Adik Kandung Juga Bisa Menjadi Teman Bisnis

Setali tiga uang denganku sebagai kakaknya; jangan sampai takut terlihat tidak fokus cuma untuk memanjakan kemalasan.

Minggu, 24 Mei 2020 | 04:41 WIB
0
485
Adik Kandung Juga Bisa Menjadi Teman Bisnis
Ali, nama sang adik, yang kini menjadi teman bisnis.

Si muka algojo ini adik kandungku. Di keluarga kami panggil dengan sapaan Ali. Teman-temannya memanggil dengan Fazli, karena nama aslinya adalah Zulfazli AB. Sudah menjadi bapak dua anak. Sekarang bukan cuma sebagai adik, tapi juga menjadi partner bisnis, tepatnya bisnis pakaian.

Dengan modal tidak sampai 100 juta, saya bersamanya nekat buka toko pakaian, walaupun bisa dibilang kecil-kecilan. 

Semua berawal dari sering teleponan di sela-sela kesibukan masing-masing. Apa yang paling banyak kami diskusikan memang terkait bagaimana bisa melakukan sesuatu dan menciptakan sesuatu. 

Terlebih dalam berkomunikasi, aku pun lebih memilih memosisikan diri secara egaliter, ogah sok tua, dan senang menggali bagaimana seorang adik berpikir, melihat perkembangan zaman, dan apa saja yang bisa dilakukan. Jika ide-idenya bagus, aku takkan sungkan mengakui bahwa itu bagus.

Terlebih sejak sama-sama dewasa dan masing-masing melakoni berbagai dinamika hidup, kuyakini pastilah ada banyak pengalamannya yang luput terpantau olehku. Apalagi, aku sendiri sejak ia masih usia SMA sering berjauhan dengannya dan dengan keluarga. Jadi, hanya lewat diskusi-diskusi kecil kami memetakan rencana, membaca pasar, sampai dengan eksekusi.

Di sisi lain, dari diskusi-diskusi itu juga aku menggali bagaimana prinsip dan pengetahuannya seputar bisnis. Selain karena ia pun sudah menekuni bisnis pakaian sejak usia SMP, belakangan kusimak wawasannya seputar bisnis semakin baik. Didukung lagi karena ia pun pernah menimba ilmu di salah satu sekolah bisnis di Meulaboh.

Maka itu, setelah berkali-kali berdiskusi dan menggali pikirannya, barulah aku pun tidak ragu-ragu untuk merogoh kocek sendiri. Tidak meminjam kiri kanan, tapi sepenuhnya dari hasil keringat sendiri.

Itu juga dikumpulkan dulu dua-tiga bulan. Saat ada duit 20 juta atau bahkan 10 juta, sisa belanja dan setelah disisakan dulu untuk simpanan rumah tangga, digelontorkan untuk belanja isi toko.

Setelahnya, ia sendiri pun tak segan-segan menggelontorkan duitnya untuk menambah modal toko kecil ini, tentu saja tetap dengan pembukuan dan tercatat.

Kenapa tidak mencari pinjaman? Kan lebih leluasa berbisnis dengan modal yang jauh lebih besar?

Yap! Dalam prinsipku, berbisnis itu tetap lebih baik dengan segala yang ada lebih dulu. Cukuplah zaman lajang saja terpaksa berutang, "Setelah punya anak dan istri jangan ada cerita utang-utangan," itulah cita-cita sejak dulu. Syukurnya pelan-pelan terkabul.

Setelah dua bulanan lebih belanja nyicil-nyicil, kukirim dari Jakarta, hasil dari berbelanja di Bandung dan Tanah Abang, barulah toko ini bisa terbuka.

Ngos-ngosan, karena untuk modal, kami urunan. Sebab, ada kebutuhan belanja keluarga yang harus tetap dipenuhi, berikut tabungan untuk dana darurat harus tetap ada. Syukurnya tidak sampai menjadi halangan berarti.

Duit yang biasa kuputar untuk bermain saham lewat reksadana, dari sinilah bisa terkumpul tambahan untuk toko kecil ini.

Dalam usaha semacam ini bukan cuma merealisasikan sebuah mimpi, punya usaha sendiri. Namun juga untuk menegaskan prinsip agar bisa produktif alih-alih terjebak kebiasaan konsumtif.

Apalagi aku dengan delapan bersaudara bukanlah anak-anak yang hidup dari warisan orang tua. Semua dilatih sejak kanak-kanak untuk mencari sendiri; ingin hidup bagaimana? mau menjadi apa? Dan, ingin mengisi hidup dengan apa?

Sejak usia SD sudah belajar mencari uang sendiri, termasuk jualan es, berjualan kue dan jagung keliling kampung jalan kaki, menarik becak barang, bahkan membantu orang berjualan di pasar ikan di Jeuram, sampai kuli bangunan sambil kuliah.
Saat kuliah saja terkadang masih ada bekas adukan semen tersisa di tangan dan kaki ha ha ha. Walaupun sebenarnya sudah disiasati mengusap minyak kelapa, tetap saja membekas.

Adikku ini juga tidak jauh berbeda, pernah melakoni hampir semua pekerjaan kulakoni sebagai kakaknya. 

Ya, meskipun bapak ibuku bukan orang berpendidikan tinggi, syukurnya mereka gigih mengajari bagaimana hidup dengan tangan sendiri dengan cara mereka.

Mereka kerap memberi pesan untuk jangan pernah gengsi melakoni pekerjaan apa saja sepanjang itu halal.

Menurut mereka, hal memalukan sebagai manusia justru terlalu pilih-pilih saat bekerja hingga tidak bekerja. Inilah pesan yang kerap dijejalkan kepada kami sejak kanak-kanak.

Dalam bisnis ini sendiri, selain modal, di sini aku juga berperan juga sebagai tukang belanja, merambah sesaknya Pasar Tanah Abang dan berburu pusat grosir yang ada di Bandung dan Jakarta. Juga mengurus pengiriman barang.

Mohon doanya buat siapa saja yang melihat saya sebagai saudara atau sahabat, agar usaha ini bisa berumur panjang, dan bisa semakin besar.

Apalagi usaha ini tidak cuma diniatkan untuk bisa mendapatkan untung besar, melainkan juga untuk bisa membawa manfaat besar. Setidaknya untuk sebuah keluarga besar, delapan bersaudara, dengan 17 anak beranak.

Cita-citaku sendiri sederhana saja, kelak mereka sama-sama punya mental lebih baik dalam melihat entrepreneurship. Sebab, sebagai pengikut Nabi Muhammad, jauh-jauh hari sudah diingatkan, "Sembilan dari 10 pintu rezeki itu adalah berdagang."

Jadi, di sela-sela bekerja sebagai redaktur salah satu media, dan juga bergiat di salah satu perusahaan media consultant, inilah yang kulakoni bersama adikku sendiri.

Menurutku, melakukan beberapa pekerjaan bukan berarti tidak fokus. Sebab, masing-masing bisa mendapatkan fokus sendiri-sendiri. Toh, waktu masih bisa dibagi, dan tidak ada yang terbengkalai. Semua bisa dikerjakan dengan fokus masing-masing.

Seperti itu juga dengan adikku ini, ia masih kerap menjadi kepala tukang, menjadi aparat desa, dan berdagang. Setali tiga uang denganku sebagai kakaknya; jangan sampai takut terlihat tidak fokus cuma untuk memanjakan kemalasan.

***