Film Sejarah dan Film Propaganda, Melawan Lupa atau Melawan Ingat?

Sabtu, 29 September 2018 | 08:05 WIB
0
567
Film Sejarah dan Film Propaganda, Melawan Lupa atau Melawan Ingat?

Pahlawan itu bukan dilahirkan, melainkan diciptakan, demikian Ben Anderson. Diciptakan bukan untuk sekedar teladan tapi lebih untuk mengokohkan ideologi negara-bangsa, memproduksi ulang narasi nasionalisme, atau faham-faham yang dianut sang hero.

Pada sisi itu, film Pengkhianatan G30S/PKI (1982) bisa dimasukkan dalam kelompok film propaganda. Sama sekali berbeda dengan film sejarah. Jika film sejarah berangkat dari detail dan akurasi data, yang imparsial dan sama sekali tak boleh  menambah-nambah elemen.

Dalam film Arifin C. Noor, G30S (kita sebut saja begitu), teks kepahlawanan begitu menyederhanakan kompleksitas masalah dan riwayat tokoh-tokohnya. Narasi kepahlawanan yang dibangun, berangkat dari motif hitam-putih. Memposisikan Soeharto sebagai pahlawan dan Sukarno pecundang.

Film memang media propaganda yang paling efektif. Kita sendiri belum mempunyai produksi film sejarah yang memadai, meski saya lebih suka menyebut film ‘Enam Djam di Djokja’ karya Usmar Ismail (1949) film dokumenter kreatif dalam menginterpretasikan sejarah. Ia dibuat dalam waktu tak berselang lama dengan kejadiannya, dan diproduksi di lokasi aselinya.

Film-film yang didaku sebagai film sejarah kita, entah itu berjudul Soekarno, Sudirman, Cokroaminoto, RA Kartini, Sultan Agung, dan sebagainya, lebih dekat sebagai film propaganda dalam pengertian mempromosikan nilai-nilai massacre yang ditokohkan. Disamping riset sejarah yang belum memuaskan, dalam replikasi dan duplikasi, juga tentu cara pandang myopic pembuat film yang disebut sejarah itu masih bisa dimaafkan dari bias-bias yang muncul.

Beda dengan Arifin G30S, tak sedikit manipulasi sejarah dalam film berdurasi 271 menit itu. Upaya pemahlawanan seseorang dilakukan dengan mendiskreditkan orang atau pihak lain. Untuk diputar masa kini, jelas makin tampak pembiasannya.

Apalagi dengan makin banyak temuan-temuan baru fakta sejarah 1965. Soeharto sendiri, dalam perjalanannya kemudian, adalah yang ditersangkakan terlibat tindak korupsi sebagaimana bunyi Tap (Ketetapan) MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN.

Soeharto adalah presiden yang gemar membuat film propaganda. Selain G30S, ada pula Janur Kuning dan Serangan Fajar. Keduanya tak jauh beda, pengkultusan pada Soeharto.

Dalam Janur Kuning, Soeharto dikesankan lebih hebat dari Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Dalam Janur Kuning, peran Soeharto mendeskreditkan peran Sri Sultan HB IX, sama dengan di G30S di mana Soeharto mendiskreditkan Sukarno.

Ketika bekas Panglima TNI Gatot Nurmantyo (dari TNI-AD) menantang Panglima TNI sekarang, Marsekal Hadi Tjahjanto (dari TNI-AU), untuk memutar film G30S, bukan tanpa tendensi. Jauh sebelumnya, KSAU Marsekal Saleh Basarah (1986), mengklaim film itu mendiskreditkan TNI-AU.

Film Arifin G30S dikatakan kontroversial karena kini bukan lagi alat konsolidasi, melainkan berpotensi memecah belah atau mengadu domba. Maka mengherankan jika melihat semangat lembaga dan pribadi, yang kini koar-koar ngajak nobar film ini. Nilai apa yang mau ditontonnya? Semangat anti komunsime, atau anti PKI?

PKI sebagai partai politik sudah resmi dibubarkan. Komunisme? Ideologi ini diberbagai negara tidak laku, termasuk di Cina dan Rusia. Menghidup-hidupkan hantu komunisme, menunjukkan ketidakmampuan menemukan cara mengajak bangsa ini menjadi manusia pembelajar. Lebih celaka lagi, jika tujuannya ternyata hanya untuk memberi justifikasi; bahwa ideologi agamaisme silakan masuk, untuk mendelegitimasi capres yang kebijaksanaan politiknya merugikan kelompok pendukung yang ngajakin nobar film  G30S.

Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dalam kabinet Presiden BJ Habibie, September 1998 menyatakan; pemutaran film  bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.

Sekarang, kekuasaan yang dulu digulung Reformasi 1998, seolah sedang melakukan konsolidasi. Dan Partai Berkarya pimpinan Tomi Soeharto, juga ajakan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, dalam ajakan nobar film G30S mempropagandakan hal itu untuk ‘Melawan Lupa!”

Melawan lupa atau melawan ingat?

***

Sunardian Wirodono