Manuver Prabowo-Sandi, Temui Wapres Jusuf Kalla Terlebih Dahulu

Jumat, 17 Agustus 2018 | 21:29 WIB
0
630
Manuver Prabowo-Sandi, Temui Wapres Jusuf Kalla Terlebih Dahulu

Media Liputan6.com, Kamis (16/8/2018) memberitakan, Wakil Presiden Jusuf Kalla menepis terkait pertemuannya dengan bakal capres-cawapres, Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno adalah bentuk lobi politik.

JK menegaskan, tidak ada ajakan dari mereka untuk jadi tim pemenangan pada Pilpres 2019. “Enggak. Pertanyaanmu usil saja,” kata JK saat ditanya awak media usai menerima Prabowo-Sandiga di rumah dinasnya, Jalan Diponegoro, Jakarta.

Hal tersebut juga ditepis oleh Prabowo. Menurut penilaiannya, JK terlalu senior untuk jadi ketua tim pemenangannya. “Terlalu senior. Terlalu senior,” sambut Prabowo. JK pun tidak merasa posisinya terjepit sebagai Wapres dan sahabat Prabowo puluhan tahun.

Apalagi kata JK, dengan Sandiaga Uno yang posisinya lebih muda. “Oh tidak, tidak. Saya bilang dua kali bersaing, tapi tetap bersahabat, apalagi Sandi. Lebih junior dari saya,” kata JK. Pada Pilpres 2004, JK berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono.

SBY sebagai capres, sedangkan cawapresnya JK. Kala itu, Prabowo berpasangan sebagai cawapresnya Megawati Soekarnoputri. Nah, pada Pilpres 2014, JK kembali maju sebagai cawapresnya Joko Widodo menghadapi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Pertemuan antara bakal capres-cawapres Prabowo-Sandi dan Wapres JK berlangsung sekitar setengah jam. Menurut Prabowo, pertemuan ini sebagai bentuk silaturahim. JK menyatakan, sebagai wapres ia harus menerima semua pihak yang berkompetisi pada Pilpres 2019.

JK mengaku, bersikap netral saat menerima kedatangan paslon Prabowo-Sandi. Pertemuan itu dinilai hanya sebatas silaturahmi. “Saya ini sebagai Wapres harus berada di semua pihak, tidak bisa berpihak,” tegas JK.

“Sebagai politisi bisa saja kita berpihak tapi sebagai wapres harus menjaga hubungan dengan seluruh elemen bangsa,” lanjut JK usai menerima Prabowo-Sandi, Rabu, 15 Agustus 2018. Pertemuan yang juga dihadiri elit Partai Gerindra itu berlangsung pukul 20.45 WIB.

JK mengaku tetap bersahabat dengan Prabowo dan Sandi meski berbeda pandangan politik. “Ya ini kan politik seperti yang dikatakan Pak Prabowo tadi. Kita hanya bersaing lima tahun, tapi persahabatan puluhan tahun, jadi tidak boleh putus hanya karena lima tahun,” tuturnya.

JK menegaskan pertemuan ini tak membahas ajakan kepada dirinya untuk ikut bergabung di tim pemenangan Prabowo-Sandi. Ia hanya memberi saran agar Pemilu 2019 berjalan baik. Mereka hanya bicara masalah pemilu.

“Tadi kita berbicara tentang bagaimana Pemilu yang baik, jujur, adil, dan demokratis. Itulah yang kita bicarakan,” tandasnya, seperti dilansir Medcom.id. Prabowo-Sandi berencana juga bertemu Presiden Joko Widodo setelah 17 Agustus 2018.

Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto memandang pertemuan itu merupakan hal yang lumrah. Bahkan, jika Prabowo-Sandi ingin bertemu Jokowi, juga pasti diterima. “Jangankan JK, kalau Prabowo-Sandi bertemu dengan Jokowi sebagai Presiden pun pasti akan diterima,” tuturnya.

Dilansir Okezone.com, pernyataan itu disampaikan Hasto di DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (17/8/2018). Hasto menegaskan, menjelang Pilpres 2019 bukan menjadi ajang menutup tali silahturahmi antar tokoh bangsa.

Menurutnya, harus ada konstestasi gagasan, Indonesia tetap dijadikan ruang yang dibahas secara bersama-sama diantara para pemimpin dan rakyat itu sendiri. “Adanya pertemuan tokoh bangsa jangan dipolitisir sebagai alat menjelang pilpres,” tegasnya.

“Jadi jangan politisir dalam setiap pertemuan hanya karena pilpres,” lanjutnya. Pertemuan positif berbicara tentang Indonesia ke depan itu seharusnya memang dilakukan oleh para pemimpin.

Setelah melakukan safari politik ke Wapres JK, Prabowo-Sandi juga bertandang ke Kantor PBNU dan bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj. Bahkan, keduanya juga telah menerima Kartu Anggota NU (KartaNU).

Sehari sebelumnya, Sandiaga menyambangi kediaman politikus senior yang juga mantan Ketum Golkar, Akbar Tandjung, di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kebetulan saat itu Akbar tengah merayakan ulang tahun yang ke-73.

Sejumlah politikus senior Golkar dan kolega Akbar di Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) hadir. Ada juga Ketum Golkar Airlangga Hartarto. Di kediaman Akbar itu ada juga Ferry Mursyidan Baldan.

Sandi pun menggunakan kesempatan itu untuk mengajak mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang itu bergabung menjadi tim kampanye pada Pilpres 2019. Kebetulan, saat itu Ferry yang mantan politikus Golkar dan anggota KAHMI, hadir juga di rumah Akbar.

Sebelum menemui Akbar dan JK, pada Jumat pekan lalu, Sandiaga menemui mantan Ketum Golkar Aburizal Bakrie alias Ical di kediamannya, Jalan Mangunsarkoro, Menteng, Jakarta Pusat. Saat bertemu dengan Ical, Sandi ditemani Erwin Aksa dan Anindya Bakrie.

Politik Santun

Manuver politik Prabowo-Sandi dengan mendatangi Wapres JK tentu saja akan berdampak positif bagi paslon yang diusung Gerindra, PKS, dan PAN, serta didukung Demokrat ini. JK adalah sosok politisi senior yang punya pengaruh kuat di Golkar.

Apalagi, JK juga mantan Ketum Golkar. Ia sangat piawai dalam strategi politik. Strateginya saat memutuskan menjadi cawapres Jokowi pada Pilpres 2014 lalu telah membuktikannya. JK sukses “menolong” Golkar masuk dalam Kabinet Kerja Jokowi-JK.

Pengaruh JK di NasDem juga cukup kuat. Karena, bagaimana pun, kelahiran parpol yang diketuai Surya Paloh ini dalam pentas politik nasional juga berkat peran penting JK, pasca kekalahan Surya Paloh atas Ical ketika Munas Golkar di Riau pada 2009.

Ketika itu, Ical bersaing ketat dengan calon Ketum Golkar lainnya, seperti Surya Paloh dan Yuddy Chrisnandi. Semua tahu, Ical akhirnya memenangi pemungutan suara dengan 296 suara, mengalahkan Surya Paloh yang mengumpulkan 240 suara.

Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto yang ikut dalam kontestasi Munas Golkar itu, seperti halnya Yuddy Chrisnandi, gagal meraih kemenangan. Namun, nasib mujur masih ada pada Yuddy, ia berhasil masuk Kabinet Kerja Jokowi-JK pada 2014.

Meski melalui Hanura, masuknya Yuddy dalam Kabinet Kerja itu tidak lepas dari tangan JK. Setelah menjabat Menteri Pendayaangunaaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, ia kini menjadi Duta Besar Indonesia untuk Ukraina.

Sebagai politisi senior, JK berhasil menarik Golkar yang semula berada di luar pemerintahan, kini bersama Pemerintahan Jokowi-JK. Di Kabinet Kerja ada politisi Golkar seperti Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Sosial Idrus Marham.

Itulah piawainya JK dalam berpolitik, sehingga ia masih bisa diterima setelah tidak bersama lagi dengan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono pada jabatan periode keduanya. Rupanya Prabowo-Sandi melihat strategi politik yang dimainkan JK selama ini.

Makanya, mereka mulai malakukan manuver politik seperti yang dilakukan belakangan ini. Prabowo-Sandi tahu betul, Said Aqil Siraj selaku Ketua Umum PBNU punya peran penting, sehingga mereka wajib sowan ke PBNU dan “diakui” sebagai warga NU dengan KartaNU-nya.

“Politik Santun” yang dilakukan Prabowo-Sandi jelas akan berpengaruh pada tatanan politik NU di tingkat bawah. Jadi, bukan hanya KH Ma’ruf Amin saja yang memegang amanat dari NU, tapi juga Prabowo-Sandi telah mendapat “restu” dari PBNU.

Setidaknya, Prabowo-Sandi dalam hal ini telah mengajarkan bagaimana berpolitik praktis itu secara santun, damai, dan cantik. Bukan politik “adu-domba” dan “pecah-belah”, atau politik “adu-otot”. Tapi, politik tanpa kekerasan, politik anti keributan!

Perlu dicatat, pertarungan kali ini tidak bicara mengenai Jokowi versus Prabowo saja, tapi bicara mengenai perebutan kekuasan untuk 15 tahun ke depan, bicara mengenai kontestasi 3 blok politik besar yang setelah berakhirnya Orde Baru tiga blok ini menguasai perpolitikan di Indonesia.

Megawati dengan PDIP-nya, Prabowo dengan Grindra-nya, dan SBY dengan Demokrat-nya. Sementara Golkar lebih kepada mencari posisi aman saja. Tersingkirnya Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi adalah upaya menghadang kembalinya trah politik Gus Dur.

Mahfud MD dianggap sebagai perwujudan trah politik Presiden Abdurrahman Wahid dalam kancah perpolitikan Indonesia mendatang. Di PKB masih dipegang Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Bukan tak mungkin, Cak Imin bisa tersingkir jika Mahfud MD berkuasa.

Fakta, persoalan Cak Imin dengan PKB-nya akan berkibalat ke mana itu soal lain, dinamis. Jika Jokowi ditakdirkan menang untuk 2019 tentunya PDIP selama 5 tahun akan lebih sibuk memparsiapakan kadernya untuk pilpres berikutnya.

Karena, masa tugas untuk Jokowi sebagaimana yang sering disebut-sebut Megawati sebagai petugas partai sudah berakhir, setelah 2 periode menjabat Presiden. Kiai Ma’ruf tak mungkin akan “maju” Pilpres 2024, karena faktor usia.

***