Menelisik Terminologi "Emak-Emak" Millenial dari Pinggiran

Senin, 17 September 2018 | 22:33 WIB
0
955
Menelisik Terminologi "Emak-Emak" Millenial dari Pinggiran

Kini, tempat emak-emak adalah panggung tertinggi dan berkilau di jagat gaul. Di tempat yang sama ada generasi milenial dengan mainan lucunya. Merebut hati emak-emak dan generasi milenial adalah Koentji!

Entah mengapa istilah "generasi milenial" dan "emak-emak" jadi terkenal. Padahal keduanya masing-masing punya padanan yang sudah lama ada. Emak-emak berpadanan dengan ibu-ibu--yang merupakan perempuan yang sudah berkeluarga.

Emak-emak dicitrakan bukan generasi muda, walau banyak pula anak muda yang sudah jadi emak-emak (punya suami dan anak). Sementara generasi milenial berpadanan generasi muda atau dewasa muda.

Kalau dilihat dari terminologinya, "emak-emak" dan "generasi milenial" memiliki morfologi berbeda namun berada dalam satu ruang yang sama, yakni masa kini. Keduanya memuat image "kekinian". Artinya, setiap orang dimasa kini---tanpa membedakan umur, status sosial, jenis kelamin, dan lain-lain---merasa menjadi bagian sekaligus pemilik terminologi itu. Mereka merasa berhak menggunakannya dalam ruang relasi sosial.

Emak-emak dan Generasi Milenial

Ada salah kaprah di ruang publik tentang pemahaman generasi milenial, bahwa generasi milenial lebih dilekatkan dengan usia remaja atau ABG. Padahal kalau dilihat dari historisnya, para ABG atau anak usia belasan tahun termasuk generasi pasca milenial. Sampai sekarang belum dipastikan bagi penamaan para orang muda pasca generasi milenial. Ada yang menyebutnya generasi Z.

Menurut United States Cencus Bureau generasi milenial adalah orang kelahiran tahun 1982 sampai 2000. Sedangkan Pew Research Center menetapkan kelahiran tahun 1996 sebagai tahun kelahiran terakhir generasi milenial---atau mereka yang berusia 22 tahun dampai 37 tahun pada tahun 2018. Mereka dicitrakan---salah satunya---orang muda yang "suka menghabiskan uang untuk piknik daripada membeli rumah".

Kalau dilihat dari konteks usia kaum milenial, maka "emak-emak" bisa dimasukkan dalam konteks milenial. Banyak perempuan pada usia segitu sudah berkeluarga dan menyandang status emak-emak. Belum lagi usia diatas itu yang berjiwa milenial. Maka lengkaplah barisan emak-emak sebagai penguasa kekinian.

Dekonstruksi Emak-emak

Istilah emak-emak merupakan padanan istilah "ibu" atau "mama" yang tampak lebih modern dan terlebih dahulu menempati ruang terhormat jaman modern. Sementara di saat yang sama, "emak" berada di ruang "tidak modern" atau seolah berada "di belakang zaman modern". Istilah "emak" hanya milik orang kampung yang "ndeso"---yang penuh inferioritas ketika masuk ruang modernitas.

Namun pada zaman now, "ibu-ibu" atau "mama-mama" mengalami dekonstruksi yang unik sehingga menjadi "emak-emak" di ruang pergulatan bahasa gaul, dan kemudian menjadi milik semua orang. Kalau saja om Jacques Derrida--filusuf dan Bapak Dekonstruksi jaman posmodern---melihat hal tersebut, mungkin dia akan tersipu malu. Kenapa? Karena dia pasti tahu "the power of emak-emak".

"Dekonstruksi merupakan sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual : anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah."

Derrida lebih memilih tersipu malu daripada bersilang bantah dengan emak-emak, karena khawatir diomelin. Sakit sih enggak, tapi malunya itu lho! Lagian, apalah daya seorang Derrida yang cuma bisa berfilsafat di ruang perpustakaan, sementara om polisi di jalanan saja tak berdaya melihat "emak-emak" naik motor metik ngidupin lampu sein kiri tapi beloknya ke kanan.

Mungkin om Derrida hanya bisa berucap "That is a real deconstruction"! mungkin...mungkin lho yaaa...soalnya saya sendiri tidak tahu pasti isi hati dan pikiran om Derrida yang meninggal tahun 2004.

Karena munculnya "emak-emak", istilah "ibu-ibu" yang sejatinya lebih luas dan elegan seolah ditempatkan jadi milik masa lalu yang aneh karena bersifat baku, resmi dan kaku---yang tak cocok bagi kekinian yang lebih bersifat cair, non-formal, semau gue, tanpa sekat atau kasta.

Dari hasil Dekonstruksi, "emak-emak" itu membawa pemberontakan, atau keinginan terbebas dari keterkungkungan dari dunia baku dan kaku.

Istilah "emak-emak" seolah jadi produk kultural baru, dan tipe teoritisasi baru tentang dunia sosial masyarakat saat ini. Pen-dekonstruksi-annya merupakan salah satu hasil dari tabiat posmodernisme yang sering mengangkat "masa lalu" atau "yang di belakang" kemudian diolah dan disajikan pada masa kini dalam kemasan yang lebih lentur, tapi juga kaku.

Menyolok tapi juga buram --oleh setting beragam peristiwa yang melibatkan emak-emak. Besar tapi juga tidak kecil. Milik orang kota tapi masih kepunyaan orang kampung. Berada di etalase metropolis tapi bernuansa teras desa. Dan lain sebagainya. Begitulah posmodern yang ambigu membawakan "emak-emak" ke ruang publik masa kini.

Beruntunglah dekontruksi-isme yang merupakan anak kandung posmodern mampu mengemas dan membawakannya dengan sangat rileks ke ruang publik, sehingga setiap orang tak lagi mempermasalahkan ambiguitas itu---atau bisa jadi pura-pura tak tahu. Mereka tak mau pusing, dan lebih memilih mengunyah dan menikmati kehadiran "emak-emak" secara riang gembira.

Zaman posmodern seperti sekarang ini, keberadaan "emak" kemudian diangkat (kembali) ke dalam kekinian sehingga berada di depan. Istilah "emak-emak" yang dulunya terdengar "ndeso" dan sangat "lokal" kini jadi "nggaya" dan "Indonesia" setelah mampu merebut ruang publik masa kini secara lebih luas.

Dari orang-orang kampung di atas gunung sampai para selebriti terkenal yang malang melintang di panggung hiburan pakai istilah emak-emak di ruang sosialnya.

Dari para orang tak makan sekolah di pinggiran kali berbau sampai kaum intelektual pakai istilah emak-emak di atas menara gadingnya.

Dan banyak lagi kalangan di negeri ini, tanpa berbatas status sosial, usia, jenis kelamin, agama dan lain sebagainya.

Bahkan kini dari politikus papan bawah sampai politikus papan atas sangat bernafsu mendekati dan menjadikan "emak-emak" sebagai ceruk suara politik mereka. Bergaulah para tubuh politik itu dengan emak-emak. Mereka tahu begitu banyak ruang terbuka untuk memasuki benteng emak-emak yang seolah tampak kuat--namun ternyata rapuh!

Emak-emak dipoles dengan bedak cap politik, parfum persoalan domestik, dan kata-kata manis 1000 janji sehingga memunculkan varian baru emak-emak, misalnya : emak-emak militan anu, emak-emak relawan anu, dan lain-lain. Nah, lho....!

Konteks "emak-emak" yang tadinya satu dalam substansi "ibu" menjadi terpecah karena polesan bedak politis. Varian emak-emak itu menjadikan mereka berseberangan dan saling lempar hujatan.

Mereka seperti tak lagi ingat betapa monumentalnya perjuangan merebut eksistensi diri di ruang publik dengan aksi "naik motor metik hidupkan sein kiri tapi belok kanan" sehingga membuat om polisi terpana tak berdaya, dan om Derrida tersipu malu. Heu heu heu!

Kemunculan "emak-emak" perlu kita sambut dengan gembira karena mereka hadir membawakan sukacita untuk semua orang di tengah kesuntukan beragam tema monoton dan menegangkan di dalam ruang sosial. Sejatinya, terminologi "emak-emak" tak perlu terpecah-pecah hanya karena rayuan politik praktis.

Emak-emak itu asyiknya sih tetap dalam satu kerangka, yakni EmKRI harga mati !

Apa itu? Emak-emak Kesatuan Republik Indonesia!

Heuheu...

***