Waspada "PKI" Gaya Baru di Era Digital

Sabtu, 29 September 2018 | 08:48 WIB
0
761
Waspada "PKI" Gaya Baru di Era Digital

Indonesia telah banyak kehilangan pejuang dalam peristiwa G30S PKI. Ideologi komunis pada akhirnya memang terlarang di Indonesia setelah PKI dianggap menjadi dalang dari peristiwa tersebut.

Organisasi boleh mati tetapi ideologi tidak bisa mati termasuk ideologi PKI dalam memecah belah bangsa ini. Namun, kita harus tetap waspada karena "PKI" gaya baru ini justru lebih canggih lagi di era digital.

Pelakunya malah berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari dosen, guru, sampai dengan ASN. Malahan ada juga yang jadi caleg di Pemilu 2019.

Sebetulnya mudah sekali jika kita ingin melihat bagaimana "PKI" gaya baru melancarkan aksinya demi memuluskan tujuannya. Aksi-aksinya mirip seperti PKI yang ingin merongrong NKRI.

Merasa paling benar

Orang-orang yang sudah disusupi dengan virus "PKI" gaya baru ini kerap kali berpandangan bahwa golongan mereka adalah golongan yang paling benar. Bahkan berani melawan orang tua karena pilihannya berbeda.

Dalam negara yang demokratis, pilihan berbeda itu biasa. Tapi kalau punya pilihan berbeda dan memaksakan kehendaknya agar orang lain sejalan dengan pemikirannya, apa lagi kalau bukan dinamakan "PKI" gaya baru?

Kaum intoleran seperti ini jelas sangat berbahaya jika dibiarkan. Mereka akan dengan semakin mudah memicu pertikaian. Negara ini adalah negara yang majemuk bukan negara yang seragam.

"PKI" gaya baru seperti ini menyusup dalam ormas-ormas yang menyuarakan anti demokrasi dan anti Pancasila termasuk di sosial media. Lalu apa maunya mereka? Mengganti Pancasila dengan sistem yang menurut mereka paling benar?

Tunggu dulu... kalau ada ormas yang nyata-nyata mengaku sebagai ormas label dakwah tapi malah menyebut Pancasila dan UUD '45 adalah berhala baru, lantas apa bedanya dengan PKI yang mengkhianati Pancasila dan NKRI?

Menyebarkan kebencian demi meraih kekuasaan

Kita pasti sudah lelah dengan pertikaian pemilihan calon pemimpin daerah, pemimpin gubernur sampai dengan pucuk pimpinan tertinggi NKRI. "PKI" gaya baru selalu berusaha memecah belah bangsa dengan isu-isu murahan. Bahkan menggoreng isu SARA demi meraih kekuasaan.

Pilkada DKI menjadi bukti bahwa isu SARA sangat berbahaya. Terjadi pengkotak-kotakan sampai-sampai sesama tetangga sesama kampung bertikai hanya beda pilihan. Dan hal tersebut dibawa-bawa dalam muamalah.

Tidak bisa dibayangkan apa jadinya gara-gara beda pilihan tidak mau menyalatkan orang yang sudah meninggal dunia. Kasus tersebut tentu membuat kita semua prihatin. Jangan sampai ada kasus serupa dalam pemilihan Presiden 2019.

Jika ternyata masih ada yang mengembuskan kebencian demi meraih kekuasaan. Nyata-nyata mereka sedang melancarkan strategi "PKI" gaya baru. Menghalalkan ujaran kebencian di tengah-tengah warga hanya demi memenangkan suara.

Ngeri! Ujung-ujungnya pertikaian saudara. Inilah yang memang mereka inginkan. PKI tak pernah mau bangsa ini bersatu. Saat itulah mereka bisa mengambil alih kekuasaan di saat kita tercerai berai.

Waspada "PKI" gaya baru!

"PKI" gaya baru seperti ini sebaiknya jangan sediktipun diberikan ruang. Meskipun awalnya rasanya menarik tetapi memabukkan. Sampai-sampai mereka yang sudah terjerumus sulit untuk disadarkan kembali.

Salah satu ormas yang terindikasi "PKI" gaya baru ini tak lain adalah HTI. Merasa paling benar sendiri, membenturkan masyarakat dan mengancam keutuhan NKRI. HTI punya cita-cita mengganti Pancasila dengan Khilafah. Ideologi yang dianggapnya menjadi solusi bangsa. Faktanya justru di beberapa negara HTI menjadi organisasi terlarang dan dianggap berafiliasi dengan para pemberontak. Bagaimana bisa menjadi solusi jika HTI sendiri adalah masalah.

Seperti halnya PKI, HTI akhirnya dibubarkan oleh Pemerintah karena mengancam demokrasi dan bertentangan dengan Pancasila serta UUD 1945. Nyata-nyata HTI menganggap Pancasila dan UUD 1945 adalah berhala baru yang harus dihancurkan.

Masyarakat harus waspada dengan upaya-upaya mengadu domba seperti yang dilakukan PKI. Jangan sampai negara ini hancur karena ulah mereka yang kerap kali menggoreng isu SARA demi memuluskan tujuan politis semata. Pesta demokrasi adalah saatnya unjuk gigi para jagoannya sendiri dengan cara elegan, bukan malah saling menyebarkan kebencian.

***