik.

Pendeknya, keinginan Anies Baswedan untuk melepas kepemilikan saham Pemda DKI pada salah satu perushaaan produsen bir sebaiknya dimaknai dalam perspektif bisnis semata, layaknya aksi korporasi yang dilakukan oleh perusahaan publik.

Rasanya tidak perlu memperluas ruang perdebatan ke dalam ranah lain,  yang pada ujungnya mempersempit ruang gerak pelaku usaha bir yang notabene 95 persen bahannya adalah air higenis, apalagi sampai mengganggu eksistensi produk bir niralkohol, yang sebenarnya di Arab Saudi pun sudah ada yang bersertifikat halal, yakni Holstein, besutan Jerman.

Masalah minuman berkadar alkohol rendah hingga tiga persen dibolehkan untuk meminumnya memang bukan sesuatu yang rahasia lagi. Para ulama di Saudi Arabia adalah di antara para ulama yang punya pandangan demikian.

Memang rasanya aneh dan asing buat khalayak kita di Indonesia. Sebab pada umumnya kebanyakan kita di sini memandang banyak alkohol itu unsur yang memabukkan, mau banyak atau mau sedikit, tetap saja dipandang haram.

Namun cara pandang seperti yang selama ini kita pahami ternyata tidak bersifat universal. Mungkin saja ada para ulama di negeri Arab tersebut dianggap aneh, tapi nyatanya terjadi, antara lain  fatwa Al-Ustaimin dan juga Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Fatwa tersebut kemudian menjadi dasar lahirnya sertifikat halal bagi merek Holstein.

Jadi dengan fakta-fakta di atas, pernyataan Anies soal air dan alkohol terkesan sangat “misleading’ seolah bir dan semua pembentuknya adalah seratus persen alkohol. Padahal sudah sangat jelas bahwa 95 persen lebih unsur pembentuk bir adalah air, apalagi bir nirlalkohol.

Bir tentu sangat berbeda dengan minuman beralkohol kelas 'berat' yang memang diperuntukan untuk membuat mabuk para peminumnya.

Dan yang juga tak kalah penting, Jakarta adalah kawasan internasional yang dihuni oleh berbagai macam pemeluk agama dan budaya, yang sebagian besar di antara mereka menganggap bir tak berbeda dengan air putih, karena nyaris menjadi minuman sehari-hari mereka.

***