Perang Dagang AS-Tiongkok Sampai Ke Caviar

Kamis, 9 Agustus 2018 | 07:56 WIB
0
725
Perang Dagang AS-Tiongkok Sampai Ke Caviar

Makanlah caviar. Sesekali. Atau sekali seumur hidup. Sekedar untuk tahu: mengapa Amerika menyasar caviar. Dalam perang dagangnya. Dengan Tiongkok. Sekarang ini.

Di Jakarta hanya ada tujuh restoran yang menawarkan caviar. Dalam menu mereka. Misalnya resto Jepang Oku. Yang di gedung The Plaza. Di jalan Thamrin itu. Atau resto Jepang yang di Kempinski.

Harganya tidak mahal. Untuk ukuran Donald Trump: Rp 2 juta/100 gram. Atau Rp20 juta/kg.

Itu harga caviar mentahnya.

Setelah dimasak tentu lain pula angkanya.

Kini Tiongkoklah produsen caviar terbesar di dunia.

Hampir separo caviar di planet ini datang dari satu danau: Qiandao Hu. Danau Seribu Pulau. Di propinsi Zhejiang. Empat jam jalan darat dari Shanghai.

Luar biasa.

Padahal lihatlah 10 tahun lalu. Tiongkok belum bisa memproduksinya. Sama sekali. Tiongkok belum tahu caviar. Dalam 10 tahun sudah bisa tiba-tiba. Menjadi yang terbesar. Di dunia.

Caviar adalah telur ikan. Ikan sturgeon. Yang beratnya bisa 30 kg. Yang panjangnya bisa 5 meter. Yang umurnya bisa 100 tahun. Lihatlah fotonya. Yang menyertai tulisan ini.

[caption id="attachment_20495" align="alignright" width="521"] Sturgeon (Foto: Disway.id)[/caption]

Dulunya Tiongkok tidak ada dalam peta. Asal caviar terbaik adalah Iran. Lalu Rusia.

Ada satu sungai di Rusia. Yang sangat khas. Yang sturgeon bisa hidup di sungai itu. Ada juga satu danau. Yang begitu besarnya. Sampai disebut laut: Laut Kaspia. Di situlah sturgeon terbaik hidup. Beranak pinak.

Tapi manusia mengejarnya. Menangkapnya. Membunuhnya. Tidak kenal ampun.

Keberadaan sturgeon terancam punah. Caviar kian mahal. Dulu pun rakyat tidak ‘mentolo’ membeli. Melihat harganya. Hanya raja dan kaisar yang mampu menjangkau. Atau elite lainnya.

Jadilah caviar makanan eksklusif. Makanan raja. Kian elite statusnya kian mahal harganya. Kian seru juga perburuannya.

PBB turun tangan. Perburuan sturgeon dilarang. Pada tahun 1992. Caviar kian lama kian langka.

Situasi itulah yang membuat akademi ilmu pengetahuan perikanan Tiongkok melakukan penelitian. Tepat 10 tahun lalu.

Berhasil. Sturgeon bisa dibiakkan. Di danau. Dengan kondisi air tertentu. Akademi itu lantas mencari partner. Swasta tertarik. Pemerintah memberi dukungan penuh. Beberapa danau diteliti. Terpilihlah danau Seribu Pulau itu.

Dasar danau pun diperbaiki. Sekitar danau dibebaskan. Airnya diolah: agar cocok dengan kehidupan sturgeon. Hanya dalam sepuluh tahun. Berhasil menjadi produsen caviar terbesar di dunia. Berkat kesungguhan. Dan ilmu pengetahuan. Dan kemampuan manajemen perusahaan.

Amerika juga mencoba. Di North Carolina. Bukan di danau. Tapi di kolam buatan. Kecil-kecil. Di atas tanah. Lihat foto.

[caption id="attachment_20497" align="alignleft" width="511"]

Aquaculture di AS (Foto: Disway.id)[/caption]

Kini harga caviar di Amerika sedikit lebih mahal. Caviar Tiongkok dikenakan bea masuk 25 persen. Dalam perang dagang sekarang ini.

Tentu tidak masalah. Pemakan caviar tidak pernah melihat harga. Berapa pun bon yang disodorkan akan dibayar. Toh membayarnya tidak dengan uang. Mereka membayarnya dengan angka. Yang ada di struk kartu kredit mereka.

Saat pertama kali makan caviar saya justru tidak tahu: kalau itu caviar. ‘Barang’ itu ada di mangkok kecil yang disajikan. Mangkoknya hanya sedikit lebih besar dari tutup botol. Sekali disendok pun sudah habis.

Saya ‘untal’ saja makanan sesendok itu. Sekali suap. Seharga setengah juta rupiah. Habis. Rasanya gurih-gurih-asin. Agak aneh.

Saya bertanya dalam hati: makanan apa ini. Batin saya: pasti ini makanan orang Eropa.

Saat itu saya lagi di kursi first class. Dalam penerbangan Lufhansa. Dari Singapura ke Frankfurt. Itu 30-an tahun lalu.

Setahun kemudian saya naik Concorde. Dari London ke New York. Yang tiketnya mahal. Tiga kali lebih mahal dari first class. Saya ketemu barang itu di Concorde. Disajikan di mangkok kecil.

Lidah saya masih lidah Magetan. Atau Samarinda. Belum bisa merasakan di mana mahalnya caviar.

Setelah menjadi Dirut PLN saya tidak pernah naik first class lagi. Biar pun bayar sendiri. Malu. Tidak sopan. Apalagi ketika menjadi menteri. Kian jauh dari first class. Kian lupa pula barang itu.

Hanya sesekali ketemu caviar. Di jamuan-jamuan tertentu. Tapi tetap saja tidak tahu di mana mahalnya.

Sesekali makanlah caviar. Lalu beritahu saya: di mana enaknya.

***

Dahlan Iskan