Halal Marketing

Selasa, 31 Juli 2018 | 17:37 WIB
0
888
Halal Marketing

Siang tadi saya makan di restoran Turki di daerah Shibuya, Tokyo. Di papan nama restoran terpampang tulisan “halal” dengan huruf Arab. Ah, ini restoran muslim, pikir saya. Tapi kesan itu cuma sebentar. Ketika saya lihat papan nama itu secara utuh, di bagian bawah saya lihat foto perempuan penari perut, dengan keterangan dalam bahasa Jepang, di restoran itu setiap Selasa malam ada pertunjukan tari perut.

Saya masuk dan memesan menu makan siang. Lalu saya perhatikan suasana dalam restoran. Berbagai botol minuman keras dipajang. Restoran ini menyediakan minuman keras kepada tamu-tamu.

Saya jadi teringat kembali pada label halal di papan nama tadi. Jadi, apa arti label halal itu kalau di sini ternyata disediakan minuman keras dan pertunjukan tari perut? Tentu saja ada yang mencoba menjelaskan, bahwa yang halal adalah makanan yang dihidangkan. Adapun minuman keras tadi disediakan untuk tamu yang bukan muslim. Jelas bahwa minuman itu tidak halal.

Tunggu dulu. Kalau Anda seorang muslim Anda akan tahu bahwa yang haram soal minuman keras itu bukan hanya meminumnya, tapi juga menjualnya. Tentu saja membuatnya pun haram. Menghidangkannya pun haram. Bahkan sekadar duduk dalam pesta yang menyediakan minuman keras juga haram. Paham?

Nah, restoran ini menyediakan minuman keras. Artinya, ia melakukan tindakan haram. Tapi itu kan urusan dia. Yang penting kita tidak memesannya. Soal dia jual minuman keras, biar dia tanggung dosanya.

Sekali lagi, tunggu dulu. Bisakah Anda percaya bahwa orang yang punya restoran ini menjamin kehalalan masakan yang ia jual? Coba pikirkan lagi. Urusan haram untuk dirinya saja dia langgar. Bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa dia benar-benar menjaga kehalalan makanan kita. Paham?

Menurut saya, yang punya restoran ini tidak peduli benar soal halal haram. Ia pasang label “halal” sebagai strategi marketing saja. Dengan label “halal” itu ia akan mendapat tambahan jangkauan pasar. Muslim yang melihat label itu akan memilih untuk makan di situ, dan merasa aman. Bagi pemilik restoran, ini tambahan pasar, sedikit lebih banyak dari calon pelanggan yang tidak peduli soal halal ini.

Yang masuk makan di situ tidak akan rewel seperti saya. Bagi mereka yang penting ada label “halal”. Mereka percaya dengan label itu mereka sudah terlepas dari ancaman siksa karena makan makanan haram. Kalau ternyata makanan yang mereka makan tidak benar-benar halal, yang menanggung dosanya adalah yang menjual makanan.

Inilah sisi menarik soal halal ini, dari sudut pandang marketing. Konsumen tidak peduli benar soal kesahihan label “halal” pada produk yang mereka beli. Pokoknya sudah ada label. Label sudah cukup untuk meyakinkan bahwa mereka bebas dari ancaman siksa neraka. Apalagi kalau labelnya ditulis pakai bahasa Arab.

Adapun penjual, ada yang benar-benar peduli. Mereka percaya bahwa mereka tidak boleh menjual makanan haram. Mereka akan berdosa lebih besar kalau menjual makanan haram, tapi diberi label “halal”.

Tapi itu hanya sebagian. Sebagian yang lain hanya peduli pada terjualnya produk. Terlebih di Indonesia, penjualan mungkin akan merosot bila produk diragukan kehalalannya. (Ada catatan menarik di sini, bahwa Breadtalk dan JCo tetap laris meski tidak pakai label “halal”.) Jadi produsen akan memasang label itu, dan rela membayar untuk mendapatkannya, meski mereka sendiri tidak peduli dengan makanan halal. Tentu saja pengusaha makanan yang bukan orang Islam juga banyak yang memasang label itu.

Di Surabaya saya pernah makan di restoran seperti tadi. Di pintunya terpampang label halal terbita LPOM-MUI. Di dalam saya temukan mereka menjual bir. Dugaan saya pengawas dari MUI yang memberi label itu memaklumi, persis seperti yang saya tulis di atas. Yaitu bahwa yang disertifikasi oleh MUI hanyalah makanannya saja.

Dengan kata lain, kalau pun pemiliknya ternyata muslim, dan menjual barang haram, MUI juga tidak peduli. Bahkan, kalau pun ada muslim yang makan di situ sambil minum bir, MUI juga tidak peduli. Ya iyalah, kan tugas MUI hanya menerbitkan label halal, dan terima duit, bukan? Upst.......

Produsen melayani keinginan konsumen. Definisi kualitas dalam berbagai panduan stadar seperti ISO adalah yang sesuai dengan tuntutan konsumen. Konsumen butuh label “halal”, maka sediakanlah. Ingat, yang dibutuhkan konsumen adalah label. Soal benar halal atau tidak, bukan masalah.

Yang tidak secara langsung dituntut konsumen pun para produsen secara kreatif menyediakannya. Maka muncullah produk-produk halal yang lucu, seperti baju, cat tembok, dan makanan kucing. Bagi produsen, membayar untuk mendapat label “halal” itu murah. Jauh lebih murah daripada potensi penjualan bakal yang didapat.

Tak lama menunggu, hidangan yang saya pesan dihidangkan. Sepiring kebab, dengan roti khas Turki, semangkuk sup, dan selada. Saya tidak perlu bertanya ini kebab pakai daging apa. Yang penting masakan di restoran ini lezat.

***