Tentang Sakitnya SBY

Jumat, 20 Juli 2018 | 06:27 WIB
0
630
Tentang Sakitnya SBY

Apa hal yang paling melelahkan buat seorang politikus? Gerak-gerik! Bergerak tidak, bergerik kagak.

Saya tidak tahu kenapa kata-kata jadul dari masa lalu banyak yang jatuh harga, contohnya gerak-gerik ini, yang selalu berkonotasi negatif. Ada sinonimnya yang diangkut dari bahasa asing yaitu manuver. Tapi kata ini pun sebenarnya istilah dalam dunia penerbangan militer, khususnya pesawat jet tempur. Contoh kalimatnya: seorang pilot melakukan manuver jungkir balik....

Dan sejak turun empat tahun lalu sebagai Presiden, tak ada politikus yang paling rajin melakukan manuver selain Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia tampak diam di awal kemenangan Jokowi, tapi sebenarnya gerak gerik-nya ke mana-mana. Saking banyak manuver, ia memutuskan untuk "sok netral" di awalnya. Walau kemudian terbukti dengan akalnya untuk menjadikan DPR sebagai periode paling omong kosong dalam sejarah lembaga parlemen di Indonesia.

DPR yang menghasilkan figur-figur pimpinan paling buruk dalam sejarah lembaga wakil rakyat. DPR berada di tangan orang-orang seperti Setya Novanto, Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Dan hasilnya: SN sudah dikorbankan melalui kasus KTP-El, FH konon gak ada lain yang mengangkut sebagai caleg pasca dipecat partainya, dan yang tak pernah disadari FZ yang membonsai partainya sendiri sebagai partai gurem yang kehilangan daya pikat.

Itulah output politik gerak-gerik, yang sebenarnya hanya bergerak mencari momentum, tidak pernah sama sekali punya ide orisinal apalagi kecerdasan kreatif.

Bagi saya, sebagai periset yang mengikuti gerak-gerik SBY selama nyaris 20 tahun terakhir. Sebenarnya sakitnya SBY bukanlah kali pertama ia "playing victim". Saking hapalnya pada gayanya, saya sampai menemukan istilah lokal yang lebih pas: politik adol welas, menjual belas (kasihan; sic!).

Dalam kultur Jawa kuno, salah satu kehinaan yang paling dihindari oleh golongan ksatria adalah mencari belas kasihan. Mereka yang masih memegang prinsip kehormatan akan lebih suka berkalang tanah, daripada harus memohon ampun apalagi merengek minta pengasihan.

Saat ini, SBY terjebak dalam ilmu yang selama ini diagungkannya sebagai perwira tinggi militer. Ia terperangkap dalam konsep teritorial, yang selama ini berhasil dimainkannya mulai dari nyalon Presiden. Hingga bertahan dalam sepuluh tahun: ofensif selama lima tahun pertama, tapi defensif dalam lima tahun berikutnya.

Harusnya setelah itu, ia mencontoh "bapak"-nya untuk berhenti dan merasa cukup. Namun ketakutan akan resiko sebagai presiden pertama yang "diadili", karena sekeranjang kasus korupsinya, membuatnya terus menerus melakukan gerak-gerik. Dan ia melakukan blunder, dengan memaksa anak sulungnya keluar dari dinas kemiliteran. Tampak sekali ia panik!

Kepanikannya itulah yang berhasil kita manfaatkan dengan bermain di sosial media untuk mengucilkan popularitas anaknya dalam Pilkada DKI kemarin lalu. Walau kemudian ia ganti menghancurkan Ahok, menenggelamkan dalam permainan bergaya kelompok ultra nasionalis. Buk!

Lalu apa to modalnya SBY, kok masih sedemikian giat bermanuver?

Pertama, tentu saja uang. Kalau Anas Urbaningrum sebagai pecatan partainya, tanpa jabatan birokratis apapun saja dalam sependek jabatan sebagai Ketua Partai Demokrat bisa mengumpulkan dana 2T. Bisa dibayangkan berapa yang berhasil dimobilisasi keluarga Cikeas ini.

Kedua, sebagai kaki tangan Amerika, tentu saja membuatnya selalu merasa punya celah untuk bermain intrik. Ini terlihat jelas, ketika ia seolah kesal ketika Jokowi tak kunjung menentukan sipa yang akan jadi Cawapresnya. Dan inilah satu-satunya celah yang masih ia miliki.

Ketiga, yang ini masih banyak diabaikan masyarakat. Kasus KTP-El itu tidak saja membuat ia punya akses kepada lembaga semodel KPU, tetapi juga memiliki potensi untuk "membeli suara" secara elektronik.

Untuk sedikit menyegarkan ingatan, kasus tercecernya KTP-El di Bogor beberapa waktu lalu. Itu sebuah kecelakaan? Bukan itu sebuah preseden, bahwa sebenarnya sudah diketahuinya di mana disimpannya blangko kosong KTP-El yang konon berjumlah 100 juta lembar itu. Terbukti permainan intelejen ini, membuat Jawa Barat tidak bisa ditekuk oleh permainan KTP.

Bila kita sedikit berandai-andai, seandainya kasus ini bisa diledakkan sebelum Pilkada DKI, tentu cerita tentang Ahok akan lain. Namun bagi sebagian orang yang ngerti, memang Ahok sebaiknya dipenjaran saja. Dikorbankan untuk besok-besok ditampilkan sebagai "tabungan" setelah era Jokowi berakhir. Halah!

Lalu kenapa SBY sakit juga? Dengan segudang potensi dan modalitas seperti itu, ia tetap gagal unjuk kekuatan. Bahkan sekedar untuk membuat poros ketiga, berjudi membuat perimbangan. Pilkada kemarin contohnya, kader-kader asli partainya tumbang di banyak tempat. Kalaupun ikut menang cuma sebagai penggembira.

Dalam Pilpres besok, partai-partai yang didekatinya rupanya sudah mahfum dengan gayanya bermanuver. Dan tentu saja motif di belakangnya. Hingga ia harus menjilat ludahnya sendiri untuk mau "berdamai" dengan Prabowo Subianto, yang secara emosional sebelumnya muskil bisa jadi satu kubu.

Satu hal yang saya herankan, kenapa kedua mereka ini tidak bisa memahami gaya politik orang Jawa yang disebut strategi supit urang yang dijalankan Jokowi. Keduanya terjebak dalam permainan menyerang, padahal musuhnya tidak pernah mau diajak bermain terbuka di tengah laga.

Jokowi selalu menunggu musuh menyerang, lalu melalui dua sisi ia mencapit, menjepit habis musuhnya. Sebagian dibunuhnya, sebagian lagi dibuat menyerang balik tuannya sendiri, sebagian lagi berbalik bergabung.

Gaya seperti ini membuat musuhnya kelelahan dan frustasi.

Dan itulah yang terjadi pada SBY.

***