Kekuasaan Absolut, Pastilah Korup Total

Kamis, 6 September 2018 | 21:39 WIB
0
3320
Kekuasaan Absolut, Pastilah Korup Total

Sejarawan moralis Inggris, John Emerich Edward Dalberg Acton yang kemudian dikenal dengan Lord Acton (1833-1902) mungkin tak menyangka kalau kekuasaan absolut masih sangat didambakan oleh manusia, hingga hari ini. Lebih 130 tahun silam Lord Acton menyampaikan keresahannya terhadap perilaku para pemegang kekuasaan.

Dia menyampaikan curhat kepada Uskup Mandell Creighton (1887). Inti curhatan itu kemudian membekas di dunia politik. Lord Acton mengatakan, “Power tends to corrupt, and absolute power currupts absolutely.” Yakni, “Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup seratus persen.”

Yang ingin disampaikan sejarawan itu adalah agar rakyat, lewat wakil mereka dan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai “rem dan pengimbang” (check and balances), mengawasi penguasa. Kalau perlu, mencabut mandat kekuasaan itu bila tampak jelas kecenderungan menyimpang (corrupt).

Kalau petuah Lord Acton ini kita bawa ke Indonesia, sesungguhnya kita di sini sering terjebak memberikan kekuasaan absolut kepada para penguasa. Pada awalnya hanya “berkuasa” (normal) saja. Setelah itu, mulailah bergeser perlahan menjadi “berkuasa total”. Di semua tingkat. Mulai dari kepala desa sampai ke presiden.

Kita selalu membiarkan praktik kekuasaan yang awalnya tidak absolut bergerak menuju ke penyimpangan. Sampai akhirnya kekuasaan yang tak absolut, kemudian berubah menjadi kekuasaan abaolut.

Ketika sampai di titik ini, barulah kita tersentak. Tapi, penguasa telah terlanjur menumpuk kekuasaan di tangannya dan dia siap menjadi penguasa absolut yang pasti menyimpangkan kekuasaannya secara total, kata Lord Acton. “Absulote power corrupts absolutely.”

Ini telah pernah berlangsung di masa lampau. Waktu itu, kita terpaksa melakukan “check and balances” di jalanan (people power) yang nyaris berakhir dengan pertumpahan darah.

Hari ini, sebagian besar elit dan media yang seharusnya berfungsi sebagai “rem dan pengimbang”, mulai berbicara ngawur. Dengan berbagai alasan, para elit kembali lupa pada keteledoran masa lalu yang menyebabkan penyerahan kekuasaan absolut kepada pemegang mandat, dalam hal ini Presiden.

Sekarang, berbekal dukungan penuh dari koalisi parlementer, koalisi media besar yang parsial (memihak), koalisi intelektual lacuran, koalisi pebisnis besar, dlsb, Presiden Jokowi merasa mendapat mandat untuk menyelewengkan kekuasaannya.

Belakangan ini Jokowi menggunakan kepolisian, BIN, TNI (dalam batas tertentu), bahkan semua resource yang ada di berbagai jenis koalisi yang menyokong beliau, untuk kepentingan pribadi dan oligarkhi yang berbalut kepentingan negara.

Sebagai contoh adalah persekusi terhadap kegiatan #2019GantiPresiden (2019GP). Gerakan ini sepenuhnya legal. Sesuai konstitusi. Tetapi, Polri dan BIN tampak tidak netral. Begitu juga lembaga-lembaga lain. Bahkan kalangan pebisnis yang mendukung Jokowi, pun tidak lagi netral.

Di Pekanbaru dan Surabaya, kita semua bisa melihat banyak rekaman yang menunjukkan keberpihakan Polri. Saksikan bagaimana tindakan Ka Binda di Riau terhadap pegiat prodemokrasi, Neno Warisman. Di Surabaya, para petugas kepolisian membantu pengambilalihan atribut-atribut 2019GP dari para aktivis yang memakainya. Dengan cara paksa.

Lihat juga manajemen maskapai penerbangan Lion Air (LA) yang akhirnya melarang terbang pilot dan kru pesawat karena mengizinkan Neno Warisman menggunakan mikrofon pesawat. Neno perlu berbicara kepada para penumpang untuk menjelaskan keterlambatannya naik ke pesawat. Manajemen LA adalah pendukung kuat Jokowi. Tindakan LA ini pastilah berdampak “entertaining” (menghibur) bagi Jokowi. Dengan kata lain, pimpinan LA, sesuai kadarnya, ikut memupuk pertumbuhan kekuasaan absolut di tangan Jokowi.

Begitu juga bidang-bidang lain. Ada barisan intelektual yang setiap hari menabuh genderang “ayo maju terus, Bapak benar kok” di sekeliling Presiden. Prof Jimly Ashshidiqie adalah salah satu contohnya. Dia mengatakan 2019GP menyebar kebencian kepada Jokowi. Pernyataan seperti ini tentu menjadi “modal tambahan” bagi Presiden untuk tampil semakin arogan. Sejumlah cendekiawan terkemuka lainnya juga memperkuat posisi beliau.

Lain lagi tindakan berbagai ormas seperti Banser NU dan Pemuda Pancasila (PP). Memang hububungan berbagai ormas dengan Jokowi masih harus dijelaskan lebih detail lagi. Sebab, ormas-ormas yang turun membela Jokowi dengan menperlakukan aktivis #2019GP secara kasar, termasuk perempuan, bisa jadi memiliki hubungan khusus dengan beliau.

Tetapi, apa pun bentuk hubungan itu, yang jelas kehadiran ormas-ormas tsb memihak Jokowi di lapangan. Dan ini pastilah ikut memperkuat keyakinan Presiden bahwa dia sudah benar. Padahal, tindakan para anggota ormas-ormas itu di Surabaya, sebagai contoh, adalah aksi yang jelas melawan hukum.

Mereka jelas melakukan perbuatan sewenang-wenang. Kesewenangan mereka ini juga mencitrakan bahwa Jokowi saat ini sedang berada dalam proses menuju “absolute power” (kekuasaan absolut) yang, menurut Lord Acton, “corrupt absolutely” (pasti korup atau menyimpang total).

Para elit partai politik yang berkoalisi dengan presiden petahana, pun turut bersaham membangun suasana yang membuat Jokowi “senang hati” mendapatkan kekuasaan besar. Yakni, kekuasaan yang bertetangga dengan kekuasaan absolut. Dalam banyak kesempatan, para ketua umum parpol melontarkan ucapan puja-puji yang berlebihan ke arah Jokowi.

Sekadar menyebut sebagian, kita ambil contoh slogan yang sering diucapkan Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem. Dia mengatakan, “Kita adalah Jokowi”. Pak Surya mungkin tak menyangka kalau slogan seperti ini adalah mantra yang mengkultuskan Pak Jokowi.

Yang lain-lain mengatakan Jokowi presiden merakyat, sederhana, apa adanya. Ada yang menyebut “presiden sukses” atau “presiden terhebat”, dsb.

Banyak lagi pujian lain. Intinya, para pemimpin parpol memberikan dorongan kepada Jokowi untuk naik ke level “absulute power”. Mungkin tidak sama dengan “kekuasaan absolut” di abad-abad kuno, ketika titah para raja dahulu berlaku sebagai hukum maupun hukuman. Tetapi, pada dasarnya, kekuasaan yang dijalankan oleh Jokowi jelas mengandung arogansi menuju kekuasaan absolut.

Di zamanya, Lord Acton berusaha menyadarkan rakyat Inggris tentang perlunya “check and balances” (rem dan pengimbang) bagi penguasa yang menjalankan mandat. Dengan mandat “kekuasan berbatas” saja tanpa puja-puji pengkultusan, seorang penguasa bisa tergoda untuk memiliki “kekuasaan tak terbatas”. Apalagi disertai dukungan tanpa “reserve”. Tanpa kritik.

Jadi, marilah kita menghentikan perilaku kultus individu. Mari kita berhenti memuja-muji pemimpin secara berlebihan. Dan, sebaliknya, mari kita kritik dan kita rem para penguasa negeri ini. Agar kita tidak lagi menciptakan pemimpin atau pejabat dengan kekuasaan absolut.

Agar kita memahami bahaya seperti yang diteoerikan Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

“Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup total.”

***