Utang Luar Negeri [1] Bukan Beban Tiap Warga Negaranya

Stigma dari persepsi sebagian anggota masyarakat adalah, semakin besar utang luar negeri yang ditarik oleh satu pemerintahan, semakin buruk citra pemerintahan itu.

Senin, 5 Agustus 2019 | 06:28 WIB
0
574
Utang Luar Negeri [1] Bukan Beban Tiap Warga Negaranya
Joko Widodo dan Sri Mulyani (Foto: Katadata)

Sebagian masyarakat Indonesia cenderung menilai utang luar negeri dari satu sisi, sebagai beban anggaran. Bahkan lebih jauh lagi, utang luar negeri menjadi bagian buruk dari wajah politik satu pemerintahan. Padahal, dalam kosmologi ekonomi makro, utang luar negeri adalah salah satu sumber penerimaan alternatif bagi negara.

Jika pemerintah mampu mengelolanya, maka utang luar negeri menjadi simbol kepercayaan dunia terhadap satu negara, lambang kredibilitas satu pemerintahan. Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Singapura, dan negara-negara maju lainnya, memiliki eksposur utang luar negeri di atas 100% dari PDB-nya.

Utang luar negeri selalu menjadi topik menarik untuk diperbincangkan, terutama dalam menilai kinerja satu pemerintahan. Topik ini juga sering menjadi komoditas favorit dalam berbagai peristiwa besar politik seperti pemilihan umum, pemilihan presiden, bahkan saat pemilihan kepala daerah.

Di media sosial yang bersifat interaktif, utang luar negeri menjadi bahan perdebatan di antara para pendukung kelompok atau tokoh politik yang berbeda.

Namun, sering kali perdebatan itu tidak didasari oleh pemahaman mendalam atas utang luar negeri itu sendiri sebagai topik utama. Sebagian dari masyarakat kita memahami utang luar negeri seperti halnya utang pribadi, seseorang atau badan hukum – perusahaan, di mana semakin besar nilai utangnya semakin tidak kredibel orang atau perusahaan tersebut dalam pandangannya. Bagian yang menjadi fokus dari utang luar negeri dalam perdebatan-perdebatan semacam itu adalah jumlah utangnya.

Diskursus menjadi tidak edukatif ketika disparitas akurasi pengetahuan dan pemahaman tentang utang luar negeri yang sangat lebar. Indikasinya, tidak jarang satu penjelasan mengenai utang luar negeri diasumsikan sebagai utang pribadi setiap warga negara, total utang luar negeri dibagi jumlah penduduk Indonesia.

Padahal, tidak pernah terjadi dalam sejarah dunia, satu negara membebankan utang luar negara kepada tiap orang warga negaranya. Tapi, stigma dari persepsi sebagian anggota masyarakat adalah, semakin besar utang luar negeri yang ditarik oleh satu pemerintahan, semakin buruk citra pemerintahan itu.

Benarkah demikian?

Utang luar negeri, terbagi dalam dua sektor, yaitu utang luar negeri sektor publik (pemerintah) dan utang luar negeri sektor swasta.

Utang luar negeri sektor publik yaitu total pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah. Sumber utang luar negeri adalah pinjaman bilateral, pinjaman multilateral, pinjaman dari lembaga keuangan dunia yang anggotanya adalah negara, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Bank Pembangunan Islam, Dana Moneter Internatsional (IMF) dan lain-lain. Selain itu, dan yang sekarang menjadi porsi terbesar, dari penerbitan surat utang negara (SUN). Utang luar negeri juga bisa bersumber dari penerbitan obligasi pemerintah yang dilepas di pasar internasional.

Sementara utang luar negeri swasta dilakukan oleh perusahaan swasta yang beroperasi di Indonesia, kecuali perusahaan penanaman modal asing (PMA), atas sepengetahuan dan izin dari otoritas kebijakan fiskal (Kementerian Keuangan) dan otoritas kebijakan moneter (Bank Indonesia). Per Januari 2017, Bank Indonesia mempublikasikan bahwa total utang luar negeri Indonesia mencapai US$320,3 miliar, di mana US$161,2 miliar adalah utang luar negeri sektor publik.
Utang LN Sektor Publik

Selama tiga setengah tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo utang luar negeri sektor publik meningkat dari US$132 miliar menjadi US$161 miliar. Ada penambahan utang baru pada periode 2015 - 2018 sebesar US$29 miliar.

Belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, meskipun nominal utang luar negeri pemerintah meningkat, pemerintah Indonesia saat ini memiliki kemampuan yang lebih baik dalam membayar utang-utang luar negeri dibanding pemerintahan sebelumnya. Meningkatnya kemampuan itu tercermin dari rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif lebih rendah.

Menteri Sri Mulyani menerangkan, 10 tahun lalu utang luar negeri Indonesia US$132 miliar, akan tetapi PDB yang dibukukan hanya US$364 miliar, sehingga rasio utang terhadap PDB adalah 36%. Tahun ini, utang luar negeri naik menjadi US$357 miliar, tetapi PDB naik beberapa kali lipat, menjadi sebesar US$1,2 triliun, sehingga rasio utang terhadap PDB turun menjadi 29%.

“Dengan pemahaman ini, utang luar negeri Indonesia sebetulnya menjadi lebih kecil dari sebelumnya, meskipun nominalnya lebih besar,” kata Sri Mulyani.

Mengenai hal itu, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance, Mas Achmad Daniri berpendapat, untuk menarik korelasi antara utang luar negeri dengan tingkat kinerja satu pemerintahan, ada tiga parameter yang harus dilihat, yaitu pertama, ke sektor mana saja utang luar negeri itu dialokasikan. Tentu hanya akan menjadi beban anggaran (APBN) jika dana pinjaman luar negeri itu disalurkan untuk pos-pos konsumtif, seperti subsidi, bantuan langsung tunai, dan lain-lain.

Tapi jika dana pinjaman luar negeri itu dialokasikan untuk sektor-sektor produktif, seperti pembangunan infrastruktur, pembangunan instalasi pengolahan mineral, pembangunan kilang minyak, akan menghasilkan nilai tambah dan share value bagi negara. Nilai tambah dan share value itu akan diperoleh dari peningkatan pajak dan ekspor.

“Karena pada gilirannya akan meningkatkan aktifitas ekonomi publik. Misalnya pembangunan infrastruktur akan membuka atau memperbesar akses bagi masyarakat untuk mengkapitalisasi potensi-potensi ekonomi yang ada. Kan nantinya, uang yang dihasilkan akan lebih besar dari nilai pinjaman luar negeri itu sendiri,” kata Daniri.

Kedua, harus dilihat bagaimana pengelolaan proyek-proyek yang didanai oleh pinjaman luar negeri. Makin baik pengelolaannya makin efisien dan efektif dana pinjaman itu digunakan. Di sini, pengawasan terhadap pelaksanaan proyek-proyek itu harus benar-benar ketat, serta penegakkan hukum bila terjadi penyimpangan.

“Karenanya kami di Komite Nasional Kebijakan Governance terus mendorong pemerintah agar lebih baik dalam pengelolaan keuangan negara, lebih transparan, agar nilai tambah yang dihasilkan dari proyek-proyek itu menjadi optimal. Dan secara hukum bisa dipertanggung-jawabkan,” ujarnya.

Ketiga, bagaimana upaya pemerintah untuk meningkatkan kemampuan membayar utang-utang luar negeri. Kemampuan membayar ini berkaitan dengan dua poin pertama. Makin tinggi kemampuan satu pemerintahan dalam membayar utang luar negeri, makin kredibel pemerintahan itu di mata internasional, termasuk di mata lembaga-lembaga keuangan internasional dan para investor.

“Untuk bisa menghasilkan nilai tambah dan share value yang lebih tinggi dari proyek-proyek yang didanai utang luar negeri, ketiga parameter itu harus berada di atas framework good governance,” kata Daniri.

(Bersambung)

***