Kasus Suap Blitar-Tulungagung Menyebar ke Provinsi dan Trenggalek?

Sabtu, 21 Juli 2018 | 16:10 WIB
0
1220
Kasus Suap Blitar-Tulungagung Menyebar ke Provinsi dan Trenggalek?

Pada Jum’at, 20 Juli 2018, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali ke Tulungagung untuk menggeledah rumah Kepala Seksi Perjalanan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Agus Sulistyono di Jl. Teuku Umar, Tulungagung.

Sekitar 30 menit sejumlah penyidik komisi antirasuah itu melakukan penggeledahan di kamar dan ruangan rumah Agus Sulistyono. Tapi, karena tidak menemukan barang bukti tambahan baru, tim penyidik KPK akhirnya dari keluar rumahnya di Kelurahan Kauman ini.

Selain rumah Agus, tim KPK yang lain dikabarkan juga melakukan penggeledahan di gudang milik tersangka Agung Prayitno, kontraktor yang ditangkap pertama kali dalam OTT kasus gratifikasi ini di rumah pengusaha Susilo Prabowo di Kota Blitar, akhir Ramadhan lalu.

Namun di gudang milik Agung Prayitno ini pun informasinya tim KPK tak membawa berkas ataupun barang bukti baru setelah beberapa lama melakukan penggeledahan. Mengutip Antaranews.com, tim KPK telah berada di Tulungagung sejak Rabu (18/7/2018).

Menurut Kapolres Tulungagung AKBP Tofik Sukendar, tim KPK melakukan serangkaian operasi lapangan (penggeledahan) untuk mencari bukti tambahan guna menambah alat bukti menjerat Bupati Terpilih Syahri Mulyo dan Kepala Dinas PUPR Tulungagung Sutrisno.

Keduanya kini mendekam di tahanan KPK. Namun, dalam penggeledahan tersebut tim KPK tidak menemukan bukti baru terkait kasus gratifikasi yang diterima Bupati Tulungagung yang terpilih kembali dalam Pilkada Serentak 2018, 27 Juni 2018, lalu itu.

“Hari ini KPK melakukan penggeledahan terkait dengan kasus dugaan suap proyek pekerjaan di Pemkab Tulungagung,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (19/7/2018), seperti dikutip dari Merdeka.com.

Sebelumnya, dalam kasus tersebut, KPK menetapkan Bupati nonaktif Tulungagung Syahri Mulyo sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung.

Dia ditetapkan tersangka bersama tiga orang lainnya yakni, pihak swasta Agung Prayitno, Kadis PUPR Tulungagung Sutrisno, dan pihak pemberi suap Susilo Prabowo yang bernama asli Embun alias Embun Prabowo tersebut.

Diduga, Syahri Mulyo menerima suap sebesar Rp 2,5 miliar dari kontraktor Susilo Prabowo melalui perantara Agung Prayitno. Uang tersebut merupakan commitment fee atas pemulusan proyek pembangunan infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas PUPR Tulungagung.

KPK menetapkan Bupati Tulungagung non-aktif Syahri Mulyo atas kasus dugaan suap yakni di Pemkab Tulungagung dan Walikota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar terkait dugaan gratifikasi di Pemkot Blitar.

Keduanya ditetapkan tersangka karena menerima fee proyek terkait pengadaan barang dan jasa pada 2018. Penggeledahan di kediaman para tersangka telah pula dilakukan tim penyidik KPK di Tulungagung dan Blitar.

Penggeledahan pertama digelar di daerah Tulungagung pada Selasa (3/7/2018). Tim penyidik menggeledah 5 tempat yakni: rumah Sutrisno (Kadis PUPR Kabupaten Tulungagung), Agung Prayitno (Tim Sukses Syahri Mulyo), Sukarji (Kabid PUPR Kabupaten Tulungagung);

Rumah Syamrotul Fuad (Kepala ULP Kabupaten Tulungagung), dan rumah Wahyudiana (Kasi Perencanaan Jalan Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung). Dari lima lokasi itu, KPK menyita perangkat elektronik, dokumen kontrak, dan dokumen catatan keuangan.

Sementara itu, KPK menggeledah tiga lokasi di Blitar, Rabu (4/7/2018). Yakni: Rumah Eko Yongtono di TGP 25C Blitar, Kantor Moderna, Jl. Garum Blitar Kota, Kantor Sarana Multi Usaha Jl. Anjasmoro Blitar Kota.

Dari tiga lokasi tersebut, KPK menyita dokumen keuangan perusahaan dan dokumen catatan kerja perusahaan. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan, penetapan tersangka ini bermula dari operasi tangkap tangan atau OTT yang dilakukan KPK.

OTT itu berawal pada Rabu (6/6/2018) sekitar pukul 17.00 WIB. Tim KPK mendapatkan informasi akan adanya penyerahan uang dari Susilo Prabowo kepada swasta Agung Prayitno melalui istri Susilo Prabowo, Andriani di kediaman Susilo Prabowo di Blitar.

“Setelah menerima uang sebesar Rp 1 miliar, AP (Agung Prayitno) meninggalkan kediaman SP (Susilo Prabowo). Saat meninggalkan kediaman SP, tim KPK mengamankan AP di depan rumah SP bersama uang Rp 1 miliar yang dimasukkan dalam kardus,” kata Saut.

Potensi Terlibat

Jika ingin membongkar kasus Kota Blitar hingga tuntas, KPK perlu juga memeriksa beberapa nama pejabat yang berpotensi terlibat di semua kasus tipikor yang berlangsung di Kota Blitar. Dari termuan di lapangan, setidaknya ada 18 orang pejabat yang perlu diperiksa.

Yaitu: 1. NS, “bendahara tidak resmi” Walikota Blitar non-aktif; 2. RW, “Dia yang mengatur arus lalu-lintas keuangan Walikota Blitar non-aktif,” ungkap sumber Pepnews.com; 3. HP, ini yang mengatur proses lelang/tender proyek infrastruktur daerah;

4. MS, yang mengatur arus lalu-lintas proyek infrastruktur pendidikan daerah, termasuk penataan dan “lelang” jabatan kepala sekolah; 5. Ac, yang mengatur tender infrastruktur daerah bersama Kepala Dinas PU agar terlihat legal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. WES, dia sudah lama terdeteksi sebagai orangnya SP, kontraktor yang jadi tersangka di dalam kasus tipikor sekarang; mengatur tender agar tidak bisa kompetitor SP mengikuti tender;

7. Mjt, yang mengatur arus lalu-lintas LPSE, untuk mengamankan kepentingan SP, bekerja sama dengan WES; 8. Ar, mengatur infrastruktur proyek-proyek pembangunan/rehabilitasi pasar untuk kepentingan Walikota Blitar dan SP;

9. Suh, yang mengatur untuk mempersulit perizinan para kompetitor SP guna menghambat mereka mengikuti tender; 10. Syt, yang mengatur jual-beli jabatan dari Kepala Dinas hingga Lurah melalui formulasi “lelang jabatan” agar terlihat legal, dan sekaligus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan outsourcing;

11. Ketua dan Wakil-wakil Ketua DPRD Kota Blitar. Mereka ikut main di dalam permainan outsourcing, lelang jabatan, dan penganggaran proyek-proyek infrastruktur daerah untuk mengamankan kepentingan SP;

12. Ketua dan anggota Komisi I DPRD Kota Blitar. Mereka ikut bermain di dalam pengadaan jabatan (lelang) hingga mutasi para tenaga pendidikan; dikomandani putera Walikota Blitar non-aktif;

13. Ketua dan anggota Komisi III DPRD Kota Blitar. Mereka terlibat di dalam pengamanan proyek-proyek infrastruktur untuk kepentingan SP melalui tugas pengawasan; 14. HS yang pertama membuat proteksi untuk pemenangan perusahaan-perusahaan SP saat lelang proyek.

15. EYS, dia operator lapangan, yang menyediakan pembanding/perusahaan-perusahaan yang disiapkan untuk dikalahkan oleh perusahaan-perusahaan SP; baik disengaja maupun tidak disengaja;

16. Ang, preman orang suruhan EYS; 17. M, kontraktor, Ketua PP Kabupaten Blitar. Dia kompetitor sekaligus rekan kerja sama SP di bawah kendali LNMM untuk proyek-proyek infrastruktur Pemprov Jatim di wilayah eks-Karesidenan Kediri.

18. EY, menantu SP. Kediaman dan kantornya sudah digeledah oleh KPK beberapa waktu lalu. “Mungkin masih ada lagi dalam proses pengembangan dan pendalaman di lapangan,” lanjut sumber Pepnews.com tadi.

Kabar mengejutkan justru datang dari pengakuan Embun alias Susilo Prabowo ini. Menurut dia, Gubernur Jatim dan Wagub Jatim serta Bupati Trenggalek disebut-sebut juga menerima suap dari SP.

Suap tersebut dibawa melalui kurir untuk memuluskan sejumlah proyek infrastruktur yang ingin dikerjakannya di Jatim dan Trenggalek. Proyek infrastruktur di Jatim untuk wilayah Blitar Raya, Tulungagung, dan Trenggalek bersumber dari APBD Provinsi Jatim.

Dan, proyek infrastruktur di Kabupaten Trenggalek bersumber pula dari APBD Kabupaten Trenggalek. Sistem yang diterapkan Embun adalah sistem “tanam saham” di mana Embun sudah menaruh sejumlah uang sebagai persekot awal atas proyek-proyek infrastruktur yang diincarnya.

Sistem “tanam saham” Embun sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak proses pencalonan figur-figur tersebut ketika menjadi calon kepala daerah di dalam proses pilkada beberapa tahun silam.

Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah botoh atau bandar. Dengan kata lain, Embun ikut menjadi sponsor pencalonan figur-figur tersebut melalui kekuatan dananya untuk kemudian mendapatkan jatah proyek sebagai gantinya.

Hal ini berlaku pula kepada Walikota Blitar dan Bupati Tulungagung. Dus, berlaku pula untuk sejumlah kepala daerah di wilayah “kekuasaan” Embun seperti Kabupaten Blitar melalui “anak emas/anak didiknya”: Wakil Bupati Blitar.

Bahkan, untuk mengamankan proyek incarannya itu, Embun juga mendanai “orang-orang potensial” untuk menjadi pimpinan DPRD, fraksi maupun komisi DPRD setempat. Oleh karena itu, proyek-proyek yang digarap Embun bisa terlihat benar-benar aman dari berbagai seginya, terutama dari segi anggaran, program, dan kegiatannya.

Sehingga, terlihat legal walaupun ditempuh melalui cara-cara yang “ilegal”. Itulah rangkaian modus operandi yang selama ini dilakukan oleh Embun, namun baru kali ini skandalnya bisa terbuka dengan jelas di publik setelah ia ditangkap KPK.

***