Petral, "Integrated Supply Chain" dan Korupsi Daging Sapi

Sabtu, 7 Juli 2018 | 09:11 WIB
0
619
Petral, "Integrated Supply Chain" dan Korupsi Daging Sapi

Petral dulu menarik commitment fee US$ 2/barel untuk setiap import minyak sebesar 800.000/barel per hari. Negara dirugikan hingga Rp21,6 milyar per hari atau sekitar Rp7,8 T per tahun. Praktek itu berjalan sudah lama sekali. Sejak jaman Pak Harto hingga Petral dibubarkan di jaman Jokowi.

Apa peran Petral sebenarnya? Broker. Penghubung atau perantara pada jual beli minyak antara provider di LN dengan user di dalam negeri, dalam hal ini adalah Pertamina.

Mungkin Anda bertanya, kenapa Pertamina nggak beli langsung saja minyak dari provider di LN? Apa nggak ada orang pinter di Pertamina yang bisa melakukan negoisasi langsung dengan provider di LN?

Tentu saja ada dan bahkan banyak sekali orang pinter di Pertamina.

Tetapi memang, regulasi pemerintah mengharuskan Pertamina tidak boleh membeli langsung minyak dari LN. Pertamina harus mengambil dari pihak ke 3, dan pihak ke 3 itu adalah Petral.

Setelah Petral bubar, apakah Pertamina akhirnya beli langsung minyak dari provider di luar negeri?

Ternyata tidak, muncul integrated supply chain (ISC), sebuah badan yang fungsinya sebenarnya sama dengan Petral. Sebagai broker juga...

Yang belum jelas adalah berapa US$ yang yang dikutip dari setiap barelnya, apakah sama, lebih kecil atau lebih besar. Kalau nol dollar, saya kira nggaklah.

Mungkin ada yang menanyakan, ke mana larinya uang hasil mengutip BBM import selama ini? Apakah hanya ke kantong Mochamad Reza Chalid, seseorang yang dijuluki Godfather-nya Petral, ataukah merembet ke yang lain-lain?

Menurut info yang tidak dapat dipastikan kebenarannya, Petral adalah mesin ATM-nya partai. Entah partai mana, tetapi secara logis, mestinya partai pendukung rezim atau partai rezim itu sendiri. Itu sebab kenapa petral sulit dibubarkan, karena keberadaannya jelas menguntungkan rezim dan pasti dilindungi.

Itu juga sebab kenapa ada sebuah partai mampu membuat hajatan yang luar biasa wah, padahal mereka tidak menarik iuran dari anggota partai. Dari mana partai dapat uang, kalau tidak dari praktek-praktek broker seperti yang terjadi pada Petral.

Celakanya, mencari uang dengan cara mengutip komoditas import itu coba ditiru oleh PKS yang waktu itu juga merupakan partai pendukung rezim. Mungkin karena PKS waktu itu baru belajar atau belum paham cara mensiasati, akhirnya langkah-langkah mereka begitu mudah dibaca. Apalagi, meski PKS waktu itu satu gerbong dengan rezim, ternyata banyak kritik-kritik PKS yang membuat telinganya rezim memerah. Dan sampeyan tahu sendiri kan endingnya?

Padahal, andaikata PKS waktu itu bisa mendapatkan commitment fee, nilai totalnya hanya Rp50M, jauh sangat kecil dari uang yang berhasil dikutip Petral.

Kalau mau fair, mestinya petinggi Petral dan orang-orang yang diuntungkan oleh Petral, semua tanpa kecuali, diusut dong. Tetapi kenapa mereka, hingga saat ini masih melenggang bebas?

Apakah partai-partai lain penduking rezim melakukan praktek-praktek seperti di atas?

Kemungkinan besar, kita saja yang belum tahu. Bayangkan, bagaimana sebuah partai memperoleh sumber keuangan kecuali dari modus-modus seperti di atas. Kalau mengandalkan iuran dari anggota DPR/DPRD, berapa sih gaji mereka sebagai anggota dewan?

Demikian teman-teman. Apa yang saya tulis di atas belum tentu benar.

Meski demikian, mudah-mudahan jadi pembelajaran bagaimana praktek-praktek buruk itu berjalan dari rezim ke rezim.

***