Demi Menghindari Kekosongan Aturan Jaminan Kesehatan Nasional?

Jumat, 6 Juli 2018 | 17:51 WIB
0
668
Demi Menghindari Kekosongan Aturan Jaminan Kesehatan Nasional?

JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional menghadapi ujian. BPJS Kesehatan (BPJSK) menerbitkan Peraturan nomor 1/2018 tentang Kegawatdaruratan. Terjadi kegaduhan. Bahkan ketegangan antara Kemenkes dan BPJSK. Kemenkes berpendapat, itu adalah ranah Organisasi Profesi dan Kemenkes. BPJSK berpendapat ada kewenangan, sesuai regulasi di Undang-undang dan Peraturan Presiden.

Maka dibentuklah Sidang Mediasi di Kemenhukkam. Keputusan akhirnya:

"Dalam rangka mengisi kekosongan hukum mengenai kriteria gawat darurat, Peraturan BPJS Kesehatan 1/2018 tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan atau Peraturan Presiden yang mengatur mengenai kriteria gawat darurat," kata ketua majelis pemeriksa, Nasrudin dalam sidang mediasi di Gedung Kemenkumham, Jumat, 29 Juni 2018 lalu sebagaimana diberitakan Detik.com.

Kritik di media sosial oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dikatakan tidak layak disampaikan. Namun justru keputusan resmi ini adalah kritik yang sangat tajam. Soal manfaat JKN diatur oleh Perpres. Turunannya di Permenkes atau di BPJSK sesuai ranahnya.

Pesan keputusan itu  jelas: karena revisi Perpres tidak kunjung terbit. Terutama terkait besaran premi, harus direvisi paling lambat setelah 2 tahun. Terakhir  ditetapkan dengan Perpres 28/2016 yang mulai berlaku 1 April 2016. Artinya: sudah lewat dari 2 tahun.

Sementara, baru saja terbit Peraturan Direktur BPJSK tentang penjaminan 3 kasus: katarak, fisioterapi dan bayi baru lahir sehat. BPJSK berpegang pada pasal 24 ayat 3 UU SJSN 40/2004. Kegaduhan kembali terjadi.

Sangat mudah dipahami, terbitnya aturan sangat dipengaruhi usaha mengurangi biaya pelayanan kesehatan. Mengapa? Karena nyatanya memang terlanda defisit. Karena tidak kunjung ada kejelasan, BPJSK “terpaksa” menerbitkan aturan meskipun memang menyerempet ke luar pagar.

Kalau misalnya dipersoalkan lagi ke Kemenhukkam, dikhawatirkan keputusan yang muncul akan sama: dalam rangka mengisi kekosongan peraturan….

Bukan sekali ini juga, BPJSK “terpaksa” menerbitkan aturan internal yang mengikat pihak luar. Dulu pernah dituliskan tentang “jangan paksa dan jangan biarkan BPJSK mengatur yang bukan ranahnya”. Tulisan itu berbuah bully-an bagi penulisnya. Tetapi memang demikian kejadiannya. Sekarang kondisinya semakin “memaksa”. Apakah harus terus dibiarkan?

Kita masih yakin, JKN adalah salah satu ikon utama kampanye. Presiden akan memberi perhatian lebih terhadap kelancaran dan keberlangsungan program ini.

Mangga selanjutnya semoga segera ada langkah lebih jelas.

Nuwun.