Kisah Thalut, Triumfalisme, dan Kekuasaan Politik

Sabtu, 7 Juli 2018 | 11:41 WIB
0
647
Kisah Thalut, Triumfalisme, dan Kekuasaan Politik

Tidak banyak kisah Raja Thalut yang diungkap al-Quran, namun paling tidak, kisah Thalut sedikit menguak narasi besar para Raja yang pernah disebut dalam kitab suci. Status politiknya yang “diangkat” sekaligus “dipilih”, melibatkan para Nabi yang mengemban misi Ketuhanan.

Walaupun keberadaannya didukung para Nabi, Thalut tak mulus dalam menapaki kekuasaan politik. Penobatan Thalut sebagai raja, ternyata mendapatkan protes dari rakyatnya. Thalut dianggap “lemah” secara politik karena tak memiliki pengalaman berkuasa, sekaligus “lemah” secara sosial karena bukan dari golongan mereka yang merasa superior dalam strata sosial.

Rasa superioritas atas budaya, keyakinan, agama, bahkan kepolitikan yang lebih unggul dibandingkan kelompok lainnya, membuat sebagian kelompok enggan dipimpin oleh sosok yang dipandang lebih rendah. Triumfalisme menjadi gejala umum pada waktu itu yang ditunjukkan oleh kecenderungan “lebih unggul” dalam bnyak hal dan merasa berhak dalam hal apapun dibanding kelompok-kelompok lainnya, termasuk soal kepemimpinan politik.

Pengangkatan Thalut sebagai Raja yang direstui oleh para Nabi atas pilihan Tuhan, ternyata tak luput dari upaya penolakan.

Menyebut “Thaluut” memang serasa asing di telinga, karena memang bukan berasal dari bahasa Arab (a’jamiy), sama halnya dengan istilah serupa, seperti “Dawuud” atau “Jaaluut” bukan berasal dari rumpun bahasa Arab.

Thalut sendiri sebagaimana diungkap sejarah, berasal dari Sabath (anak-cucu) Bunyamin, salah satu dari 12 asbath keturunan Nabi Ya’qub. Konon, dari garis keturunan Bunyamin ini melahirkan Nabi Yunus dan Thalut, sedangkan asbath lainnya banyak menurunkan para nabi, seperti Musa, Harun, Ilyas, dan Ilyasa yang berasal dari asbath Lawi; sedangkan Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, dan Isa dari asbath Yahuda yang selanjutnya menjadi cikal-bakal keturunan bangsa Yahudi.

Menarik ketika al-Quran merekam fenomena pengangkatan Thalut sebagai raja yang mendapatkan protes dari sebagian masyarakatnya pada waktu itu. Dalam surat al-Baqarah 247 disebutkan:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚ قَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa".

Seolah ayat ini memberikan pemahaman, bahwa soal kepemimpinan politik merupakan hak Allah menganugerahkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kriteria seorang pemimpin yang terpilih—paling tidak—ditunjukkan oleh ilmu pengetahuannya yang luas dan tubuh yang kuat, terlepas dari apakah ia berasal dari strata sosial yang tinggi atau bukan.

Keluasan ilmu pengetahuan, ditandai oleh pembacaan yang akurat terhadap realitas sosial-politik (siyasi), sedangkan kekuatan fisik sesungguhnya bertumpu pada “kepekaan hati” (khatrun fi al-quluub), sehingga seorang pemimpin sanggup menjalankan amanah dan peka terhadap setiap aspirasi masyarakat.

Islam tentu saja tak mengenal istilah “triumfalisme” yang meyakini bahwa doktrin keagamaan, sistem sosial atau strata masyarakatnya lebih unggul dari yang lainnya.

Ketika muncul semangat Islamisme yang beranggapan bahwa, “kemenangan parpol tertentu atau sosok tertentu” dalam ajang kontestasi politik lalu diyakini sebagai “Kemenangan Islam” justru itu sekadar hasrat keduniaan yang justru menjauhi ekspektasi keagamaan yang sesungguhnya.

Yang mengherankan, mereka tak mau menerima kekalahan, karena bagi mereka menang adalah kenyataan dan takdir Tuhan.

Kita bisa belajar dari kisah Thalut, di mana rekrutmen politik didasarkan atas luasnya ilmu pengetahuan dan kesiapan fisik seorang kontestan, bukan kemenangan atas doktrin atau keyakinan agama tertentu.

***