Pilkada Kita dan "The Power of Emak-emak"

Minggu, 22 Juli 2018 | 08:30 WIB
0
444

“Tahu nggak kenapa Gus Ipul kalah?” demikian seorang teman memulai dialog di sebuah WAG. “Karena istrinya sendiri mendukung Khofifah dengan menyodorkan kopi setiap pagi sambil bilang. “KOPI PAH..!” "Kuno…!” demikian sahut yang lain.

Alhamdulillah, proses pilkada kita tahun ini berjalan lancar dan aman. Saya gembira melihat hasilnya karena ini benar-benar menunjukkan bahwa rakyat bukan hanya mencoblos tapi benar-benar memilih dulu siapa calon pemimpin yang ingin ia coblos. Ini sungguh kemajuan bagi bangsa Indonesia.

Dulu di jaman Orde Baru juga ada pemilu tapi sebenarnya kita tidak memilih. Jaman itu kepolisian masih di bawah TNI dan TNI belum netral. Apalagi PNS. Semua masih di bawah ketiak Soeharto. Jadi meski pun jadwal pencoblosan belum selesai beberapa daerah sudah mengumumkan kemenangan Golkar yang sembilan puluh sekian persen. Pokoke sak karepe Golkar aelah mau menang seberapa telak waktu itu.

Saya ingat pada tahun 1992 sedang ada pemilu legislatif dan saya sedang berhaji ikut perusahaan PT Badak NGL Co. Meski demikian kami dapat kertas suara untuk kami coblos di Tanah Suci yang dititipkan pada ketua kelompok. Eh, lha kok salah seorang teman haji punya inisiatif brilyan mau mewakili mencobloskan kami semua.

“Oke, semua Golkar 'kan… Saya coblosin aja ya…!” Seingat saya semua teman setuju kecuali saya. Saya langsung protes dan tidak bersedia dicobloskan. Yok opo sih karepe wong-wong iki…! Enak aja…!

Sekarang TNI, Kepolisian, dan PNS sudah netral jadi rakyat bisa benar-benar memilih siapa pemimpin yang ia inginkan. Perkara siapa pun yang mendapatkan suara terbanyak ya kita harus menerimanya karena itulah sistem pemilihan kepala daerah dan presiden yang kita sepakati.

Jangan hanya mau menerima demokrasi kalau hasilnya cocok dengan pilihan kita tapi menolak kalau tidak cocok.

Jangan kayak jaman khalifah Ali bin Abi Thalib yang sudah dibaiat tapi kemudian digugat oleh kelompoknya Muawiyah sehingga terjadi perang antarumat Islam. Belakangan Khalifah Ali malah dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam karena tidak setuju dengan keputusannya.

Di zaman demokrasi ini tidak perlu pakai kekerasan dan pembunuhan. Kalau gak cocok ya tunggu lima tahun lagi untuk nyoblos pemimpin yang diinginkan. Santai ae, Bro…!

Saya senang karena Khofifah dan Emil Dardak menang meski agak sedih bahwa Mas Sudirman Said kalah. Saya kenal dengan Sudirman Said (dengan Ganjar tidak) dan kami pernah bersama merumuskan Gerakan Indonesia Membaca (GIM) yang akhirnya menjadi Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ketika dia masih aktif di MTI sebelum jadi mentri. Jadi saya pikir akan asyik juga kalau tambah lagi teman saya yang jadi gubernur.

Anies Baswedan itu teman juga dan kemarin Mas Didik Suprayitno, teman lama saya, sempat menjadi Gubernur Lampung sebagai Pejabat Sementara. Kalau Sudirman Said menang 'kan saya bisa nggedabrus ngaku-ngaku di WA, “Sudirman Said iku koncoku plek, rek! Onok telu koncoku sing dadhi gubernur.” Maklum mental wong ndeso jadi masih senang ngaku-ngaku punya kenalan pejabat. Wong ketemuan cuma dua atau tiga kali aja sudah ngaku ‘konco plek’. Asu, kan…!

Salah seorang teman sebelumnya sudah meramalkan bahwa Khofifah yang bakal menang. Ketika saya tanya dia bilang bahwa sebenarnya di Jatim yang bertarung itu bukan Gus Ipul dan Khofifah tapi Emil Dardak dan Puti. Gus Ipul dan Khofifah itu dianggap tidak ada bedanya alias fifty-fifty. Yang mana pun di antara mereka yang naik sama saja di mata warga NU. We can take either.

Jadi yang menjadi pertimbangan adalah pasangan mereka. Dan warga Jatim menganggap Emil Dardak yang doktor lulusan Jepang itu lebih mewakili aspirasi mereka dan valuenya jauh lebih tinggi kalau dibandingkan dengan Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno alias Puti Soekarno yang tidak mereka kenal. Banyak yang bilang bahwa Puti itu terlalu dipaksakan untuk masuk ke Jatim.

Puti is dead card,” kata teman saya. “Maksudmu ‘kartu mati’…?!” tanya saya. Arek-arek iki bahasa Inggrise pating pecothot tapi sok nginggris juga. Sekelas dengan bahasa Inggris ‘my body is not delicious’, aku gak enak awak, rek!

Saya juga gembira bahwa Nurdin Abdullah memenangkan pemilihan di Sulsel. Meski tidak kenal tapi sudah jatuh cinta padanya ketika berkunjung ke Bantaeng dan mendengar banyak hal-hal positif yang dilakukannya ketika menjadi Bupati Bantaeng. Sayang sekali bupati jagoan saya yang lain, Abdullah Azwar Anas, tidak jadi naik ke provinsi. Tapi masih ada waktu baginya kali lain.

Lagipula kasihan Banyuwangi kalau ditinggal olehnya sebagaimana kasihan Surabaya kalau ditinggal Bu Risma. Masiyo sangar tapi Bu Risma iku dicintai mati-matian karo arek Suroboyo.

Sebagai warga Surabaya dan Jatim saya sungguh gembira bahwa saya akan dipimpin oleh emak-emak. Now we really have the Power of Emak-Emak, Bu Risma dan Bu Khofifah. Apalagi kalau nantinya dapat bonus seorang Ketua PKK Jatim mantan artis, yaitu Arumi Bachsin.

Kumplit wis…!

***