"Tamparan" Mahfud MD Sudah Nyeberang Sampai Madura dan Nahdliyyin

Rabu, 22 Agustus 2018 | 00:25 WIB
0
586
"Tamparan" Mahfud MD Sudah Nyeberang Sampai Madura dan Nahdliyyin

Minggu, 19 Agustus 2018. Dua spanduk besar bertuliskan, “Madura Untuk Indonesia” dan “Haram Bagi Orang Madura Memilih Jokowi” sempat digelar di Jembatan Suramadu sisi Madura. Sebagian warga Madura sedang melampiaskan raca kecewanya.

Kecewa atas batalnya mantan Ketua MK Mahfud MD dijadikan Cawapres Joko Widodo alias Jokowi setelah diminta bersiap secara resmi untuk dideklarasikan. Tapi, ternyata yang dipilih oleh Koalisi Jokowi justru Rois Aam PBNU KH Ma’ruf Amin sendiri.

Gerakan “Haram Milih Jokowi” yang mulai digelorakan sebagian warga Madura sekarang ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan warga arus bawah. Tak hanya di Madura, tapi juga di berbagai daerah lainnya di Jawa Timur dan beberapa provinsi lainnya.

Jika gerakan ini tidak segera diredam, justru akan menjadi kendala bagi terpilihnya kembali Jokowi menjadi Presiden untuk periode kedua pada Pilpres, 17 April 2019. Karena, Madura sebelumnya diharapkan akan menjadi kantong raihan suara untuk Jokowi.

Apalagi, saat Pilkada Jatim 2018 lalu, suara Khofifah Indar Parawansa – Emil Dardak yang, konon didukung Jokowi, meraih suara signifikan di Madura, kecuali Bangkalan. Paslon ini menang atas Saifullah Yusuf – Puti Guntur Soekarno yang diusung PDIP Cs.

Melansir Teropongsenayan.com, Minggu (19/8/2018), Mahfud MD sendiri sudah mengutus asistennya Imam Marsudi untuk menemui koordinator-koordinator aksi guna menghentikan gerakan tersebut. Pesan Mahfud MD, agar mereka tak melakukan demo-demo.

Mahfud MD meminta agar mereka tidak perlu melakukan demo-demo yang kontra produktif bagi Indonesia, sebab dirinya merasa tidak apa-apa. Tetapi sejumlah tokoh gerakan ini tetap tak terima atas perlakukan yang diterima Mahfud MD.

Mereka menyatakan, memang boleh jadi Mahfud MD sendiri tidak apa-apa, tetapi sebagian besar masyarakat Madura justru sangat merasakan apa yang dirasakan oleh Mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu.

Masyarakat Madura turut sakit hatinya dan kecewa dengan keputusan Jokowi lewat drama yang menimpa tokoh kebanggaannya. Suku Madura adalah suku bangsa terbesar keempat di Indonesia setelah Jawa, Batak, dan Sunda.

Populasinya jika dihitung dengan yang kawin campur antar suku adalah 23 juta jiwa, sekitar 9,5 juta di antaranya berdarah Madura (ayah-ibu) asli dan sisanya bercampur dengan darah suku-suku lain.

Orang Madura yang tinggal di Madura sebanyak 4,5 juta jiwa, sedangkan sisanya berdiaspora terutama di Tapal Kuda sepanjang Surabaya hingga Banyuwangi. Orang-orang Madura juga bersebaran di Jateng, Jabar, DKI Jakarta, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia.

Secara antropologis suku Madura dikenal sangat solider, dekat satu sama lain dalam suasana kekeluargaan, dan kompak untuk saling membela diantara mereka. Ibaratnya, kalau sudah baik, leher pun diserahkannya demi membela kebenaran.

Mahfud Effect

Drama politik perlakuan 9 parpol Koalisi Jokowi atas Mahfud MD pada Kamis (9/8/2018) di depan rakyat mulai ber-effect. Seperti reaksi yang dilakukan sebagian warga Madura, Minggu (19/8/2018) di Jembatan Suramadu sisi Madura tersebut.

Tak hanya sampai di sini. Apalagi, setelah Mahfud MD curhat dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One, Selasa (14/8/2018) yang mengejutkan banyak pihak, terutama Koalisi Jokowi. Ia bicara soal tokoh-tokoh parpol yang terlibat korupsi.

Mahfud MD punya daftar koruptor di sakunya, lengkap dengan tanggal dan jamnya. Ia pakar hukum yang terbukti berintegritas, berani, dan tak kenal kompromi. Mungkin ia terlalu jujur. Jokowi sebenarnya butuh seorang petarung seperti Mahfud MD.

Yang menarik, beberapa poin dalam pernyataan Mahfud MD mengandung sejumlah fakta mencengangkan yang bisa diungkap lebih jauh lagi, termasuk fakta terkait korupsi dalam “kardus durian” Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar.

Namun, Muhaimin terselamatkan dari jeratan hukum KPK. Terlepas siapa yang membantu sehingga ia “bebas hukum”, fakta yang diungkap Mahfud MD itu sama halnya membuka borok mereka ini yang tampak seolah-olah seorang figur “suci”.

Apalagi, Mahfud MD sempat menyindir pernyataan sejumlah pihak yang menilai, dirinya itu bukan kader NU, sehinggga tidak tepat dicalonkan sebagai cawapres mendampingi petahana capres Joko Widodo alias Jokowi pada Pilpres 2019 mendatang.

Ia pun merasa kecewa tidak dianggap kader NU, padahal pernah memiliki kedekatan dengan petinggi-petinggi NU, bahkan sampai sekarang Mahfud MD masih tercatat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana NU (ISNU).

Pengasuh Ponpes Tebuireng yang juga adik kandung KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, KH. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) pun angkat bicara. Gus Sholah setuju atas himbauan agar NU kembali ke Khittah 1926, tidak ditarik-tarik ke politik.

Seperti imbauan putri kedua almarhum Gus Dur, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid) agar NU secara organisasi tetap netral selama pilpres 2019. “Saya sepakat, struktur NU perlu duduk bareng untuk menyamakan persepsi,” ujarnya.

“Karena sekarang NU sudah menjadi alat politik khususnya PKB,” kata Gus Sholah, seperti dikutip Republika.co.id, Selasa (21/8/2018). Secara kultural, diakui dia, memang tidak ada masalah NU dengan PPP dan PKB.

Namun secara organisasi, menurut dia, NU akan sangat rugi bila ditarik ke PPP atau ke PKB. Sebab, kader NU itu tersebar di berbagai parpol, bukan hanya di PPP dan PKB. “Seharusnya NU berada di atas semua parpol. Jadi NU seharusnya menempatkan diri di atas semua politik praktis,” tegas Gus Sholah.

Terkait ada imbauan Ma’ruf Amin bahwa kaum nahdliyin harus memilih Jokowi, lanjutnya, sebelum imbauan itu keluar harusnya penuh pertimbangan matang. kepentingan rakyat harus nomor satu, dibandingkan kepentingan yang lain-lain, termasuk kepentingan NU.

Gus Sholah menilai, cara berpolitik yang kurang elok dari parpol, khususnya PPP dan PKB ditunjukkan kepada Mahfud MD. “Banyak warga NU yang saya ngobrol mereka kecewa, karena caranya,” katanya menambahkan, seperti dilansir Republika.co.id.

Secara pribadi, Gus Sholah tetap menyambut baik ditunjuknya Ketua MUI KH Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi. Namun, ia melihat dijadikannya Ma'ruf Amin sebagai cawapres ini justru membebani diri Ma'ruf Amin.

“Pak Ma'ruf baik. Cuma Kiai Ma'ruf sudah sepuh. Kita khawatir tugas ini membebani beliau. Walaupun dokter menyatakan sehat, tetapi orang dengan usia sudah 70 tentu berbeda dengan mereka yang berusia 50,” jelas Gus Sholah.

Pada Pilpres 2019 mendatang, Ma'ruf Amin jadi cawapres Jokowi. Rais Am PBNU ini dapat rekomendasi resmi dari PBNU dan PKB. Meski disertai ancam-mengancam, seperti curhat Mahfud MD. Apakah suara dari kalangan Nahdliyyin akan ke Ma'ruf Amin?

Saat dalam sambutannya di depan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Saudi Arabia, Ma'ruf Amin bilang bahwa Nahdliyyin bergerak dan mendukungnya, maka PCINU Tiongkok buru-buru protes. Intinya: tidak benar. Jangan seret NU ke politik.

Pasca curhat Mahfud MD di ILC itu, suara warga NU mulai terbelah antara pendukung Mahfud MD yang sebagian diidentifikasi sebagai Gusdurian, dengan pendukung Ma'ruf Amin.

Yenny Wahid adalah pembela Mahfud MD saat "difitnah" sebagai bukan kader NU. Karena menurut pengakuannya, Mahfud MD pernah ada di struktur Ansor era Nusron Purnomo. SK ditandatangani oleh KH Said Aqil Siraj.

***