Saya adalah salah satu yang bersyukur Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah. Pembubaran HTI adalah akhir dari perjuangan mereka mencoba menggulingkan Pancasila dengan Khilafah. Siapa sih yang rela negeri ini porak-poranda gara-gara khilafah? Apalagi mereka menghalalkan segala cara serta rela mengkafirkan keluarga sendiri yang tak senada.
HTI yang dulu pernah diberi angin pada masa pemerintahan sebelumnya, boleh jadi mendapatkan keleluasaan. Gara-gara itulah HTI jadi beranak pinak bahkan menguasai beberapa masjid serta kampus di kota-kota besar. Gagasannya yang dibawa cuma satu, mendirikan khilafah di Indonesia dan mengganti pancasila yang dianggap berhala baru.
Kalau dirunut, sudah berapa kali HTI secara tegas dan gamblang menyuarakan khilafah. Dan itu dilakukan dengan aksi yang melibatkan banyak massa ribuan orang. Entah itu di jalan, di kampus bahkan di GBK. Tokoh-tokohnya sendiri masih bisa kita lihat videonya dengan gamblang di Youtube. Menyuarakan khilafah dan mengganti dasar NKRI.
Untunglah kita punya presiden yang tegas. Meskipun kata orang cuma petugas partai, tapi toh Jokowi lebih tegas untuk memberantas ormas yang terang-terangan mengancam kedaulatan negara. HTI dan antek-anteknya memang sudah lama menggaungkan khilafah yang dianggap sebagai solusi bangsa.
Gerakan HTI sudah terang benderang berupaya melakukan makar pada NKRI. Mana ada sih tuan rumah yang mau membiarkan tamunya sewenang-wenang di rumahnya sendiri. Negara ini dibangun oleh banyak latar belakang demi persatuan dan kesatuan. Bhineka Tunggal Ika yang selama ini jadi pegangan, nyatanya memang berhasil membuat kita bersatu. Selama ini kita bisa hidup rukun dan berdampingan, namun setelah HTI datang, semuanya jadi berbeda.
Meski organisasinya sudah dibubarkan, toh tetap harus waspada dengan paham HTI tentang khilafah. Tokoh-tokoh yang secara terang-terangan mendukung HTI masih ada rekam digitalnya. Bahkan masuk dalam partai politik yang bertarung pada pemilu 2019. Menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan. Paling anyar, melancarkan politik adu domba dengan ujaran kebencian. Persis seperti yang dilakukan oleh PKI, mengadu domba bangsa.
Saya yakin ideologi HTI tetap akan ada di sekitar kita. Inilah yang perlu kita waspadai dan jangan sedikitpun diberikan ruang untuk bebas bergerak. HTI pun menyasar kalangan muda. Target kampus kerap kali jadi sasaran empuk untuk memupuk ideologi khilafah. Tak terhitung berapa kampus ternama yang juga kecolongan dengan paham berbahaya HTI.
Tumbuhnya gerakan radikal di kampus-kampus memang berkali-kali tumbuh dan layu. Dulu NII sekarang HTI. Polanya pun sama. Menyasar pemuda-pemuda berprestasi dan militan. Puncaknya mereka tak sungkan mengkafirkan keluarga bahkan orang tuanya sendiri gara-gara tak sepaham.
Yang paling mengerikan lagi, HTI punya rekam jejak dalam konflik di Timur Tengah. Organisasi berkedok dakwah ini ternyata terang-terangan mendukung tumbangnya Qaddafi di Libya secara inkonstitusional. Dukungannya tersebut pernah tayang dalam situsnya yang saat ini sudah dihapus. Catatan tersebut diungkapkan oleh Dina Y. Sulaeman yang dikenal sebagai pakar Hubungan Internasional.
Soal Suriah, HTI juga mendukung para teroris yang menjadi biang kerok konflik Suriah. Bahkan disinyalir ada dugaan bantuan dana dari Indonesia untuk Suriah, justru disalurkan pada kelompok teroris Suriah.
Lucunya, HTI tetap saja banyak berdalih akan tetap berasaskan Pancasila dalam dakwahnya demi menebarkan pesonanya. Sayangnya, jajak digital tidak mudah dihapus begitu saja. Wajah bopeng HTI kini sudah banyak diketahui orang.
Di Situs Kompasiana, misalnya, saya menelusuri ada akun Humas Hizbut Tahrir Kota Bandung yang terang-terangan menyebut Hizbut Tahrir adalah partai politik yang bertujuan membangun kembali daulah Khilafah Islamiyah. Bukankah ini cukup jelas bahwa khilafah membahayakan kedaulatan negara? Langkah pemerintah sudah tepat membubarkan HTI yang mengancam keberagaman di Indonesia. Kita pernah hidup lama dalam damai dan berdampingan tanpa HTI.
Jangan sampai ujaran kebencian tumbuh di bumi pertiwi. Khilafah tidak cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki banyak suku bangsa. Tokoh seperti Mahfud MD pun berujar bahwa gerakan khilafah adalah gerakan berbahaya sebagai gerakan alternatif Ideologi.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews