Ketika saya menulis tentang betapa mesranya hubungan kami dengan para tetangga kami sewaktu kami masih tinggal di kota Padang, ada beberapa komentar yang mengagetkan.
Isinya adalah : "Maaf, yang Pak Effendi tulis, itu kisah lama. Kini Padang sudah berubah total. Sejak politik memasuki kampung halaman kita, semuanya berubah.Tidak ada lagi rasa kebersamaan, semua sudah terpecah belah."
Komentar sejenis bukan hanya datang dari satu dua orang, tapi dari beberapa sahabat lama yang tinggal di beberapa daerah yang berbeda.
Membaca berita menyedihkan ini, saya hanya bisa terdiam. Kalau mengenai kehidupan di Jakarta, tidak usah heran, karena sejak lama sudah terkontaminasi oleh politik yang berhasil merasu ki seluruh lapisan masyarakat.
Kosa kata: "persahabatan" seakan berada di antara tanda kutip. Karena hanya oleh perbedaan pendapat, maka dalam sekejap persahabatan akan pupus secara serta merta.
Bahkan hubungan kekeluargaan sudah tidak lagi memiliki kekuatan untuk menghadapi perpecahan, hanya lantaran berbeda partai. Apalagi bila sudah masuk kepembahasan ranah agama semakin sangat membahayakan karena setiap saat "bom waktu" bisa meledak dan memporakporandakan hubungan baik, yang sudah dijaga selama belasan tahun.
"Virus Politik" Kuasai Ruang Hidup
Politik sudah berhasil menabur bibit perpecahan dan bibit kebencian. Karena itu tidak mengherankan dalam hampir setiap kesempatan orang mulai menabur bibit bibit kebencian.
Menghentikannya dengan cara menerbitkan perda ini dan itu, serta ancaman hukuman hanya merupakan gerakan semu, sekedar memberi stempel, bahwa pemerintah sudah berbuat sesuatu untuk menghentikan hate speech.
Tapi sesungguhnya hal tersebut hanyalah bersifat membohongi diri sendiri. Karena semua orang tahu, menerbitkan perda dan menggertak dengan sanksi hukum ini dan itu, hanyalah sekedar gertak sambal, yang akan sirna, dihembus angin kencang.
Orang mulai takut berbicara tentang kejujuran karena berbicara tentang kejujuran mungkin saja akan ada yang tersinggung. Kalaupun ada satu dua orang yang nekat berani menyuarakan tentang kepincangan yang terjadi maka secara serta merta, lagu lama diputar kembali, yakni mendendangkan lagu : "kapitalisme, asing ,aseng , yahudi dan seterusnya". Dan, semua orang terdiam. Takut dibilang antek kapitalis, antek asing aseng, apalagi bila diberikan stigma antek yahudi".
Dunia Sudah Berubah
Dunia sungguh sudah berubah total, setidaknya dunia yang bernama Indonesia. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa senang dijajah oleh produk yang diciptakan sendiri oleh manusia, yakni kekuatan materi dan kekuasaan yang telah menguasai sendi sendi kehidupan manusia. Uang dan Kekuasaan telah mengeser posisi Tuhan dalam kehidupan manusia.
Upaya mengaktualisasi diri atau pencarian tentang kebenaran sudah dianggap kuno karena orang sudah terpukau oleh hal hal yang gegap gempita. Neraca keadilan dengan mudah distel, sesuai kemauan pemiliknya sehingga yang berat menjadi ringan dan yang ringan menjadi berat.
Kalau ada suara suara yang berani mengingatkan, maka dengan sangat mudah keluarlah kalimat sakti: "tidak demokratis" seolah demokratis sudah menjadi tuhan bagi manusia dizaman now ini. Di era seperti ini, maka orang mencari jalan paling aman, yakni mengaminkan siapapun yang berbicara. Yang penting selamatkan diri .
Tulisan ini bukan imbauan dan pasti bukan kotbah, melainkan hanya ungkapan kegalauan hati dari satu dari antara 245 juta orang Indonesia, yang sedang dalam perenungan dan pencarian untuk mengapai aktualisasi diri di negeri orang.
***
Tjiptadinata Effendi
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews