Tempo 50 Tahun [4] Tak Menguras Energi di Selasa Pagi

Tak mau malu dua kali, saya bertekad tak melakukan aktivitas yang menguras banyak energi itu di Selasa pagi. Alhamdulillah istri setuju.

Senin, 15 Maret 2021 | 08:01 WIB
0
285
Tempo 50 Tahun [4] Tak Menguras Energi di Selasa Pagi
Amarzan Loebis (Foto: Wisnu Agung Prasetyo/Tempo)

Selama mengikuti program M-1 (Agustus 2003 - Agustus 2004) di Majalah Tempo, ada satu hari yang spesial: Selasa. Hari itu bisa menjadi ajang perbaikan gizi dengan gratis, sekaligus menimba ilmu dari mahaguru: Amarzan Loebis. Nama lengkapnya Amarzan Ismail Hamid Loebis alias Lian Tanjung. Beliau menjadi wartawan Tempo sepulang dari Pulau Buru pada 1979.

Salah satu tugasnya adalah menguliti tulisan-tulisan para calon redaktur di Tempo. Tajam, terkadang sarkastis. Tapi setiap kali menelanjangai sebuah tulisan, dia sekaligus melengkapinya dengan penjelasan. Apa dan bagaimana seharusnya tulisan digarap.

Seperti yang lain saya pernah juga pernah kena damprat. Salah satu yang teringat adalah ketika menulis soal bebasnya Bob Hasan dari Lapas Nusakambangan.

“Anda tahu gak siapa itu Bob Hasan? Tidak riset dulu sebelum ke lapangan? Gak tanya-tanya ke orang yang mungkin kenal dia?,” cecar Amarzan. Nada bicaranya sih biasa. Tapi ekspresinya yang sinis itu lo…

Saya membela diri. Tugas menulis soal Bob diberikan mendadak oleh Arif Zulkifli (M-3, magang Redaktur Pelaksana) selepas Jumatan, 20 Februari 2004. Tentu atas persetujuan Wahyu Muryadi sebagai Redaktur Pelaksana. Di hari tenggat itu sebetulnya saya juga punya tugas lain yang sudah disetujui di rapat proyeksi. Tapi kemudian didrop, digantikan soal Bob Hasan.

Tak ingin terlambat tiba di kediaman Bob, saya langsung meluncur ke Jalan Sanjaya I/94, Jakarta Selatan. Saya merasa di kepala ini tak kosong-kosong amat tentang siapa Bob Hasan. Dijuluki Raja Hutan, mengurusi atletik, memprakarsai Bali-10K, anak angkat Jenderal Gatot Subroto, pernah jadi Menteri Perindustrian di kabinet terakhir Soeharto.

“Itu sih ensiklopedis. Mestinya Anda juga ngobrol dong dengan orang-orang yang tahu soal Bob. Jangan cuma bergerombol,” sergah Amarzan. Mak jleb!

Entah bagaimana ekspresi saya kala itu. Cuma, ruangan kok mendadak terasa pengap. Saya melirik beberapa teman yang pura-pura seolah khusuk membaca. Mereka sepertinya tak tega melihat ekspresi saya.

Bob Hasan tiba di Jakarta menjelang magrib. Lamanya perjalanan karena dia singgah untuk nyekar ke makam Jenderal Gatot Subroto di Ungaran. Lalu makan sate di warung langganannya di Semarang. Semuanya lewat jalur darat.

Dengan kondisi yang tak lagi muda saya membayangkan perjalanan itu akan menyiksanya. Padahal sebagai konglomerat dia bisa menempuh perjalanan dengan lebih singkat. “Kenapa tidak naik helikoter?” saya nyeletuk. “Helikopter nenek lu?” jawab Bob ketus.

Tapi jawaban singkat itulah, menurut Amarzan, yang seharusnya menjadi pembuka tulisan saya. Dengan kalimat itu akan langsung tergambar karakter Bob Hasan. Lugas, ceplas-ceplos, santai tapi menyengat.

Amarzan rupanya pernah dekat dengan Bob. Dia adalah pemimpin redaksi bayangan Majalah Gatra yang dibikin Bob pasca Tempo dibreidel, 1994. Amarzan kerap menyambangi Bob di Nusakambangan. Selama dia memimpin Gatra, Bob tak pernah cawe-cawe urusan redaksi. Pokoknya terserah, bebas mau menulis apa saja. Asal jangan mengusik Istana!

Seorang teman di Gatra menyebut Amarzan adalah sosok di balik slogan majalah yang berkantor di Kalibata itu: "Baca Gatra baru Bicara". Selain di Gatra, Amarzan juga pernah aktif di Matra, majalah hiburan pria yang masih dimiliki Grafiti Press (grup yang juga menaungi Tempo).

Di kali lain, saya kembali kena semprot Amarzan. Satu dari tiga tulisan saya di Tempo disebutnya amburadul. Saking jelek, dia tak jadi membahasnya. Saya menyampaikan permakluman. Di edisi itu saya menulis tiga artikel. Padahal Sabtunya saya harus melamar calon istri. Amarzan terperanjat.

Atasan yang baik, kata dia, semestinya sedikit-banyak tahu kondisi anak buahnya. “Orang mau lamaran kok malah dikasih beban tiga tulisan,” dia menggerutu.

Keesokan harinya, atasan menghampiri saya. “Ah, lu kok gak ngomong-ngomong sih kalau mau lamaran. Sori ya,” ujarnya menepuk bahu.

Beberapa pekan setelah menikah, kondisinya lain lagi. Baru beberapa menit di ruang evaluasi, bola mata saya terasa berat sekali. Dua kali saya izin ke toilet untuk cuci muka. Toh rasa kantuk itu terus mengintai, dan pernah berhasil menyergap. Entah berapa lama saya merasakan sunyi. Begitu terjaga, tinggal beberapa orang saja di ruangan, termasuk Pak Amarzan.

“Wah, terkuras betul energi penganti baru kita ini,” dia berseloroh sambil menepuk pundak saya. Ketika saya meminta maaf, dia menyergah. “Ah, wajar saja. Saya juga pernah muda. Nikmati saja,” ujarnya penuh empati, lalu pergi sambil tertawa kecil.

Tak mau malu dua kali, saya bertekad tak melakukan aktivitas yang menguras banyak energi itu di Selasa pagi. Alhamdulillah istri setuju.

***

Tulisan sebelumnya: 50 Tahun Tempo [3] Pipis Bersama Panglima TNI Demi Mars ABRI