Masalah gaji anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila ( BPIP) yang dilihat terlalu besar sempat ramai dibicarakan. Perbincangan ini menjadi hangat karena ada nuansa politisnya. Bayangkan, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP diberitakan mendapatkan hak keuangan atau gaji Rp 112.548.000 per bulan, gaji yang konon lebih besar dari gaji Presiden. Sedangkan jajaran Anggota Dewan Pengarah masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000 per bulan.
Nama-nama besar anggota Dewan Pengarah seperti Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya, tentu saja juga terkena getahnya. Saya tak terbayang betapa sulitnya Yudi Latif yang menjabat Kepala BPIP saat itu yang diberitakan mendapat gaji Rp 76.500.000 dengan adanya berita yang tersebar ini.
Usut punya usut, berita ini bersumber dari Peraturan Presiden nomor 42 Tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ( BPIP) yang diteken Presiden Joko Widodo pada 23 Mei 2018.
Berita ini, tentu saja menjadi makanan empuk para politisi dan kalangan oposan yang bersebrangan dengan pemerintahan Jokowi. Kesan yang muncul, betapa tak adilnya pemberian gaji sebesar itu bila dibandingkan dengan penghasilan para PNS dan bahkan pejabat lain (presiden, menteri, dirjen dll) yang nampaknya memiliki tanggung-jawab tak kalah besarnya. Apalagi mereka harus bekerja penuh waktu, dan dituntut memiliki keahlian teknis tinggi? Ada ketidakadilan dalam penetapan gaji semacam ini.
Saya tak ingin masuk dalam ranah politisasi berita ini. Namun yang jelas, masalah sistem penggajian di negeri ini memang kacau sejak lama. Sesama gaji PNS dengan pangkat sama, besarannya bisa berbeda. Coba bandingkan gaji pegawai Kementrian Keuangan dengan gaji pegawai kementrian lain. Pasti berbeda.
Juga bandingkan gaji seorang menteri atau bahkan dirjen dengan gaji direktur BUMN (yang perusahaannya rugi sekalipun). Padahal direktur BUMN secara strukural berada di bawah menteri atau dirjen. Bumi langit perbedaan gajinya.
Kita pun tahu, para pejabat yang gajinya relatif rendah itu, bisa jadi memiliki "take home pay" yang besar juga. Dari mana? Bisa jadi diperoleh dari dana operasional, uang perjalanan dinas, fasilitas-fasilitas lain, atau bahkan dari gaji jabatan lain yang memiliki kaitan dengan jabatannya yang ia emban. Sebagai contoh, seorang dirjen di suatu kementrian bisa jadi menjabat sebagai komisaris di beberapa BUMN yang harusnya diawasinya.
Gaji sebagai komisaris bisa jadi lebih besar daripada gaji yang diterimanya sebagai dirjen. Jangan tanya soal "conflict of interest". Negeri ini kelihatannya tak peduli dengan masalah satu ini. hehe
Inikah yang menjadi biang keladi kacaunya sistem penggajian di negeri ini? Oleh karena itu upaya menertibkan system penggajian perlu dilakukan.
Diskusi masalah gaji BPIP yang dianggap bermasalah ini harusnya dilanjutkan dengan upaya lebih serius membangun "single salary system" yang sudah banyak dibahas itu. Bila tidak, rasa ketidakadilan akan terus tumbuh di banyak kalangan akibat perbedaa gaji ini.
Saat ini, Yudi Latif sudah mundur sambil mengungkapkan bahwa sejak awal ia bekerja ia belum digaji. Bahkan anggaran operasional BPIP juga belum turun. Wakil Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ahmad Basarah memberikan keterangan bahwa Megawati Soekarnoputri sendiri tak tahu berapa gaji yang akan ia terima saat ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP). Mahfud MD juga bereaksi, bahkan memperlebar keributan dengan menunjuk salah satu partai politik yang dianggap menjadi sumber keributan ini. Ada indikasi politisasi terjadi.
"Hingga saat ini, sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP, Bu Mega dan pimpinan BPIP lainnya juga tidak pernah tahu besaran gaji ataupun hak-hak keuangan yang diberikan kepada mereka dan tidak pula pernah mengusulkan berapa besar gaji mereka, apalagi meminta-minta gaji kepada pemerintah," kata Basarah dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin, 28 Mei 2018.
Bagi saya, sekali lagi, sumber keributan adalah tak adanya sistem penggajian yang baik. Semrawut. Solusinya, sekali lagi, adalah pentingnya membangun "single salary sistem".
Bila upaya ini dilakukan, selain menghindari keributan di masa depan, juga (siapa tahu) akan mengubah gaji para dosen seperti saya..hehe...yang hingga hari ini menerima gaji jauh lebih rendah daripada seorang lurah di DKI atau di Tangerang. Hahaha....(gaji kecil, insya Allah, walau tak menentu, tapi income sampai saat ini cukuplah... harus bersyukur).
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews