Djoko Santoso kini jadi seorang yang akan menentukan warna Pilpres 2019 nanti. Bukan sebagai kontestan, melainkan sebagai ketua tim kampanye kubu Prabowo-Sandiaga. Djoko Santoso merupakan pensiunan jenderal bintang empat. Dia pernah menjabat sebagai Panglima TNI.
Setelah pensiun terjun ke dunia politik dengan menjadi anggota Dewan Pembina Partai Gerindra. Saat masih menjadi prajurit TNI, Djoko Santoso pernah sebagai anak buah Prabowo. Maka tak heran, Djoko Santoso dan Prabowo sudah saling mengenal lama.
Citra militeristik
Sebagai ketua tim kampanye, latar belakang Djoko Santoso turut membentuk citra kubu Prabowo. Citra yang terbentuk cenderung militeristik. Hal ini diperkuat latar belakang Prabowo yang juga militer, maka "Duo Jenderal" -Prabowo dan Djoko Santoso- mempertegas citra militer tersebut di muka rakyat Indonesia.
Dalam benak publik masa kini citra militer bisa menguntungkan, bisa pula merugikan. Menguntungkan misalnya adanya persepsi bahwa militer itu tegas, berjiwa pelindung dan kecintaannya pada tanah air dan bangsa tak diragukan lagi.
Citra militer juga bisa merugikan. Ada persepsi bahwa militer itu tidak mau mendengar orang lain melainkan hanya mau didengar -dengan gaya kepemimpinan garis komando. selain itu ada kesan bengis, kaku, anti kritik dan tidak demokratis.
Sementara saat ini masyarakat sudah nyaman dengan alam demokrasi hasil perjuangan reformasi. Kini rakyat bebas menyatakan aspirasinya. Di alam demokrasi, civil society menguat, setiap orang sama kedudukan dalam hukum dan kesempatan berpolitik. Bila rakyat tidak puas terhadap pembangunan dan gaya kepemimpinan presidennya, mereka bisa menyampaikan keinginannya, kritik, bahkan aksi demonstrasi tanpa merasa kuatir.
Preseden buruk masa lalu
Rakyat Indonesia pernah mengalami trauma pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto selaku Presiden RI yang otoriter selama 30 tahun.
Pada masa Soeharto, demokrasi dipasung. Rakyat yang mengkitik dan menentang kebijakan pemerintah ditangkap dan dipenjarakan tanpa lewat proses pengadilan.
Mereka diintimidasi secara militeristik dengan label PKI, sebuah organisasi terlarang. Label PKI menjadi hantu kehidupan berkembangnya demokrasi masa itu. Bila sekali seseorang dicap PKI oleh pemerintahan militeristik masa itu, maka tamatlah karier dan hidupnya. Termasuk keturunan dan anggota keluarganya.
Setelah era Soehato, kita pernah dipimpin presiden dari kalangan sipil, yakni BJ Habibie--seorang teknokrat dan Gus Dur dan Megawati--dua orang politisi. Ketiga orang sipil ini jadi presiden RI dalam masa reformasi yang merupakan transisi politik dari otoriter ke demokrasi. Setelah era itu negara kita kembali dipimpin presiden yang berlatar belakang militer, yakni pak SBY.
Dalam masa SBY, alam demokrasi relatif berkembang pesat. Masyarakat bebas menyampaikan aspirasinya ke pemerintahan SBY. Di sisi lain, presiden SBY memiliki jiwa relatif kaku. Dia dianggap kurang merakyat, atau jarang berada di tengah-tengah rakyat salah satu sebagai bentuk nyata demokrasi. Selain itu secara personal, dia dianggap sensitif, peragu dan pengeluh.
Satu hal sifat militeristiknya yang terlihat menonjol adalah sebagai presiden (komandan) dia tak ingin disaingi wakilnya, Jusuf Kalla -yang pada masa itu terlihat lebih lincah dan tegas di tengah-tengah rakyat dan media massa. Pak Jusuf Kalla dianggap sering bergerak di luar komando presiden dan menciptakan citra kepemimpinan tersendiri (menjadi "matahari kembar") di ruang publik walau yang dilakukannya untuk kepentingan rakyat.
Ini pantang bagi sebuah gaya militeristik seorang SBY. Bagi dunia militer, pusat kepemimpinan dan citra harus terfokus pada komandan -dalam satu garis komando.
Dengan gaya kepemimpinan SBY itu, kepemimpinan dan organisasi pemerintahan jadi kurang akan kreativitas. Pemerintahan berjalan bagai rutinitas semata. Selama kepemimpinannya 10 tahun (dua periode), tidak banyak perubahan berarti pada pembangunan negara ini. Sempat disebut para pengamat, media dan publik bahwa negara kita mengalami auto pilot atau negara berjalan sendiri bagai tak memiliki pilot (pemimpin).
Prabowo sendiri sebagai mantan militer memiliki rekam jejak kurang sedap saat menjabat Panglima Komando Angkatan Darat (Pangkostrad). Dia diberhentikan secara resmi dari TNI karena kasus penculikan aktivis 1998 yang memperjuangkan kebebasan demokrasi negeri ini.
Publik punya cara menilai
Dua presiden berlatar belakang militer pernah dialami rakyat Indonesia. Ini menjadi bagian sejarah. Baik atau buruknya yang terjadi masa lalu itu menjadi preseden bagi masa kini. Tentu saja sejarah itu mengajarkan banyak hal bagi rakyat Indonesia dalam melihat gaya kepemimpinan, dan kemudian menentukan pemimpin negara ini.
Tak bisa dihindari bila penunjukan Jenderal (purn) Djoko Santoso sebagai ketua tim sukses membentuk citra militeristik pada kubu Prabowo. Hal itu akan terimplementasi pada gaya tim itu berkerja. Bahkan bisa jadi pada gaya pemerintahannya bila memenangkan pilpres 2019.
Untuk masa kini sebenarnya penunjukan Jenderal Djoko Santoso kurang menguntungkan kubu Prabowo dari segi image publik. Rakyat pernah mengalami trauma dari pemimpin militeristik yang presedennya tidak demokratis bahkan cenderung otoriter. Selain itu, gaya garis komando mengekang kreativitas dalam pembangunan.
Untuk menghilangkan preseden buruk dalam benak publik terhadap citra militeristik, harusnya ketua tim kampanye kubu Prabowo berlatar belakang non-militer misalnya pengusaha, aktivis demokrasi, akademisi atau malah entertainer.
Bandingkan dengan kubu Jokowi-Ma'ruf yang diketuai Erick Thohir -seorang profesional dan pengusaha- sangat jauh dari citra militeristik, walau di dalam tim kerja pemenangannya ada sejumlah punawirawan jenderal.
Kalau pun dasar penunjukan ketua tim pemenangan kubu Prabowo memang disengaja dari tokoh berlatarbelakang militer karena ingin mempertegas citra militeristik, aku sih rapopo....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews