Terus Ke Timur Mengejar Matahari

Minggu, 9 September 2018 | 07:18 WIB
0
445
Terus Ke Timur Mengejar Matahari

Ayolah kita mulai. Kata saya. Pada empat orang yang ada di masjid itu. Saya bisa khotbah. Kata saya lagi. Kalau tidak ada yang khotbah.

Jam sudah menunjukkan angka 14.39. Sudah hampir ashar. Jumatan belum dimulai. Tidak ada repons dari empat orang itu. Semuanya berwajah Arab. Mungkin tidak paham. Dengan bahasa Arabnya orang Jawa seperti saya.

Lalu saya ulangi lagi. Dengan lidah yang lebih saya Arab-arabkan. Kali ini ada yang menjawab. Yang bersandar ke dinding samping itu. Ia lantas merogoh saku celana. Ambil HP. Bicara-bicara.

Yang diajak bicara ternyata nongol di pintu ruang salat. Sambil menutup HPnya. Memasukkannya lagi ke saku celana.

Dari pintu itu ia langsung melangkah ke arah kursi depan. Duduk di situ. Sambil mengusap rambutnya. Dengan satu tangannya. Lalu mengusapkan tangannya itu ke celana jeannya.

Satu-satunya jemaah tua di situ langsung berdiri: azan. Ialah satu-satunya yang tidak bersandar ke dinding. Orang pertama yang tiba di masjid Hays, Kansas, Jumat lalu.

Saya kenal wajahnya. Ia imam. Tiga bulan lalu. Saat saya ke Hays ini. Ia yang juga khotbah saat itu. Dengan celana jeansnya. Dengan topi pet yang ia balik di kepalanya.

Selesai azan, pemuda yang duduk di kursi itu merogoh saku celana. Ambil HP. Membukanya. Lalu berdiri. Membaca khotbah dari layar HP. Semua dalam bahasa Arab. Saat khotbah dibaca beberapa lagi tiba. Total menjadi 9 orang. Yang Jumatan hari itu.

Khotbahnya pendek. Hanya 10 menit. Yang mendengarkan juga santai: duduk bersandar ke dinding. Ketika doa di akhir khotbah tidak ada yang mengangkat tangan.

Inilah khotbah yang sangat pendek. Meski masih kalah pendek dengan di masjid Kebon Jeruk Jakarta. Di pusatnya Jamaah Tabligh itu. Di jalan Hayam Wuruk itu. Saya suka Jumatan di situ. Khotbahnya hanya lima menit. Dengan bahasa Arab semua.

”Kok masih di Hays? Putrinya belum lulus?” tanya saya ke orang tua yang azan itu.

”Masih 1,5 tahun lagi,” katanya.

Memang kian sedikit mahasiswa dari Timur Tengah di Hays. Kota yang penduduknya hanya 40.000 orang ini. Yang letaknya sangat di pedalaman ini. Yang sejauh mata memandang hanya ada ladang pertanian dan peternakan ini. Dan sumur-sumur angguk minyak ini.

Yang bertambah adalah mahasiswa dari Tiongkok. Sudah 100 orang saat ini. Fort Hays State University memang menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di Henan. Di pedalaman Tiongkok. Saya pernah mengantar Chris Mohn ke Universitas di Henan itu.

Chris Mohn adalah istri John Mohn. Teman saya itu. Dia dosen di FHSU itu. Chris memperoleh masternya di Wichita State University. Yang juga kampusnya Sandiaga Uno itu. Tidak jauh dari Hays. Untuk ukuran jarak di pedalaman Amerika: 250 km.

Saat menulis artikel ini saya lagi duduk-duduk makan siang. Di dalam kampusnya Sandi itu. Di kursi kayu di bawah pohon rindang. Makan buritto. Bikinan saya sendiri. Yang saya bawa dari Hays.

Dari tempat makan ini saya bisa melihat bangunan kecil: kedai Pizza Hut. Saya baru saja dari kedai itu. Itulah kedai Pizza Hut pertama di dunia. Dari kedai itu Pizza Hut memulainya. Dengan tujuan pertama dulu: menyediakan pilihan makanan murah untuk mahasiswa. Kini kedai itu jadi museum Pizza Hut. Museum yang amat kecil. Untuk melihat seluruh isinya cukup mengintip dari kaca jendelanya.

Dari kursi makan siang ini saya juga bisa membayangkan bagaimana Sandi kuliah di sini. Dan lulus dengan summa cum laude. Untuk mata kuliah akuntansi.

Selesai acara di Wichita saya ke Columbia. Di negara bagian Missouri. Yang kampus universitasnya sangat indah itu.

Semula saya tidak ingin bertemu mahasiswa Indonesia di Columbia State University ini. Saya kan baru bertemu mereka. Tiga bulan lalu. Sahur bersama. Dan berbuka bersama.

Tapi ada pesan melalui Whatsapp. Saat saya baru selesai makan malam. Bersama tiga orang di pinggiran kota itu. ”Sekarang ini kami lagi ngobrol dengan pak Bambang Harimurti,” kata Yanu Prasetyo dalam WA-nya. ”Mengingatkan kami saat pak Dahlan ke sini dulu,” tambahnya.

”Lho saya juga di Columbia. Hahahaha….,” jawab saya.

”Di mana? Saya jemput ya?” balasnya.

”Tidak usah. Beri saja saya alamat. Saya ada mobil sendiri,” kata saya.

Alamatnya ternyata sama: tempat sahur bersama dulu. Dalam 10 menit saya tiba. Kini ada 26 mahasiswa kita di Columbia State University. Semua ambil master. Atau doktor. Tidak ada lagi yang S1.

Ada yang ambil doktor nano teknologi. Seperti Naadaa Zakiyyan itu. Yang kini berkumis rapi itu. Yang rambutnya dicat kuning kemerahan itu. Yang tidak jadi pulang ke Bondowoso karena langsung S3 itu.

Ada yang ambil doktor kimia: M. Andriansyah. Anak Lombok itu. Yang awalnya di SMA Mataram lalu dapat beasiswa untuk SMA di Kanada itu. Yang rambutnya juga dicat kemerahan itu.

Ada yang ambil doktor Emaging. Doktor Matematik.

Ada yang ambil master ilmu komputer. Dewi Kharismawati. Yang terus berjilbab itu. Dan ada satu yang ambil master jurnalistik: Indah Setiawati. Yang dulu wartawati The Jakarta Post.

Bambang Harimurti, kolega saya di majalah Tempo dulu akan memberi seminar di situ. Di jurusan jurnalistik itu. Hari ini.

Dari Columbia saya masih akan terus ke timur. Mengejar matahari terbit.

***

Dahlan Iskan