Mestinya Jokowi Tidak Perlu “Jualan” Masalah HAM Lagi, Tidak Produktif!

Senin, 20 Agustus 2018 | 12:52 WIB
0
485
Mestinya Jokowi Tidak Perlu “Jualan” Masalah HAM Lagi, Tidak Produktif!

Rivalitas untuk mencari “titik lemah” yang ada pada pribadi calon presiden pada Pilpres 2019 mendatang tampaknya sudah dimulai. Ini bisa terlihat dan terdengar dengan jelas dari gedung parlemen di Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018).

Saat itu, Presiden Joko Widodo yang maju kembali pada Pilpres 2019 menyampaikan pidato kenegaraan di sidang bersama DPR dan DPD RI. Jokowi menyinggung tentang komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi dan penegakkan HAM.

Dalam pidatonya, Jokowi juga menyinggung tentang penegakan HAM. Dia berkomitmen untuk terus berupaya mengungkap kasus HAM masa lalu. Tidak cuma itu, pemerintah juga berkomitmen menjaga agar kasus pelanggaran HAM tak lagi terjadi.

Itu yang menjadi semangat Pemerintah dalam mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Tahun 2015-2019.

“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” jelas Jokowi seperti dikutip Merdeka.com, Jum’at (16/8/2018).

Persoalan HAM masa lalu pernah menjadi isu seksi semasa Pilpres 2014 yang digulirkan oleh lawan-lawan politik Prabowo yang saat itu maju bersama Hatta Rajasa sebagai cawapresnya. Dan, tampaknya, isu pelanggaran HAM saat itu cukup manjur dan efektif.

Terbukti, Joko Widodo – Jusuf Kalla akhirnya menang dalam pertarungan Pilpres 2014, dan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Dalam pidato kenegaraan pada 2015, Presiden Jokowi juga menyinggung soal penyelesaian pelanggaran HAM.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS), Haris Azhar, mengaku tidak kaget dengan isi pidato kenegaraan Presiden Jokowi yang membahas soal perkembangan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Menurutnya, pidato tersebut menunjukkan perkembangan penuntasan kasus yang sedang jalan di tempat. “Pidato soal HAM hanya mengulangi harapan. Di sektor ekonomi, Jokowi bicara hal terkini. Soal HAM, cukup stagnan, tidak ada yang maju,” ujar Haris.

Mengutip CNN Indonesia, Jumat (13/8/2015), dalam pidato kenegaraannya saat itu, Presiden Jokowi menyatakan pemerintah berkomitmen untuk membentuk komite rekonsiliasi untuk pelanggaran HAM berat.

Menurutnya, pemerintah masih berusaha mencari jalan keluar yang paling bijaksana untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. “Pemerintah menginginkan rekonsiliasi nasional sehingga generasi mendatang tidak terus memikul beban sejarah masa lalu,” ujarnya.

Sehingga, “Anak-anak bangsa harus bebas menatap masa depan yang terbentang luas,” lanjut Presiden Jokowi. Rekonsiliasi itu, menurutnya, merupakan langkah awal pemerintah untuk menegakkan kemanusiaan di Indonesia.

Haris menilai, kebijakan pemerintah untuk mengedepankan rekonsiliasi disebabkan tidak adanya konsep yang menyeluruh soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM. “Saya menduga ini kesalahan Menko Polhukam yang lama,” ujarnya.

“Dia hanya membeo pada Jaksa Agung dan tidak punya konsep. Akhirnya penyelesaian ini hanya menjadi diskursus di media dan masyarakat,” lanjut Haris. Penyelesaian pelanggaran HAM dikoordinasikan Menko Polhukam semasa Tedjo Edhy Purdijatno.

Jokowi seharusnya tidak lupa bahwa ia pernah berjanji akan membentuk tim khusus presiden dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Janji Jokowi tersebut tertuang dalam Nawacita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Jaksa Agung, Kepala Polri, Panglima TNI, Menteri Hukum dan HAM dan Ketua Komnas HAM merupakan bagian dari tim yang dikoordinasikan Menko Polhukam. bahwa akhir dari rekonsiliasi adalah pernyataan maaf dari negara yang diwakili presiden selaku kepala negara.

Rencana tersebut kemudian mengundang kontroversi di kalangan masyarakat. Sehingga pada akhirnya tidak bisa terealisasi pula. Nah, rupanya, isu seksi pelanggaran HAM kali ini dibuka kembali oleh Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2019 mendatang.

Jika menyangkut persoalan HAM, tentunya isu seksi ini akan merambat pada “pelanggaran” HAM yang diduga melibatkan Prabowo Subianto ketika menjabat Danjen Kopassus TNI AD. Terutama terkait “hilangnya” 13 aktivis prodem hingga kini.

Tak hanya itu. Dosa-dosa dampak Reformasi 1998 juga bakal “ditimpakan” lagi pada sosok Prabowo yang kini bersaing kembali melawan Jokowi yang sama-sama maju sebagai capres 2019. Kalau Jokowi “menjual” isu ini lagi, rasanya tidak produktif!

Rivalitas Gagasan

Generasi milenial yang bakal menjadi bidikan pada Pilpres 2019, tentunya lebih suka dengan isu seksi kekinian. Seperti, “motor terbang” Presiden menjelang upacara pembukaan Asian Games 2018 pada Sabtu (18/8/2018) di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Terlepas apakah atraksi tersebut dilakukan Presiden Jokowi sendiri atau tidak, yang jelas aksi berkendara motor sepanjang perjalanan menuju gelora Bung Karno dengan atraksi jumping dan stoppie ini, bisa menginspirasi anak-anak muda untuk ide kreatif.

Menyalurkan hobi bermotor atau tourring menjadi sebuah usaha kreatif yang menghasilkan duit. Minimal, bisa mambuka peluang kerja baru sebagai stuntman untuk pemain film atau sinetron Indonesia yang sering memamerkan kesenangan dan kekayaan.

Lumayan, untuk beberapa episode tayang sudah bisa menghasilkan uang puluhan juta rupiah. Nah, ide kreatif seperti inilah yang tampaknya ingin ditawarkan Presiden Jokowi jika terpilih kembali dalam Pilpres 2019 mendatang. Rasanya, tidak terlalu berlebihan.

Dan, kreativitas semacam itu sah-sah saja, tidak ada ketentuan perundangan atau PKPU yang melarangnya. Makanya, tidak heran jika kemudian muncul pula gagasan dari Koalisi Jokowi yang berniat ndandanin cawapres KH Ma’ruf Amin layaknya milenial.

Upaya untuk membebaskan Indonesia dari jeratan korupsi yang mengkhianati kepercayaan rakyat, menggerogoti anggaran negara, dan merusak sendi-sendi perekonomian bangsa harus terus dilakukan. Ini menjadi isu seksi yang masih tetap laku dijual.

Sukses upaya Presiden Jokowi dalam mendukung upaya KPK untuk memberantas korupsi, patut diapresiasi. Apalagi, juga memberikan prioritas yang tinggi pada upaya pencegahan sebagaimana halnya dengan upaya penindakan.

Menurut Presiden Jokowi, Pemerintah telah mengeluarkan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 sebagai arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi.

Selain itu, seperti ditulis Merdeka.com, Pemerintah juga meneruskan inisiatif Saber Pungli, Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, hingga semester I tahun 2018 telah melakukan 2.911 kegiatan Operasi Tangkap Tangan.

Dalam upaya berantas korupsi itu, Presiden Jokowi tidak peduli dengan asal parpol pejabat tersebut. Meski Jokowi berasal dari PDIP, beberapa pejabat asal PDIP pun disikatnya, seperti yang menimpa Bupati Tulungagung Terpilih Syahri Mulyo.

Di sisi lain, dipertanyakan, mengapa pejabat setingkat menteri, Sri Mulyani Indrawati, Puan Maharani, Yasona Laoly, dan Rini Soemarno, serta Megawati Soekarnoputri dan Muhaimin Iskandar, tidak diproses? Padahal, mereka diduga terlibat korupsi.

Acungan jempol tentunya layak diberikan kepada Presiden Jokowi yang telah berani periksa Mensos Idrus Marham terkait dugaan korupsi PLN yang sedang ditangani KPK belakangan ini. Juga, atas dugaan kasus suap Muchammad Romahurmuziy.

Ketua Umum DPP PPP itu diperiksa KPK untuk kasus suap usulan dana perimbangan daerah dalam RAPBN-P 2018. Pada Senin (20/8/2018) diagendakan pemeriksaan atas Ketua Umum DPP PPP Romahurmuziy dalam kasus dana perimbangan daerah.

Kasus-kasus seperti itulah yang harus tetap dipertahankan Jokowi sebagai salah satu bahan yang tetap menarik untuk “dijual”. Kalau persoalan HAM, rasanya tidak akan laku lagi. Apa pun hasilnya, toh Prabowo sudah lolos masuk KPU sebagai capres.

Dan, salah satu persyaratan administrasi seperti SKCK juga sudah dipenuhinya. Artinya, Prabowo tak punya “catatan kriminal”. Yang perlu dipersiapkan Jokowi adalah bagaimana menjawab janji-janjinya saat kampanye Pilpres 2014 dan Nawacita-nya!

Perlu ditatat, Pilpres 2019 bukanlah rivalitas antara Jokowi versus Prabowo semata. Tapi, ini adalah rivalitas gagasan kreativitas daya pikir visi-misi bagaimana memperbaiki kondisi bangsa agar keluar dari keterpurukan ekonomi sehingga menuju negara mandiri!

***