Politik Identitas versus Politik Tanpa Identitas

Sabtu, 18 Agustus 2018 | 23:17 WIB
0
787
Politik Identitas versus Politik Tanpa Identitas

Selagi kubu yang dituduh pengusung politik identitas mulai meninggalkan pola kampanye identitas, eh malah kubu yang menuduh mulai menggunakan politik identitas. Dari mulai menyebarkan riwayat pendidikan Sandiaga Uno sampai mengajak adu sholat antarcapres. Ditambah lagi upaya mendekati HRS yang dulu dituduh sebagai bapaknya kaum radikal.

Tapi anehnya, dari mulut mereka tetap saja mengkampanyekan penolakan terhadap politik identitas. Padahal kubu sebelahnya lagi sibuk bicara politik perawatan wajah dan sibuk bicara soal ekonomi kerakyatan plus soal tenaga kerja.

Okelah kalau begitu. Lawan dari politik identitas adalah politik tanpa identitas. Apakah jenis politik ini yang sedang mereka usung? Politik tanpa identitas kan sama saja dengan politik nggak jelas.

Membanggakan dirinya sudah bekerja nyata, sementara lawannya disebut baru akan bekerja, mereka menyebut program kubu lawan sebagai hayalan. Ini kan kurang lebih sama saja dengan persyaratan –yang sengat pantas- menjadi presiden pada masa orba adalah tokoh yang pernah –berpengalaman- menjadi presiden. Nggak jelas.

Untuk urusan milenial, mereka punya alasan bahwa milenial itu bukan soal usia, tapi juga soal sikap. Mereka memberi contoh sebagai bukti kemilenialan mereka adalah dengan cara berpakaian. Mereka membanggakan diri, beberapa kali di Istana menggunakan alas kaki sneakers dan pakaian T Shirt plus jeans milenial. Maksa banget memang. Nggak jelas.

Untuk urusan duel sholat. Capres lawannya kan sudah beberapa kali pidato di tempat umum, kalau untuk urusan agama dia nyerah, apalagi adu baca Qur’an. Dia tidak ingin pencitraan pura-pura bisa menjadi imam sholat walapun pada bacaan sir (tidak terdengar oleh mamum ) apalagi bacaan zahar ( bacaan yang terdengar mamum). Salah satu persyaratan menjadi imam kan bacaannya harus fasih, minimal bacaannya benar.

Dia tidak mau mamum akan merasa sholatnya cacat gara-gara mendengar bacaan dia salah. Misalnya saat membaca Alfatihah, “An’amta alaihim" dan "waladdholin” dibaca “amta alaihim" dan " walabdolin” seperti video yang dulu viral dan kesalahan membaca Alfatihah pada umumnya. Sudah nyerah, ditantantangin duel. Nggak jelas. La haula wala kuwata illa billah…

Soal politik perawatan wajah ini memang sulit dilawan. Itu sudah takdir. Merupakan karunia Allah. Anggap saja itu bonus.

Cuma dalam politik, bonus politik perawatan wajah hadiahnya lumayan gede. Bapak ganteng SBY sudah mencontohkan hingga terpilih 2 priode. Untuk urusan ciptaan Allah ini lebih baik menghindar saja daripada memaksa melawan dengan membangun narasi, “Emangnya wajah ganteng bisa bikin rakyat makmur?"

Lha iyalah, salahnya ente kemakan ledekan emak-emak. Emangnya nanti pas acara debat cawapres ganteng cuma adu tampang, kan nggak. Pasti adu kepintaranlah. Nenek-nenek juga tahu itu.

Soal mendekati HRS dan mengklaim bahwa merupakan bagian dari 212 biarlah jejak digital yang menjawab. Paling tidak hal itu semakin menunjukkan bahwa politik tanpa identitas memang ada.

Nggak jelas maunya.

***