Politik Sukses Menggerogoti Sendi Kehidupan Manusia

Sabtu, 28 Juli 2018 | 15:26 WIB
0
537
Politik Sukses Menggerogoti Sendi Kehidupan Manusia

Ketika saya menulis tentang betapa mesranya hubungan kami dengan para tetangga kami sewaktu kami masih tinggal di kota Padang, ada beberapa komentar yang mengagetkan.

Isinya adalah : "Maaf, yang  Pak Effendi tulis, itu kisah lama. Kini Padang sudah berubah total. Sejak politik memasuki kampung halaman kita, semuanya berubah.Tidak ada lagi rasa kebersamaan, semua sudah terpecah belah."

Komentar sejenis bukan hanya datang dari satu dua orang, tapi dari beberapa sahabat lama yang tinggal di beberapa daerah yang  berbeda.

Membaca berita menyedihkan ini, saya hanya bisa terdiam. Kalau mengenai kehidupan di Jakarta, tidak usah  heran, karena sejak lama sudah terkontaminasi oleh politik yang berhasil merasu ki seluruh lapisan masyarakat.

Kosa kata: "persahabatan" seakan berada di antara tanda kutip. Karena hanya oleh perbedaan pendapat, maka dalam sekejap persahabatan akan pupus secara serta merta.

Bahkan hubungan kekeluargaan sudah tidak lagi memiliki kekuatan untuk menghadapi perpecahan, hanya lantaran berbeda partai. Apalagi bila sudah masuk kepembahasan ranah agama semakin sangat membahayakan karena setiap saat "bom waktu" bisa meledak dan memporakporandakan hubungan baik, yang sudah dijaga selama belasan tahun.

"Virus Politik" Kuasai Ruang Hidup

Politik sudah berhasil menabur bibit perpecahan dan bibit kebencian. Karena itu tidak mengherankan  dalam hampir setiap kesempatan orang mulai menabur bibit bibit kebencian.

Menghentikannya dengan  cara menerbitkan perda ini dan itu, serta ancaman hukuman hanya merupakan gerakan semu, sekedar memberi stempel, bahwa pemerintah sudah berbuat sesuatu untuk menghentikan hate speech.

Tapi sesungguhnya hal tersebut hanyalah bersifat membohongi diri sendiri. Karena semua orang tahu, menerbitkan perda dan menggertak dengan sanksi hukum ini dan itu, hanyalah sekedar gertak sambal, yang akan sirna, dihembus angin kencang.

Orang mulai takut berbicara tentang kejujuran karena berbicara tentang kejujuran mungkin saja akan ada yang tersinggung. Kalaupun ada satu dua orang yang nekat berani menyuarakan tentang kepincangan yang terjadi maka secara serta merta, lagu lama diputar kembali, yakni mendendangkan lagu : "kapitalisme, asing ,aseng , yahudi dan seterusnya". Dan, semua orang terdiam. Takut dibilang antek kapitalis, antek asing aseng, apalagi bila diberikan stigma antek yahudi".

Dunia Sudah Berubah

Dunia sungguh sudah berubah total, setidaknya dunia yang bernama  Indonesia. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa senang dijajah oleh produk yang diciptakan sendiri oleh manusia, yakni kekuatan materi dan kekuasaan yang telah menguasai sendi sendi kehidupan manusia. Uang dan Kekuasaan  telah  mengeser posisi Tuhan dalam kehidupan manusia.

Upaya mengaktualisasi diri atau pencarian tentang kebenaran sudah dianggap kuno karena orang sudah terpukau oleh hal hal yang gegap gempita. Neraca keadilan dengan mudah distel, sesuai kemauan pemiliknya sehingga yang berat menjadi ringan dan yang ringan menjadi berat.

Kalau ada suara suara yang berani mengingatkan, maka dengan sangat mudah keluarlah kalimat sakti: "tidak demokratis" seolah demokratis sudah menjadi tuhan bagi manusia dizaman now ini. Di era seperti ini, maka orang mencari jalan paling aman, yakni mengaminkan siapapun yang berbicara. Yang penting selamatkan diri .

Tulisan ini bukan imbauan dan pasti bukan kotbah, melainkan hanya ungkapan kegalauan hati dari satu dari antara 245 juta orang Indonesia, yang sedang dalam perenungan dan pencarian untuk mengapai aktualisasi diri di negeri orang.

***

Tjiptadinata Effendi