Dari Polemik Gaji BPIP dan Mimpi Terbentuknya "Single Salary System"

Minggu, 8 Juli 2018 | 06:34 WIB
0
777
Dari Polemik Gaji BPIP dan Mimpi Terbentuknya "Single Salary System"

Masalah gaji anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila ( BPIP) yang dilihat terlalu besar sempat ramai dibicarakan. Perbincangan ini menjadi hangat karena ada nuansa politisnya. Bayangkan, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP diberitakan mendapatkan hak keuangan atau gaji Rp 112.548.000 per bulan, gaji yang konon lebih besar dari gaji Presiden. Sedangkan jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000 per bulan.

Nama-nama besar anggota Dewan Pengarah seperti Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya, tentu saja juga terkena getahnya. Saya tak terbayang betapa sulitnya Yudi Latif yang menjabat Kepala BPIP saat itu yang diberitakan mendapat gaji Rp 76.500.000 dengan adanya berita yang tersebar ini.

Usut punya usut, berita ini bersumber dari Peraturan Presiden nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP) yang diteken Presiden Joko Widodo pada 23 Mei 2018.

Berita ini, tentu saja menjadi makanan empuk para politisi dan kalangan oposan yang bersebrangan dengan pemerintahan Jokowi. Kesan yang muncul, betapa tak adilnya pemberian gaji sebesar itu bila dibandingkan dengan penghasilan para PNS dan bahkan pejabat lain (presiden, menteri, dirjen dll) yang nampaknya memiliki tanggung-jawab tak kalah besarnya. Apalagi mereka harus bekerja penuh waktu, dan dituntut memiliki keahlian teknis tinggi? Ada ketidakadilan dalam penetapan gaji semacam ini.

Saya tak ingin masuk dalam ranah politisasi berita ini. Namun yang jelas, masalah sistem penggajian di negeri ini memang kacau sejak lama. Sesama gaji PNS dengan pangkat sama, besarannya bisa berbeda. Coba bandingkan gaji pegawai Kementrian Keuangan dengan gaji pegawai kementrian lain. Pasti berbeda.

Juga bandingkan gaji seorang menteri atau bahkan dirjen dengan gaji direktur BUMN (yang perusahaannya rugi sekalipun). Padahal direktur BUMN secara strukural berada di bawah menteri atau dirjen. Bumi langit perbedaan gajinya.

Kita pun tahu, para pejabat yang gajinya relatif rendah itu, bisa jadi memiliki "take home pay" yang besar juga. Dari mana? Bisa jadi diperoleh dari dana operasional, uang perjalanan dinas, fasilitas-fasilitas lain, atau bahkan dari gaji jabatan lain yang memiliki kaitan dengan jabatannya yang ia emban. Sebagai contoh, seorang dirjen di suatu kementrian bisa jadi menjabat sebagai komisaris di beberapa BUMN yang harusnya diawasinya.

Gaji sebagai komisaris bisa jadi lebih besar daripada gaji yang diterimanya sebagai dirjen. Jangan tanya soal "conflict of interest". Negeri ini kelihatannya tak peduli dengan masalah satu ini. hehe

Inikah yang menjadi biang keladi kacaunya sistem penggajian di negeri ini? Oleh karena itu upaya menertibkan system penggajian perlu dilakukan.

Diskusi masalah gaji BPIP yang dianggap bermasalah ini harusnya dilanjutkan dengan upaya lebih serius membangun "single salary system" yang sudah banyak dibahas itu. Bila tidak, rasa ketidakadilan akan terus tumbuh di banyak kalangan akibat perbedaa gaji ini.

Saat ini, Yudi Latif sudah mundur sambil mengungkapkan bahwa sejak awal ia bekerja ia belum digaji. Bahkan anggaran operasional BPIP juga belum turun. Wakil Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah memberikan keterangan bahwa Megawati Soekarnoputri sendiri tak tahu berapa gaji yang akan ia terima saat ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP). Mahfud MD juga bereaksi, bahkan memperlebar keributan dengan menunjuk salah satu partai politik yang dianggap menjadi sumber keributan ini. Ada indikasi politisasi terjadi.

"Hingga saat ini, sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, Bu Mega dan pimpinan BPIP lainnya juga tidak pernah tahu besaran gaji ataupun hak-hak keuangan yang diberikan kepada mereka dan tidak pula pernah mengusulkan berapa besar gaji mereka, apalagi meminta-minta gaji kepada pemerintah," kata Basarah dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin, 28 Mei 2018.

Bagi saya, sekali lagi, sumber keributan adalah tak adanya sistem penggajian yang baik. Semrawut. Solusinya, sekali lagi, adalah pentingnya membangun "single salary sistem".

Bila upaya ini dilakukan, selain menghindari keributan di masa depan, juga (siapa tahu) akan mengubah gaji para dosen seperti saya..hehe...yang hingga hari ini menerima gaji jauh lebih rendah daripada seorang lurah di DKI atau di Tangerang. Hahaha....(gaji kecil, insya Allah, walau tak menentu, tapi income sampai saat ini cukuplah... harus bersyukur).

***