Martabat di Pusaran Politik Predator

Sabtu, 29 September 2018 | 05:55 WIB
0
426
Martabat di Pusaran Politik Predator

Masa-masa Pemilihan Umum, termasuk Pemilihan Presiden, Legislatif atau Kepala Daerah, adalah masa-masa yang menarik. Di masyarakat demokratis modern, seperti Indonesia, ini adalah masa-masa yang amat menentukan bentuk dan masa depan bangsa.

Tak berlebihan, jika masa-masa ini juga dikenal sebagai pesta demokrasi, dimana rakyat menggunakan kekuasaannya untuk memilih para pemimpin bangsa. Namun, sisi gelapnya juga terus merongrong, yakni kehadiran politik predator yang rakus kuasa dan siap memangsa.

Masa-masa ini juga adalah masa penuh tawa. Kita tertawa melihat kelakuan para calon pemimpin bangsa, ketika berkampanye. Kepalsuan dan kebohongan begitu kuat tercium di udara. Dalam banyak hal, perilaku mereka menghibur, namun dengan cara-cara yang bisa membuat sakit perut.

Inilah bentuk perilaku politikus predator. Mereka adalah politikus yang memegang kekuasaan bukan untuk menyejahterahkan rakyat, melainkan untuk memperkaya diri. Perilaku mereka membuat mual, karena kerap kali mencerminkan sikap tak tahu diri. Bagaimana mungkin mantan koruptor, penculik dan pelaku pembunuhan bisa mencalonkan diri menjadi pemimpin bangsa?

Politik Predator

Politik predator adalah politik pemangsa. Para politikus predator masuk ke dunia politik dengan niat jahat. Mereka ingin bertindak seenaknya, demi memperkaya diri dan kelompoknya. Korbannya adalah kepentingan rakyat luas yang terus terjebak pada kemiskinan dan kebodohan.

Perilaku mereka tak tahu malu. Tak segan-segan, mereka menggunakan agama sebagai kendaraan politik mereka. Padahal, kita semua sudah tahu, bahwa ketika politik dan agama dicampur, keduanya akan hancur. Mereka berteriak untuk menciptakan kemakmuran dan keadilan sosial, namun nuansa kepalsuan dan kebohongan amat terasa di kata dan perilaku yang ada.

Mereka juga rakus harta dan kuasa. Kata-kata dibalik, ketika uang berbicara. Bahkan, para pemuka agama, yang seharusnya menjadi cermin tinggi moralitas dan keluhuran hidup, pun terdiam dan berbaris patuh, ketika uang berbicara. Inilah keadaan politik Indonesia di 2018 ini.

Melihat itu semua, rakyat akan terus diperbodoh. Politik itu seharusnya mencerdaskan. Politikus harusnya menjadi teladan kepemimpinan. Itu semua tinggal mimpi, ketika para politikus predator dibiarkan memasuki gerbang kepemimpinan bangsa.

Dimana Martabat?

Sambil menyaksikan perilaku mereka yang tak tahu malu, saya ingin bertanya kepada para politikus predator itu, apakah mereka tak punya martabat? Rakyat sudah tahu, bahwa janji mereka adalah janji palsu. Rakyat juga sudah sadar, bahwa perilaku mereka penuh kemunafikan dan kebohongan. Mungkin, hanya warga Jakarta yang bisa tertipu, seperti pada Pilkada 2017 lalu.

Padahal, martabat adalah sesuatu yang sudah selalu di dalam diri manusia. Semua orang memilikinya. Ia adalah kemampuan manusia untuk menghargai dan dihargai sebagai mahluk yang luhur. Di dalam sejarah, martabat manusia menjadi dasar bagi konsep hak-hak asasi manusia.

Sayangnya, martabat para politikus tersebut tercoreng oleh perilaku mereka sendiri. Sikap rakus dan tak tahu malu mencoreng martabat mereka. Tidak hanya itu, mereka bahkan mencoreng martabat rakyat dengan melakukan kampanye yang menipu dan memperbodoh rakyat. Martabat sebagai manusia saja tak mampu dipertahankan, bagaimana mungkin mereka bisa memimpin bangsa?

Mengembalikan Martabat

Sebaiknya, para politikus ini sadar akan martabat mereka. Sebaiknya juga, mereka mulai melihat rakyat tidak hanya sebagai kumpulan suara untuk Pemilihan Umum, melainkan sebagai mahluk yang punya martabat. Hanya dengan begitu, politik Indonesia bisa diselamatkan, dan dikembalikan ke tujuan awalnya. Jika tidak, ada dua langkah yang bisa diambil.

Pertama, kita harus menolak politikus tanpa martabat ini. Jangan memilih mereka untuk jabatan apapun juga. Jika disuap, terima uangnya (atau tolak, silahkan ditentukan sendiri), namun jangan pilih mereka, ketika waktunya tiba. Sebagai rakyat, kita harus bisa bersikap cerdas, dan tidak tunduk terhadap politikus predator, tanpa martabat.

Belajarlah dari kesalahan warga Jakarta, ketika Pilkada 2017 kemarin. Jangan mengulangi kesalahan dan kebodohan kami. Politik, sejatinya, bukan hanya soal perebutan kekuasaan, tetapi soal mendidik rakyat untuk bekerja sama mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama. Inilah inti dari politik di alam demokrasi modern sekarang ini.

Dua, abaikan mereka di dalam media sosial. Jangan sebarkan foto maupun kampanye para politikus predator yang korup dan penuh kebohongan. Inilah yang disebut kecerdasan menggunakan media. Biarkan kemunafikan dan kepalsuan politik terkubur di tangan para penciptanya, dan akhirnya lenyap di telan waktu dan peristiwa.

Memang, martabat manusia tidak akan hancur, walaupun kebiadaban tengah tersebar di masyarakat. Martabat itu luhur dan murni pada dirinya sendiri. Mungkin, ia bisa tercoreng sementara. Namun, selalu ada kesempatan untuk memurnikannya kembali.

Sudah waktunya kita sebagai bangsa bergerak bersama mewujudkan politik yang bermartabat, bahkan di tengah kepungan para politikus predator.

Politik bukanlah sesuatu yang terberi, melainkan dibentuk dengan pilihan kita. Jika kita terus bergerak dan tak menyerah, maka politikus predator bisa dibuat tak berdaya di dunia politik Indonesia. Waktunya sudah tiba. Jangan ditunda lagi.

***